Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Upaya mengadili profesi

Diskusi tentang peradilan profesi oleh idi, buntut dari kasus dr. setianingrum. pengurus besar idi akan memperjuangkan adanya undang-undang kesehatan dan peradilan profesi.

24 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROVESI kedokteran bulan ini guncang. Dokter-dokter di Jawa Tengah sepakat mengadakan aksi keprihatinan nasional, Bahkan ada yang ingin mengembalikan obat-obat suntik yang mereka punyai. "Aksi" itu dimaksudkan sebagai protes atas penghukuman dr. Setianingrum, dokter Puskesmas Wedarijaksa (Pati), yang dijatuhi hukuman 3 bulan penjara dalam masa percobaan 10 bulan karena dipersalahkan lalai dan menyebabkan pasiennya mati. Kasus yang menimpa Setianingrum menyedihkan kawan-kawan seprofesi. Sebab, seperti dikatakan Prof. Mahar Mardjono, nasib dokter jujur itu hanya lagi sial -- menyuntik seorang pasien yang alergi terhadap obat antibiotika dengan streptomycine. "Saya pun pernah menyuntik dengan obat itu, tapi kebetulan tangan saya dingin," ujar Mahar, sehingga tidak ada persoalan. "Yang diadili bukan hanya Setianingrum, tetapi profesi kedokteran," ujar Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr. Abdullah Cholil MPH. Kalau hukuman itu dikukuhkan Mahkamah Agung, akan menjadi yurisprudensi, "maka keputusan itubisa menimpa siapa saja di kalangan kedokteran," kata Cholil. Cholil menilai kasus Setianingrum itu tidak ada unsur pidananya. Sayangnya, katanya, di Indonesia hanya ada undang-undang umum. Sebab itu ia akan memperjuangkan adanya undangundang kesehatan dan sebuah peradilan profesi. Maksudnya, kalau terjadi kasus semacam yang dialami dr. Setianingrum, perkara dibawa dulu ke peradilan profesi untuk diperiksa. "Sebab hanya kalangan kedokteranlah yang tahu, apakah seorang dokter itu salah atau tidak," ujar Cholil. Peradilan profesi yang diinginkan IDI semacam Mahkamah Pelayaran. "Kalau memang ada unsur pidananya baru pengadilan atau instansi penyidik ikut mengusut," ujarnya. Tetapi kalau ternyata, seorang dokter hanya melanggar kode etik, maka peradilan profesilah yang akan memutuskan. Untuk itu perlu pula disusun suatu standar --dalam kasus apa seorang dokter itu bisa dikatakan melakukan tindak pidana. Mahar Mardjono juga setuju profesi lain mempunyai peradilan profesi. Meskipun yang lain tidak pernah mengalami kasus seperti IDI. "Insinyur yang membangun Sarinah tidak diadili walau gedung itu rubuh," kata Rektor UI itu. Peradilan profesi juga disetujui S. Tasrif, pengacara terkenal, dan Ketua Dewan Kehormatan PWI. Seperti halnya dokter, katanya, profesi advokat atau wartawan juga mempunyai risiko. Misalnya, pengacara yang lalai sehingga merugikan langganan bisa dituntut kliennya. "Tetapi hendaknya keputusan peradilan profesi tidak menutup pihak yang dirugikan menempuh jalan pengadilan umum," kata Tasrif. Maksudnya, keputusan peradilan profesi hanya bisa digunakan pihak penyidik atau pengadilan untuk bahan pertimbangan saja, kalau pihak yang dirugikan mengajukan kasus ke pengadilan. Tasrif sendiri pernah dirugikan seorang dokter gigi yang merawatnya. Suatu ketika Tasrif memeriksakan giginya yang bolong. Ternyata, dokternya salah cabut, sehingga gigi yang baik yang ditanggalkan. "Kalau di luar negeri kan bisa menuntut ganti rugi," ujar Tasrif sambil ketawa. Untuk melindungi semua pihak itulah, Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman. Harsono Adisumarto SH. MPH, melihat perlunya keseimbangan kpentingan semua pihak dipertimbangkan sebelum RUU peradilan profesi itu diajukan ke DPR. "Dokter memang perlu dilindungi, tetapi pasien dan kepentingan umum jangan dirugikan," kata Harsono. Sebab itu ia sependapat dengan Tasrif, "walau diajukan ke peradilan profesi, pihak yang dirugikan tidak dikurangi haknya untuk menuntut, begitu juga hak instansi penyidik yang mewakili kepentingan umum untuk mengusut." Bagaimana mengaturnya? "Serahkan saja kepada pemerintah dan DPR," ujar Harsono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus