Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Parisida atau anak membunuh orang tua menjadi tren pada pandemi Covid-19.
Kasus pembunuhan ayah dan nenek oleh remaja 14 tahun bukan kasus pertama, meski masih langka untuk jadi referensi penanganannya.
Penyebab parisida bisa berasal dari tekanan keluarga.
TAK sampai setahun, Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor) Nathanael Elnadus Johanes Sumampouw sudah menemukan dua kasus anak membunuh orang tua atau parisida. Istilah ini berasal dari bahasa Latin, parricidium, yang berarti membunuh orang dekat. Kemudian, pada abad ke-18, kata itu diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi parricide dengan makna pembunuhan orang tua atau keluarga dekat. Kedua kasus yang ditangani Apsifor melibatkan anak di bawah umur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus pertama terjadi pada 19 Juni 2024 di Duren Sawit, Jakarta Timur. Dua anak perempuan, KS, 17 tahun, dan PA, 16 tahun, diduga membunuh ayah mereka yang berinisial S, 55 tahun. Mereka ditengarai gelap mata lantaran sering dipukuli dan kerap tidak diberi makan oleh korban. Polisi melibatkan Apsifor untuk mendampingi dan memeriksa kondisi psikologis kedua anak itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa paling anyar terjadi di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, tepatnya pada Sabtu dinihari, 30 November 2024. Seorang anak tunggal berinisial MAS, 14 tahun, diduga membunuh ayahnya, APW, 40 tahun, dan neneknya, RM, 69 tahun, dengan pisau dapur. Ia juga dituduh menikam ibunya, AP, 40 tahun, tapi selamat setelah ditolong warga sekitar dalam kondisi kritis. Polisi masih menggali motif MAS membunuh ayah dan neneknya. “Dua kasus itu merupakan fenomena parisida,” ujar Nathanael pada Rabu, 4 Desember 2024.
Parisida adalah fenomena yang sudah lama ditemukan di negara Barat. Di Indonesia, Nathanael mengungkapkan, tren parisida mulai meningkat saat terjadi pandemi Covid-19 pada pertengahan 2020. Kala itu ia mulai sering melayani permintaan konsultasi psikologi secara daring dari keluarga yang bermasalah. “Saat itu mulai banyak catatan kekerasan terhadap orang tua dan orang lanjut usia,” tuturnya.
Namun jumlah penelitian soal parisida di dalam negeri masih minim. Nathanael dan psikolog lain kerap merujuk riset di Amerika Serikat, negara tempat paling banyak ditemukan kasus parisida. Salah satunya riset yang tertuang dalam buku berjudul Why Kids Kill Parents: Child Abuse and Adolescent Homicide yang terbit pada 1992. Buku yang ditulis profesor kriminologi dari University of South Florida, Amerika Serikat, Kathleen Margaret Heide, itu mengkaji faktor psikologis, sosial, dan lingkungan atau keluarga yang berkontribusi pada kasus parisida. Buku ini memberikan analisis mendalam tentang hubungan pelecehan anak dan trauma dengan parisida.
Heide juga menulis buku lain berjudul Understanding Parricide: When Sons and Daughters Kill Parents yang diterbitkan pada 2013. Dalam buku terbitan Oxford University Press itu, Heide menuliskan kekerasan seksual dalam keluarga, gangguan mental, dan dinamika kekuasaan dalam keluarga berkontribusi pada kasus parisida. Buku Heide ditulis berdasarkan penelitian terhadap kasus-kasus nyata di Amerika Serikat.
Dari penelitian itu, Nathanael menambahkan, setidaknya ada tiga tipologi kasus parisida. Pertama, anak kategori berbahaya dengan karakter antisosial. Kedua, korban kekerasan fisik. Ketiga, pelaku merupakan korban kekerasan psikis yang terakumulasi dan mengalami gangguan jiwa hingga melakukan kekerasan berujung kematian. “Ini berkaitan dengan pola asuh anak di keluarga,” ucapnya.
Peneliti dari University of Manchester, Inggris, Lana Bojanić, mempublikasikan studi berjudul “The typology of parricide and the role of mental illness: Data-driven approach”. Riset yang terbit pada 2020 ini menekankan beberapa faktor penyebab parisida yang mirip dengan temuan Heide. Bojanić menyebutkan penyebab utama parisida biasanya adalah konflik internal keluarga. Dalam beberapa kasus, parisida juga terjadi karena masalah ekonomi atau keinginan membebaskan diri dari kontrol orang tua.
Kriminolog lulusan Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Haniva Hasna, menyorot beberapa faktor umum yang perlu diperiksa untuk mengetahui motif kasus parisida. Salah satunya faktor keluarga. Ia mencontohkan kasus parisida yang dilakukan MAS di rumahnya di Lebak Bulus. MAS adalah pelajar sekolah menengah atas berusia 14 tahun yang dikategorikan remaja awal.
Di usia tersebut, Haniva mengimbuhkan, perkembangan emosi, moral, dan pengendalian perilaku impulsif masih belum matang. Ini bisa mempengaruhi kemampuan pelaku dalam mengambil keputusan. Ditambah lagi MAS adalah anak tunggal yang bisa saja mengalami tekanan akademik oleh orang tua. Tapi ia tak mengetahui motif MAS. “Perlu dilihat bagaimana keluarga, latar belakangnya, ada konflik atau tidak, terkait dengan kekerasan atau disfungsi keluarga,” tutur Haniva.
Haniva juga menjelaskan, pelaku parisida berkaitan dengan gangguan mental. Misalnya ada kasus parisida yang pelakunya mengaku mendengar bisikan dan mengalami halusinasi atau delusi sebelum melakukan kekerasan. Dia menerangkan, pelaku patut diduga mengalami salah satu bentuk gangguan jiwa, skizofrenia. Tapi pengambilan kesimpulan itu tak bisa instan. “Perlu dilakukan cek medis oleh psikiater atau psikolog forensik,” ucapnya.
Dalam kasus parisida yang terjadi di Lebak Bulus, psikolog anak dan keluarga yang turut mendampingi MAS, Novita Tandry, menemukan beberapa hal penting. Dia mengungkapkan, kasus ini tergolong langka karena pelakunya anak di bawah umur. Ia menduga pembunuhan terjadi karena MAS mengalami tekanan akademik. Ia ditengarai kurang tidur. Seusai jam sekolah, misalnya, MAS juga mengikuti les coding.
Namun, Novita menambahkan, pengambilan kesimpulan itu memerlukan asesmen lebih lanjut, termasuk dugaan adanya gangguan jiwa. Pemikiran ini muncul karena MAS mengaku menerima bisikan sebelum menganiaya orang tuanya kepada petugas keamanan yang menangkapnya.
Novita menjelaskan, delusi dan halusinasi tidak hanya terjadi pada orang dengan gangguan jiwa. Ia mencontohkan orang yang hanya tidur satu-dua jam selama tiga hari bisa mengalami delusi atau halusinasi. Ketika berjalan pun orang yang kurang istirahat bisa merasa seperti mengambang dan otaknya tidak berfokus dalam bekerja. “Tanpa gangguan mental, orang kurang tidur badannya akan merespons dengan buruk, ngobrol juga bisa enggak jelas,” kata Novita.
Novita juga menyinggung status MAS yang merupakan anak tunggal. Ia menuturkan, secara umum anak tunggal memiliki tantangan tersendiri. Banyak yang bilang anak satu-satunya kerap dimanjakan orang tua. Tapi biasanya orang tua memiliki ekspektasi tinggi terhadap anak tunggal. Karena tidak memiliki saudara, anak tunggal juga bisa merasa kesepian. Ditambah lagi sikap orang tua yang membatasi aktivitas si anak karena takut terhadap pengaruh buruk dari luar. Akibatnya, anak akan kesulitan berinteraksi sosial.
Lulusan magister psikologi University of New South Wales, Australia, itu juga mengingatkan perihal komunikasi kedua orang tua dengan remaja yang sedang mencari jati diri. Apalagi kedua orang tuanya bekerja. Menurut dia, jangan sampai ada konflik yang berkepanjangan dan tidak diselesaikan. Selain itu, anak perlu diajari regulasi emosi dan manajemen konflik. “Karena yang bisa menghancurkan orang adalah emosi yang paling merusak atau amarah,” tutur Novita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Intan Setiawaty berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Catatan Langka Tren Parisida"