Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md mengumumkan keputusan pemerintah yang resmi mencabut MoU pemanfaatan Kepulauan Widi di Halmahera Selatan, Maluku Utara, yang sempat dikabarkan dilelang di situs asing. MoU dicabut karena pemerintah menyatakan isi dan prosedur MoU ini melanggar aturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pemerintah akan membatalkan MoU tersebut, karena isi atau prosedurnya tidak sesuai peraturan yang berlaku," kata Mahfud dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu, 14 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan ini disampaikan Mahfud usai menggelar rapat dengan pemerintah daerah Maluku Utara, Halmahera Selatan, dan sejumlah menteri terkait. Dalam kesempatan ini, Mahfud kembali menjelaskan tidak ada penjualan Kepulauan Widi.
Kabar soal lelang Kepulauan Widi
Masalah ini mencuat setelah adanya informasi kalau Kepulauan Widi dilelang ke asing. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian sudah membeberkan masalah yang terjadi. Tito tak menampik ada kesepakatan antara pemerintah daerah dengan PT Leadership Islands Indonesia (LII) untuk mengelola laut tersebut sebelumnya.
"Jadi Kepulauan Widi, Halmahera Selatan, itu pada 2015 ada MoU antara LII yang berpusat di Bali," ucapnya saat ditemui di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, pada Senin, 5 Desember 2022.
Menurut Tito, pemilik PT LII adalah Warga Negara Indonesia yang tinggal di Bali. Perusahaan itu ingin mengembangkan kawasan Kepulauan Widi sebagai wisata berbasis ecotourism dengan berbagai fasilitas, seperti diving, snorkeling, dan lainnya. Rencana pengembangan pulau tersebut, menurut Tito, akan mendorong sektor pariwisata.
Terlebih Kepulauan Widi tersebut kosong alias tidak ada orang yang bermukim di sana. Kendati demikian, Tito menegaskan pengembangan pariwisata di Pulau Widi harus sesuai dengan ketentuan. Di antaranya, penggunaan lahan sekitar 30 persen untuk konservasi.
Selanjutnya, PT LII tak melakukan pengembangan apa pun dalam 7 tahun
Namun, PT LII yang memiliki izin pengelolaan selama 30 tahun tidak melakukan pengembangan apa pun dalam tujuh tahun terakhir.
"Mungkin dia kekurangan modal sehingga kemudian dia belum kembangkan," kata Tito.
Karena itu, PT LII akhirnya mencari pemodal asing. Tito menyebut investor bukan melakukan jual-beli atau lelang, seperti kabar yang beredar.
"Tujuannya bukan lelang buat dijual. Tujuannya untuk menarik investor asing. Nah, itu boleh-boleh saja," kata dia.
Tito menilai langkah PT LII mencari investor asing itu diperbolehkan. Hal yang tidak diperbolehkan, kata dia, adalah jika pemilik perusahaan merupakan warga negara asing. Artinya, kata dia, tidak masalah apabila modal yang disuntikkan dari luar negeri itu dikelola oleh perusahaan Indonesia
"Selama ini kan banyak yang sudah melakukan seperti itu," ucapnya.
Adapun yang perlu dicermati saat ini, menurut Tito, adalah persentase lahan yang digunakan untuk konservasi. Ketentuan itu, kata dia, telah diatur dalam undang-undang. Selain itu, dia menganggap perlu ada penelaahan kebutuhan daerah, seperti lapangan kerja, pembangunan yang berkelanjutan, dan lainnya.
Dia berharap langkah yang diambil oleh PT LII tidak melawan hukum yang ada, baik soal kepemilikan permodalan, dan pembangunannya. Di sisi lain, ucap Tito, PT LII kemungkinan perlu memperpanjang MoU dengan pemerintah daerah.
Kemudian, PT LII juga harus meminta persetujuan pemerintah pusat terutama dari Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLH), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perihal konservasi.
Sementara itu, juru bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi menegaskan pulau-pulau kecil tidak bisa dimiliki oleh pihak mana pun secara utuh. Ia berujar pemerintah Indonesia pun telah memiliki peraturan perundangan soal itu.
“Pulau kecil hanya bisa dikelola oleh privat atau individu tertentu dengan batasan area maksimal tertentu,” kata Jodi, 23 November lalu.
Mahfud Md beberkan pelanggaran dalam MoU Kepulauan Widi
Mahfud kemudian menjelaskan pelanggaran terjadi karena isi MoU tidak pernah ditepati oleh PT LII.
"Jadi kami batalkan itu," kata dia.
MoU tersebut juga seharusnya dilakukan dengan izin dari Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. Sampai hari ini, Trenggono tak pernah mengeluarkan surat izin untuk pemanfaatan Kepulauan Widi. Selain itu, setengah dari objek MoU juga merupakan hutan seluas 1.900 hektare yang sebenarnya tidak diperbolehkan.
Terkait pembatalan ini, Mahfud menyebut masalah teknis selanjutnya akan diselesaikan oleh pemerintah daerah dengan PT LII.
"Sesuai levelnya masing-masing," ujarnya.
Meski batal, Mahfud menyebut pemerintah tetap akan membuka kemungkinan siapa pun untuk berinvestasi dalam pemanfaatan pulau terluar seperti Kepulauan Widi sesuai aturan. LII bahkan tetap boleh ikut jika berminat.
"Sesuai aturan yang berlaku," kata dia.
Berikutnya, pemerintah juga membentuk satuan tugas atau satgas untuk meneliti kembali pulau-pulau terluar di provinsi yang berbentuk kepulauan. Sebab mungkin saja, kata Mahfud, ada pemanfaatan atau investasi yang tidak sesuai prosedur. Dia pun menyatakan masalah Kepulauan Widi dianggap selesai.