Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI lantai dasar Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan, ketua sementara Komisi Pemberantasan Korupsi Nawawi Pomolango berpapasan dengan Direktur Penyidikan Brigadir Jenderal Asep Guntur Rahayu pada 20 Desember 2023. Nawawi langsung menanyakan kepastian penahanan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej, kepada Asep.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada hari itu, Nawawi menerima kabar Eddy mencabut gugatan praperadilannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mantan hakim itu mengklaim ingin memastikan penanganan kasusnya tetap berjalan dan Eddy segera ditahan. Asep, Nawawi melanjutkan, meyakini penyidik tetap memproses Eddy. “Sudah tak ada alasan untuk tidak menahan dia,” kata Nawawi kepada Tempo pada 22 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPK menetapkan Eddy sebagai tersangka sejak 27 September 2023. Guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu dituduh menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 8 miliar untuk mengurus perubahan akta perusahaan tambang nikel PT Citra Lampia Mandiri di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Penyidik juga menjerat dua asisten Eddy, yakni Yogi Arie Rukmana dan Yosi Andika Mulyadi, sebagai tersangka. Eddy mengajak Yogi dan Yosi mengajukan gugatan praperadilan. Mantan Direktur Utama PT Cipta Lampia Mandiri, Helmut Hermawan, juga menjadi tersangka. Berbeda dengan Eddy, Yosi, dan Yogi, KPK lebih dulu menahan Helmut pada 7 Desember 2023.
Sempat terjadi saling silang informasi gugatan praperadilan Eddy. Sebelum Eddy mencabut laporan tersebut, Nawawi mengaku dihubungi anak buahnya dari Biro Hukum KPK. Seorang staf menanyakan sikap pimpinan terhadap pencabutan gugatan Eddy di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Staf tersebut menanyakan hal itu lantaran dihubungi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Saya sampaikan keputusan itu ada di tangan hakim,” ucap Nawawi.
Ia beralasan hakim harus bersikap independen dalam memutuskan sesuatu. KPK juga belum memutuskan menyetujui atau tidak upaya pencabutan gugatan praperadilan Eddy. Belakangan, Nawawi baru mengetahui ternyata KPK dalam persidangan praperadilan justru menyetujui pencabutan gugatan Eddy. “Masih saya cek kenapa keputusan ini bisa berbeda,” tutur Nawawi.
Seseorang yang mengetahui perkara ini mengatakan pencabutan gugatan praperadilan Eddy berkaitan dengan batalnya rencana penahanan. Mulanya penyidik mengagendakan pemeriksaan dan penahanan terhadap Eddy, Yosi, Yogi, dan Helmut pada 7 Desember 2023. Ada juga saksi-saksi yang akan turut diperiksa. Rencana ini buyar karena masih adanya perbedaan pandangan secara internal di KPK.
Dua penegak hukum di KPK menambahkan, rencana penahanan Eddy, Yogi, dan Yosi sebenarnya sudah disepakati di Kedeputian Penindakan dan Eksekusi pada 7 Desember 2023. Namun rencana itu batal karena Eddy beralasan sakit. Pembatalan itu disampaikan Eddy melalui pengacaranya, Ricky Sitohang, lewat surat permohonan penjadwalan ulang pemeriksaan.
Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri, Helmut Hermawan, selepas menjalani pemeriksaan perdana setelah ditahan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 12 Desember 2023./Tempo/Imam Sukamto
Penyidik lantas menjadwalkan pemeriksaan ulang pada 15 Desember 2023. Mereka masih mengusung rencana awal, yakni memeriksa Eddy sebagai tersangka lalu langsung menahannya. Setelah dicatatkan dalam sistem administrasi, surat pemanggilan dan penahanan dikirim dari Kedeputian Penindakan ke meja pimpinan KPK.
Saat itu pemimpin yang ada di kantor adalah Nawawi Pomolango dan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron serta Alexander Marwata. Wakil Ketua KPK Johanis Tanak sedang berhalangan hadir. Nawawi dan Ghufron disebut tak kunjung menandatangani surat penahanan Eddy. Sementara itu, Alexander sejak awal menyatakan sudah setuju. Anehnya, surat rencana pemanggilan dan penahanan yang tak jadi ditandatangani itu dikabarkan raib.
Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, mengatakan hampir mustahil ada surat yang hilang dalam sistem administrasi KPK. Apalagi surat penting seperti pemanggilan sebagai tersangka dan penahanan. Sistem administrasi di KPK sudah terdigitalisasi dan melalui pencatatan tim administrasi. “Surat hilang di KPK itu kategorinya skandal,” ucapnya.
Di kalangan penyidik beredar kabar bahwa pimpinan menolak menandatangani surat penahanan Eddy untuk menghindari kegaduhan menjelang Pemilihan Umum 2024. Pimpinan KPK bahkan disebut mengeluarkan kebijakan untuk memoratorium semua perkara yang menyeret petinggi negara sampai pemilu usai. Di antaranya kasus Eddy serta korupsi di Kementerian Pertanian dan Kementerian Perhubungan.
Nurul Ghufron disebut sebagai pemimpin yang paling getol mengusulkan kasus-kasus tersebut ditunda sampai tahun depan. Nawawi dan Alexander sebenarnya setuju melanjutkan pengusutan, tapi terhambat sikap pimpinan yang tak kunjung bulat.
Nawawi membantah dugaan bahwa pimpinan KPK menunda pemeriksaan Eddy dan kasus di kementerian. Ia mengklaim mendukung penetapan Eddy sebagai tersangka sejak awal penyelidikan. Penuntasan kasus-kasus ini, dia menambahkan, diperlukan untuk memulihkan kepercayaan publik kepada KPK. “Dengan usia jabatan Ketua KPK sementara yang pendek, kami akan berupaya memulihkan kembali kepercayaan itu,” katanya.
Nawawi justru mendorong penyidik segera memanggil Eddy, Yosi, dan Yogi. Ia mengatakan kesempatan ini segera diambil lantaran ketiganya sudah mencabut gugatan praperadilan sehingga tak ada yang menghalangi pemeriksaan dan penahanan ketiganya. “Nanti bisa segera ditahan,” tuturnya.
Nurul Ghufron membantah tudingan berupaya menghalangi proses penahanan Eddy Hiariej. Senada dengan Nawawi, dosen di Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur, itu mengklaim pimpinanlah yang paling getol berupaya menaikkan status Eddy menjadi tersangka. “Ketika tidak ada Pak Firli Bahuri karena sedang di Korea Selatan, justru kami berempat yang menaikkan statusnya,” ucap Ghufron.
Hanya, dia menerangkan, selama penyidikan berjalan, pimpinan biasanya tak terlibat dalam hal-hal teknis, seperti pemeriksaan saksi dan tersangka. Jadi proses pemberkasan tersangka ditangani Deputi Penindakan dan Eksekusi. Adapun tugas pimpinan hanya memantau dan mengevaluasi perkembangan penyidikan. Pimpinan KPK dapat terlibat gelar perkara bila di tengah jalan ditemukan perkembangan kasus, yakni daftar nama baru yang akan diperiksa.
Ghufron juga mengaku tak tahu ihwal kabar bahwa surat pemanggilan Eddy dan tersangka lain hilang dari sistem administrasi KPK. Dia berjanji mengecek bawahannya untuk memastikan pertimbangan pencabutan rencana pemeriksaan tersebut.
Namun Ghufron membenarkan kabar bahwa pihaknya telah mengusulkan KPK menunda pemeriksaan kasus-kasus menonjol hingga Pemilu 2024 usai. Usul itu diilhami keputusan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang menunda semua penyelidikan dan penyidikan kasus yang melibatkan peserta Pemilu 2024 hingga tahun depan. “Ide ini muncul agar KPK tak ikut gaduh dalam proses pemilu yang sedang berjalan,” ujarnya.
Ide ini, Ghufron mengklaim, baru sebatas usul. Pimpinan lain belum menyetujui. Ia menjamin proses hukum kasus lain yang tak berkaitan dengan pemilu tetap berjalan seperti biasa.
Saat dimintai konfirmasi mengenai kerancuan penahanan Eddy dan penanganan kasus lain, Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Inspektur Jenderal Rudi Setiawan tak menjawab pesan yang dikirim ke akun WhatsApp-nya. Ia hanya membalas pertanyaan dengan mengirim ucapan salam sehat. Sementara itu, Direktur Penyidikan Asep Guntur Rahayu sama sekali tak merespons permohonan wawancara Tempo.
Eddy Hiariej juga tak merespons permintaan wawancara Tempo. Surat permohonan wawancara yang dikirim tak berbalas. Saat dihubungi lewat WhatsApp, ia hanya membalas dengan gambar berisi anjuran yang dilakukan ketika muncul fitnah dan huru-hara atau saat kebenaran dan kemungkaran menjadi samar. Namun, dalam berbagai kesempatan, Eddy mengatakan tak pernah menerima suap dan gratifikasi.
Tempo juga berupaya meminta konfirmasi Yogi Arie Rukmana dan Yosi Andika Mulyadi. Namun keduanya tak kunjung merespons pesan Tempo. Sebelumnya Yosi dan Yogi juga menyatakan tak terlibat suap dan pemberian gratifikasi seperti yang dituduhkan KPK.
Kuasa hukum Eddy, Yosi, dan Yogi, Muhammad Luthfie Hakim, juga tak banyak berkomentar. Ia beralasan timnya sedang libur Natal dan tahun baru. “Maaf, kami sambil berlibur, kudu berfokus pada pemberkasan dan persiapan memasukkan kembali permohonan praperadilan yang telah diperbaiki,” ucap Luthfie.
Luthfie tak menjawab pertanyaan mengenai alasan penarikan gugatan praperadilan ketiga kliennya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dia pun tak menjelaskan poin apa saja yang akan diperbaiki dalam gugatan baru. Luthfie juga tak menjawab pertanyaan soal rencana KPK menahan kliennya dalam waktu dekat.
Kuasa hukum Helmut Hermawan, Muhammad Sholeh Amin, mengaku kecewa terhadap KPK karena menahan kliennya. Ia makin kecewa karena KPK tak memenjarakan Eddy, Yogi, dan Yosi. Sholeh meyakini KPK keliru menangani kasus ini. Sebab, kasus ini dilaporkan Helmut lewat Indonesia Police Watch. “KPK justru merespons kasus ini dengan menaikkan kasus suap dan menahan Helmut,” ujarnya.
Langkah ini, dia menerangkan, dianggap berseberangan dengan sikap KPK yang getol mengkampanyekan masyarakat untuk menjadi pelapor kasus korupsi. Apalagi Helmut ditahan lebih dulu ketimbang orang-orang yang dilaporkan. Sementara itu, ia yakin konstruksi perkara ini berubah karena seolah-olah membuat Helmut menyuap Eddy.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Mustafa Silalahi, Fajar Pebrianto, dan Riky Ferdianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Maju-Mundur Bui untuk Pak Wamen"