PROVESI kedokteran bulan ini guncang. Dokter-dokter di Jawa
Tengah sepakat mengadakan aksi keprihatinan nasional, Bahkan ada
yang ingin mengembalikan obat-obat suntik yang mereka punyai.
"Aksi" itu dimaksudkan sebagai protes atas penghukuman dr.
Setianingrum, dokter Puskesmas Wedarijaksa (Pati), yang dijatuhi
hukuman 3 bulan penjara dalam masa percobaan 10 bulan karena
dipersalahkan lalai dan menyebabkan pasiennya mati.
Kasus yang menimpa Setianingrum menyedihkan kawan-kawan
seprofesi. Sebab, seperti dikatakan Prof. Mahar Mardjono, nasib
dokter jujur itu hanya lagi sial -- menyuntik seorang pasien
yang alergi terhadap obat antibiotika dengan streptomycine.
"Saya pun pernah menyuntik dengan obat itu, tapi kebetulan
tangan saya dingin," ujar Mahar, sehingga tidak ada persoalan.
"Yang diadili bukan hanya Setianingrum, tetapi profesi
kedokteran," ujar Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
(PB IDI), dr. Abdullah Cholil MPH. Kalau hukuman itu dikukuhkan
Mahkamah Agung, akan menjadi yurisprudensi, "maka keputusan
itubisa menimpa siapa saja di kalangan kedokteran," kata Cholil.
Cholil menilai kasus Setianingrum itu tidak ada unsur pidananya.
Sayangnya, katanya, di Indonesia hanya ada undang-undang umum.
Sebab itu ia akan memperjuangkan adanya undangundang kesehatan
dan sebuah peradilan profesi. Maksudnya, kalau terjadi kasus
semacam yang dialami dr. Setianingrum, perkara dibawa dulu ke
peradilan profesi untuk diperiksa. "Sebab hanya kalangan
kedokteranlah yang tahu, apakah seorang dokter itu salah atau
tidak," ujar Cholil.
Peradilan profesi yang diinginkan IDI semacam Mahkamah
Pelayaran. "Kalau memang ada unsur pidananya baru pengadilan
atau instansi penyidik ikut mengusut," ujarnya. Tetapi kalau
ternyata, seorang dokter hanya melanggar kode etik, maka
peradilan profesilah yang akan memutuskan. Untuk itu perlu pula
disusun suatu standar --dalam kasus apa seorang dokter itu bisa
dikatakan melakukan tindak pidana.
Mahar Mardjono juga setuju profesi lain mempunyai peradilan
profesi. Meskipun yang lain tidak pernah mengalami kasus seperti
IDI. "Insinyur yang membangun Sarinah tidak diadili walau gedung
itu rubuh," kata Rektor UI itu. Peradilan profesi juga disetujui
S. Tasrif, pengacara terkenal, dan Ketua Dewan Kehormatan PWI.
Seperti halnya dokter, katanya, profesi advokat atau wartawan
juga mempunyai risiko. Misalnya, pengacara yang lalai sehingga
merugikan langganan bisa dituntut kliennya. "Tetapi hendaknya
keputusan peradilan profesi tidak menutup pihak yang dirugikan
menempuh jalan pengadilan umum," kata Tasrif. Maksudnya,
keputusan peradilan profesi hanya bisa digunakan pihak penyidik
atau pengadilan untuk bahan pertimbangan saja, kalau pihak yang
dirugikan mengajukan kasus ke pengadilan.
Tasrif sendiri pernah dirugikan seorang dokter gigi yang
merawatnya. Suatu ketika Tasrif memeriksakan giginya yang
bolong. Ternyata, dokternya salah cabut, sehingga gigi yang baik
yang ditanggalkan. "Kalau di luar negeri kan bisa menuntut ganti
rugi," ujar Tasrif sambil ketawa.
Untuk melindungi semua pihak itulah, Dirjen Hukum dan
Perundang-undangan Departemen Kehakiman. Harsono Adisumarto SH.
MPH, melihat perlunya keseimbangan kpentingan semua pihak
dipertimbangkan sebelum RUU peradilan profesi itu diajukan ke
DPR.
"Dokter memang perlu dilindungi, tetapi pasien dan kepentingan
umum jangan dirugikan," kata Harsono.
Sebab itu ia sependapat dengan Tasrif, "walau diajukan ke
peradilan profesi, pihak yang dirugikan tidak dikurangi haknya
untuk menuntut, begitu juga hak instansi penyidik yang mewakili
kepentingan umum untuk mengusut." Bagaimana mengaturnya?
"Serahkan saja kepada pemerintah dan DPR," ujar Harsono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini