Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Benarkah Ada Tekanan Akademik di Balik Pembunuhan Orang Tua di Lebak Bulus

Pelajar 14 tahun pembunuh ayah dan neneknya diduga mengalami tekanan akademik dari orang tua. Kekurangan jam tidur.

8 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi pembunuhan yang dilakukan oleh anak remaja. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • MAS diduga kurang tidur sebelum membunuh ayah dan neneknya.

  • Ibu kandung MAS mengklaim penikamnya adalah pria berpenutup wajah.

  • Penyidikan kasus parisida Lebak Bulus ini sudah rampung dan siap disidangkan.

PADA Sabtu, 30 November 2024, sekitar pukul 01.30 WIB, AP telentang bersimbah darah di depan rumahnya di Perumahan Taman Bona Indah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Ia selamat setelah melompati pagar. Sementara itu, suaminya, APW, 40 tahun, dan ibunya, RM, 69 tahun, tewas ditikam di dalam rumah. Belakangan, pelaku pembunuhannya diduga adalah MAS, 14 tahun, anak tunggal AP dan APW yang masih duduk di kelas X sekolah menengah atas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AP, 40 tahun, juga mengalami luka tusuk. Mulanya ia meminta tolong kepada tetangga. Seseorang yang melihatnya lalu menghubungi petugas satuan pengamanan kom­pleks. Komandan regu satpam lantas menghubungi nomor telepon salah seorang pengurus keamanan kompleks yang juga tetangga AP dan APW, Nugroho Setiadi. Nugroho menerima kabar dari petugas satpam bahwa AP terkapar di depan rumahnya sendiri. Ia pun langsung mendatangi rumah AP.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam keadaan lemas dan mengerang kesakitan, AP menceritakan ada pembunuhan di dalam rumahnya kepada petugas satpam, Nugroho, dan orang-orang yang mengerumuninya. Tapi AP mengklaim pelakunya adalah seorang pria yang mengenakan penutup wajah. “Beliau mengatakannya dengan jelas saat itu,” kata Nugroho kepada Tempo pada Kamis, 5 Desember 2024.

Mereka tak masuk ke rumah dan memutuskan menunggu kedatangan polisi. Selain Nugroho, beberapa warga sekitar berdatangan. Salah seorang di antaranya bernama Susanto, petugas Masjid Jami' Al-Falah di dalam kompleks. Ia bercerita, mereka sempat ragu memindahkan tubuh AP karena khawatir salah penanganan. Masalahnya, polisi tak kunjung datang. Mereka akhirnya memutuskan AP dibawa ke rumah sakit menggunakan mobil pribadi Nugroho.

Empat-lima orang mengangkat AP ke dalam mobil. “Saya ikut mengangkat di bagian kepala yang berdarah,” ujar Susanto. Ditemani Ferry, seorang petugas keamanan, Nugroho membawa AP ke instalasi gawat darurat Rumah Sakit Fatmawati, 20 menit kemudian. Jaraknya hanya 2,3 kilometer dari kompleks.

Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan beserta tim Indonesia Automatic Fingerprint Identification System melaksanakan olah TKP lanjutan kasus pembunuhan oleh anak remaja di kawasan Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 30 November 2024. TEMPO/Dede Leni Mardianti

Sebelum proses evakuasi dilakukan, seorang petugas satpam kompleks yang berada di pos depan melihat MAS berjalan kaki dengan cepat di sekitar taman perumahan. Ketika dipanggil, MAS justru berlari ke luar perumahan dan belok kiri ke arah lampu merah Jalan Karang Tengah. Dua petugas satpam lalu mengejar MAS dan menangkapnya. Saat menangkap MAS, mereka melihat tangan dan pakaian anak yang memiliki tinggi sekitar 175 sentimeter itu berlumur darah.

Dari pos keamanan, MAS kemudian dibawa kembali ke rumahnya. Tapi MAS tidak sempat melihat ibunya yang terkapar karena sudah dibawa ke Rumah Sakit Fatmawati. Sekitar pukul 02.00 WIB, petugas melaporkan kejadian itu ke Kepolisian Sektor Cilandak. Tak lama berselang, sejumlah polisi akhirnya datang dan langsung memborgol MAS.

Para polisi langsung berpencar. Sebagian personel memasuki rumah dan menengok kondisi jasad APW dan RM. Dua polisi lain mengapit MAS di atas sepeda motor. Saat MAS akan dibawa, ketua rukun warga di kompleks itu, Syamsir Alam Loebis, sempat mendekati dan mengajaknya berbicara. “Kamu kenapa melakukan itu?” ucap pensiunan polisi itu kepada MAS.

Pertanyaan itu diabaikan MAS yang hanya terdiam dan tak menunjukkan ekspresi apa pun. Sejumlah warga sekitar yang ditemui Tempo juga mengatakan pada Sabtu dinihari itu MAS hanya diam hingga akhirnya dimasukkan ke mobil polisi dan dibawa ke kantor Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Selatan.

Psikolog anak Novita Tandry menjelaskan, respons setiap orang dalam menghadapi kejadian semacam ini memang beragam. Ada yang berusaha melawan, ada yang kabur, ada juga yang mengalami kondisi freeze atau kaku. “Ada kemungkinan yang dilihat warga sekitar adalah kondisi ketiga,” tutur Novita. Dalam kasus ini, polisi turut menggandeng Novita untuk membantu berkomunikasi dengan MAS.

Sementara itu, dalam perjalanan ke rumah sakit, AP tak menanyakan kondisi MAS. Ia justru menanyakan nasib RM, ibunya yang juga nenek MAS. Ia juga mengulangi ucapannya dianiaya seorang pria yang menggunakan penutup wajah. Sementara itu, tak ada informasi soal MAS mengenakan penutup wajah saat ditangkap. Daftar barang bukti polisi hanya menyebutkan pisau dapur yang ditengarai digunakan untuk menusuk para korban. Tak ada catatan soal penutup wajah.

Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Metro Jakarta Selatan Ajun Komisaris Nurma Dewi mengatakan penyidik sudah menggali keterangan dari AP. Namun belum ada kesaksian soal pelaku mengenakan penutup wajah. Walau demikian, polisi meyakini penyidikan ini sudah rampung. MAS sudah ditetapkan sebagai anak yang berkonflik dengan hukum.

Pada Jumat, 6 Desember 2024, Polres Metro Jakarta Selatan mengumumkan kasus ini sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. “Berkas telah dikirim kepada jaksa penuntut umum,” ucap Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi.

•••

DI lingkungan rumahnya, MAS dikenal sebagai anak yang tak begitu sering bergaul dengan warga sekitar. Guru mengaji MAS semasa kecil dan seorang pengemudi ojek daring yang kerap mengantarnya ke sekolah bercerita bahwa mereka tidak mengetahui ada kejanggalan karakter pada pemuda bertubuh tinggi tersebut.

Di sekolah, MAS dikenal sebagai murid berprestasi. Pada usia 14 tahun, ia sudah duduk di bangku sekolah menengah atas. Ia mendapatkan akselerasi selama setahun. Ajeng Kartika, anak buah RM, nenek MAS, di sebuah kantor agen properti di daerah Lebak Bulus, juga mendengar informasi tersebut. RM adalah pemilik perusahaan ini. “Orangnya pintar, santun, dan pendiam,” kata Ajeng soal cucu bosnya tersebut.

Masalah mulai muncul pada pertengahan akhir masa sekolah menengah pertama, yakni ketika MAS duduk di kelas VIII dan IX. Saat itu prestasi akademiknya sempat menurun. Padahal MAS ingin melanjutkan pendidikan ke salah satu SMA negeri favorit di Jakarta yang tak jauh dari rumahnya.

Impian itu tak tercapai. MAS akhirnya melanjutkan pendidikan di sebuah SMA swasta di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sekolah. Salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti adalah olahraga bela diri taekwondo. Tinggi tubuh MAS di atas rata-rata teman seusianya. Ia juga dikenal memiliki kepribadian supel di sekolahnya.

Novita Tandry juga menangkap kesan ramah saat pertama kali bertemu dengan MAS di Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Selatan pada Senin, 2 Desember 2024. Saat itu ia langsung bisa berbicara dengan MAS. Meski belum pernah bertemu, MAS langsung terbuka dan tak ragu menyalami tangan Novita.

Di awal pembicaraan itu Novita menyampaikan pesan tertulis dari empat sahabat MAS. Pesan itu diterima Novita melalui media sosial sebelum berangkat ke Polres Metro Jakarta Selatan. Mereka adalah teman akrab MAS sejak kecil, tapi bersekolah di SMA lain. Tak ingin dibacakan, MAS meminta izin kepada Novita untuk membaca pesan itu secara langsung. “Dia tak ingin saya merekayasa dan ini bukti dia anak cerdas,” ucap Novita.

Kepolisian menggambar lingkaran warna putih guna menandai tempat pelaku melemparkan pisau yang digunakan untuk menusuk keluarganya. Pisau dilemparkan sekitar 5 meter dari halaman rumah saat pelaku melarikan diri. Peristiwa terjadi di Blok B 6 Nomor 12 RT 008 RW 006, Perumahan Taman Bona Indah, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, pada pukul 01.15 WIB, 30 November 2024. TEMPO/Dede Leni Mardianti

Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, para sahabat menyampaikan pesan yang cukup panjang berisi dukungan kepada MAS yang sedang menjalani proses hukum. Mereka tetap berharap suatu waktu bisa bertemu lagi dengan MAS. MAS terlihat sesekali tersenyum, lalu diam dan bersedih ketika membaca pesan-pesan itu.

Setelah suasana keakraban terbangun, Novita mulai menanyakan detail kondisi MAS. Dari pembicaraan itu, Novita mengetahui bahwa beberapa hari sebelum pembunuhan terjadi kondisi fisik MAS sebenarnya mulai menurun. Ia ditengarai kurang tidur karena mesti mengerjakan banyak tugas sekolah. Ia juga mengikuti les bahasa pemrograman atau coding hingga larut malam. “Sehingga dia sering ketiduran di sekolah,” tutur Novita.

Polisi dikabarkan sudah memeriksa wali kelas dan guru bimbingan konseling di sekolah MAS. Tempo berupaya meminta keterangan dari kepala SMA swasta tersebut lewat surat permohonan wawancara. Namun pihak sekolah tak kunjung meresponsnya hingga Jumat, 6 Desember 2024.

Fakta lain yang ditemukan Novita adalah MAS mahir membuat karikatur dan animasi. Karakter dalam animasi itu digunakan MAS untuk menggambarkan perasaan dia sehari-hari. “Tapi tak ada satu pun yang melukiskan kekerasan,” ujar Novita.

MAS rupanya sempat mengungkapkan persoalan kurang tidur saat awal pemeriksaan di kantor polisi. Pada Sabtu dinihari itu, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Gogo Galesung mengatakan pelaku mengaku kesulitan tidur. “Kemudian ia mendengar bisikan-bisikan yang membuatnya resah,” kata Gogo pada Sabtu, 30 November 2024.

Novita mengatakan kekurangan jam tidur bisa berdampak macam-macam, meski seseorang tak mengalami gangguan kesehatan mental. Ia menjelaskan, tubuh seseorang bisa memberikan respons tak biasa dan bahkan berujung halusinasi ketika kekurangan tidur. Persoalan kurang tidur inilah yang belakangan dikaitkan dengan tekanan belajar oleh orang tua MAS.

Kepada penyidik, MAS mengaku kerap disuruh kedua orang tuanya terus belajar. Tapi ia tidak merasa tertekan akibat perintah tersebut. “Sebab, kalau saya belajar, saya pintar,” ucap Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Metro Jakarta Selatan Ajun Komisaris Nurma Dewi, mengutip keterangan MAS kepada penyidik.

Novita menilai beberapa faktor bisa berkombinasi menjadi penyebab tindakan MAS pada Sabtu tersebut. Perhatian Novita tertuju pada status MAS sebagai anak tunggal. Selama 31 tahun menjadi psikolog anak, ia paham betul bahwa anak tunggal punya tantangan tersendiri. “Mereka bisa mengalami kesepian karena tak ada saudara atau terbebani ekspektasi yang tinggi dari orang tua,” ujar Novita.

Faktor ini pula yang membuat Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor), yang ikut membantu polisi mendampingi MAS, berhati-hati dalam melakukan penilaian dan asesmen. Itu sebabnya Ketua Apsifor Nathanael Elnadus Johanes Sumampouw mengatakan belum bisa menyimpulkan alasan sebenarnya di balik tindakan MAS. “Ini masih perlu didalami,” tuturnya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifatul Choiri Fauzi (kedua dari kiri) saat memberi keterangan media bersama Kepala Polres Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Ade Rahmat Idnal (kedua dari kanan) mengenai kasus pembunuhan oleh remaja 14 tahun di Lebak Bulus, 1 Desember 2024. TEMPO/Dian Rahma F. A.

Dalam ilmu psikologi, tindakan MAS termasuk fenomena parisida, yang berarti pembunuhan terhadap orang tua atau keluarga dekat. Istilah ini berasal dari bahasa Latin, parricidium. Kasus semacam ini kerap terjadi di Amerika Serikat sehingga banyak hasil riset soal parisida dari negeri tersebut. Hanya segelintir kasus parisida yang melibatkan anak kandung.

Setelah berstatus anak berkonflik dengan hukum, MAS dipindahkan ke sebuah rumah aman milik Kementerian Sosial di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Kuasa hukum MAS, Amriadi Pasaribu, mengatakan baru bisa santai berkomunikasi dengan kliennya pada Jumat, 6 Desember 2024. “Awalnya saat di polres tidak mudah, terpaksa curi-curi waktu karena fokusnya pemeriksaan,” katanya.

Amriadi belum ingin masuk ke pembicaraan lebih dalam, seperti alasan sebenarnya MAS menikam ayah, nenek, dan ibu kandungnya. Ia lebih banyak bercanda dan mengikuti alur pembicaraan MAS. Obrolan itulah yang akhirnya memicu MAS membuat sepucuk surat permintaan maaf kepada orang tua dan neneknya. “Dia yang menulis sendiri,” ucap Amriadi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Mohammad Khory Alfarizi, Lani Diana, Dian Rahma Fika, dan Dede Leni Mardianti berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tikaman Maut Anak Tunggal"

Fajar Pebrianto

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus