MEMENUHI panggilan Bupati Kediri, dengan harapan sekedar
menerima penjelasan, Pengacara Frans Gunawan ringan menuju ruang
pertemuan kabupaten. Pembela dari Biro Bantuan & Konsultasi
Hukum yang berpusat di Malang tersebut sebelumnya memang pernah
menyatakan ada manipulasi tanah petani di Desa Manggis,
Kecamatan Ngancar, di Kabupaten Kediri (Jawa Timur). Hal itu
diadukannya ke Menteri Dalam Negeri.
Siapa menyangka, di ruang pertemuan ternyata hadir juga beberapa
pejabat sipil' dan militer--dan tak ketinggalan juga wartawan.
Dan bukan pula penjelasan yang diterima Frans Gunawan. Bupati
Usri Sastradiredja, seperti dituturkan Gunawan kemudian, berkata
begini "Saudara telah membantu oknum-oknum eks walap (wajib
lapor) PKI. Karena itu saudara juga diangap sama dengan mereka.
Oleh karena itu saudara saya serahkan ke Laksusda!"
Kepala Staf Kodim Mayor Sudiyanto, yang hadir mewakili Dandim
Kediri, langsung menyatakan menerima "penyerahan" tersebut.
Disertai keterangan, seperti diceritakan Gunawan kembali,
"kegiatan" pengacara itu bukan yang pertama. Sebelumnya ia juga
pernah mengurus sengketa yang menyangkut bekas gedung pertemuan
cina Baperki (CHTH).
Kalau tahu sebelumnya bahwa panggilan bupati hanya untuk
menuduhnya begitu dan menyerahkannya kepada Laksusda, kata Frans
Gunawan yang berkantor di Jalan Patimura Kediri itu, "tidak
mungkin saya mau datang--sebab itu melanggar hak-hak saya
sebagai pengacara." Pendiri dan dosen Universitas Kediri (juga
pengajar di IKIP PGRI Kediri dan Universitas Darul Ulum Jombang)
tersebut, memang merasa sedang menjalankan tugasnya sebagai
pengacara mewakili 10 petani yang menuntut keadilan.
Suatu hari, Juli lalu, datanglah 10 petani pemilik sawah, tegal,
dari Desa Manggis ke kantor Gunawan. Mereka mengadu bahwa
sekitar 7 hektar unah mereka dibeli pamong desa secara paksa
dengan harga Rp 10 ribu/are. Alasannya, seperti cerita mereka
kepada Gunawan, tanah tersebut "untuk pembangunan". Usul para
petani, agar mereka mendapat ganti tanah lain, tak diindahkan.
Jual-beli berlangsung hanya melalui surat kuasa bercap jempol
para petani belaka.
Frans Gunawan (51 tahun), lulusan Fakultas Hukum UGM (Yogya),
memulai penyelidikannya dari kantor pembayaran Ipeda. Dari situ
ketahuan bahwa tanah milik rakyat tersebut telah berganti
pemilik atas nama beberapa pamong desa--kamituo, kebayan atau
jogoboo. Bahwa jual-beli tanah-tanah tersebut tidak melalui
pejabat yang berwenang, PPAT, menurut Gunawan "merupakan
petunjuk yang kuat adanya manipulasi."
Frans Gunawan lalu meneruskan pengaduan petani tersebut ke
Menteri Dalam Negeri. Para pamong di Desa Manggis dituduhnya
"menipu rakyat yang buta hukumi'. Seraya minta agar Mendagri
menindak para pamong dan mengembalikan hak para petani yang
dibelanya.
Mengamuk
Hasilnya? Menganggap urusan berbau politik, Bupati Usri
menyerahkan Frans Gunawan ke Laksusda, akhir September lalu.
Dengan kejadian tersebut, menurut Direktur LBH (Lembaga Bantuan
Hukum) Jakarta, A. Rachman Saleh, kepada Harian Sinar Harapan
awal bulan ini: "Sedikitnya sudah dua kali Laksusda Jawa Timur
mencampuri gugatan yang menyangkut tanah.".
Yang pertama menyangkut Umardani Kombayono, pokrol, yang dituduh
menipu para petani di Blitar yang dibelanya. Meskipun para
petani bersaksi tak pernah ditipu--bahkan dibela--Laksusda tetap
menahan Umardani. Belakangan, ketika pengadilan menjatuhkan
hukuman kepadanya 1« tahun, Umardani mengamuk di ruang sidang
(TEMPO 5 September).
Bupati Usri Sastradiredja tak ingin banyak bicara. "Masalahnya
sudah diambil-alih Gubernur -- saya dilarang memberi keterangan
pers," kata Bupati, di tengah acara rapat pimpinan daerah belum
lama ini. Namun sebelumnya Sastradiredja ada menyatakan kasus
yang diserahkannya ke Laksus tak lain berupa dugaan kuat, bahwa
Frans Gunawan telah bekerjasama dan membantu oknum eks PKI
melancarkan kegiatan provokasi.
Sedangkan pengaduan petani yang diteruskan Gunawan ke Menteri
Dalam Negeri, menurut Sastradiredja, merupakan fitnah bagi
pamong desa di wilayahnya Juga, katanya lagi, Gunawan telah
berani memanggil pamong desanya meskipun ia seharusnya tahu
bahwa seorang pengacara tak berwenang memanggil aparatur
pemerintah. Untuk itu semua Sastradiredja akan memperkarakan
Gunawan sebagaimana mestinya-tidak melalui tangan Laksusda.
Kepala Desa Manggis, Harjo Kemin (5Z tahun), memang merasa
terfitnah oleh laporan Gunawan. Urusannya dengan petani,
katanya, begini duduk soalnya. Desanya mendapat proyek SD Inpres
dan pasar. Musyawarah desa memutuskan, agar lokasi dipilih di
tanah bengkok, tanah milik desa yang diserahkan kepada pamong
sebagai gaji. Untuk proyek tersebut diperlukan 3 hektar.
Sebagai ganti bengkok yang terkena proyek, menurut Harjo,
musyawarah desa memutuskan mengambil tanah milik petani luar
desa dengan memberikan ganti rugi. Maka dipilihlah unah milik 10
penduduk Desa Ngancar dan Pandantoyo. "Jumlah ganti rugi
berdasarkan musyawarah dengan pemiliknya," kata Harjo. Oleh
karena itu ia merasa terfitnah bila dituduh menipu penduduk.
"Tuntutan sudah saya serahkan ke kejaksaan," kata Harjo.
Beberapa orang yang boleh dianggap mula-mula mengurus tanah
tersebut, Soron dan Poniran, belakangan tak tampak lagi di
desanya. "Beberapa kali mereka dicari orang berpakaian hijau,"
ujar Wiryantono, ayah Soron, "dan sebulan mereka tidak pulang."
Untuk kesekian kalinya petani tak berani pulang ke desa setelah
mencoba menuntut haknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini