Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama hakim Suwidya Abdullah kembali menjadi sorotan. Kali ini ketua majelis hakim yang menjatuhkan hukuman seumur hidup bagi Akil Mochtar itu mendapat pujian dari berbagai kalangan. Komisi Pemberantasan Korupsi dan Indonesia Corruption Watch termasuk yang memuji hakim "pemecah rekor" dalam menghukum pejabat tinggi yang didakwa korupsi itu.
Dipuji kanan-kiri, Suwidya malah merendah. Dia menyebut vonis itu "biasa saja", bagian dari pekerjaan dia sehari-hari. "Publik membuatnya seolah-olah jadi luar biasa," ujar Suwidya di ruang kerjanya di lantai dua gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu.
Dia menunjuk vonis terhadap Akil pun diputus secara kolektif, lewat musyawarah majelis hakim. Tiap hakim, kata dia, punya kesempatan mengajukan pendapat untuk dibahas bersama. "Tapi itu rahasia," ucap Suwidya ketika didesak menjelaskan bagaimana musyawarah itu berjalan.
Suwidya mengadili Akil bersama empat hakim lain. Mereka adalah Gosen Butar Butar, Matheus Samiaji, Alexander Maroata, dan Sofyaldi. Dua hakim, Sofyaldi dan Alexander, mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion. "Saya tak boleh mengomentari putusan sendiri," ujar Suwidya soal tak bulatnya pendapat majelis hakim itu.
Sejauh ini vonis terhadap Akil memang menjadi vonis terberat bagi koruptor. Tapi itu bukan vonis paling berat yang pernah diketuk Suwidya. Ketika menjabat ketua majelis hakim di Pengadilan Negeri Depok pada 2009, Suwidya menjatuhkan hukuman mati untuk Very Idham Henyansyah alias Ryan. Pria asal Jombang itu terbukti melakukan pembunuhan berantai atas sejumlah lelaki yang pernah dia "pacari".
Di pengadilan yang sama, Suwidya memvonis 20 tahun penjara seorang terdakwa yang terbukti memiliki dua karung ganja. "Perkara itu malah tak ada yang meliput," kata Suwidya sembari terkekeh.
Perjalanan karier Suwidya sebagai hakim lumayan panjang. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada 1986, dia langsung melamar sebagai calon hakim di Surabaya. Setelah sekian tahun menjadi hakim, ia pernah mendapat beasiswa dari University of Sheffield, Inggris. Sejak akhir tahun lalu, Suwidya, kini 52 tahun, menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sebagai hakim, Suwidya tak luput dari "vonis kontroversial". Pada Februari 2008, dia menghukum wartawan senior Bersihar Lubis satu bulan penjara dan memintanya membayar biaya perkara. Bersihar memang tak sempat menjalani hukuman itu karena tak melanggar syarat yang ditetapkan hakim: tidak mengulangi perbuatannya selama masa tiga bulan percobaan.
Bersihar dihadapkan ke meja hijau atas tuduhan menghina Kejaksaan Agung. Gara-garanya, ia menulis kolom di harian Koran Tempo edisi 17 Maret 2007 dengan judul "Kisah Interogator yang Dungu". Kolom itu berisi kritik kepada kejaksaan yang melarang peredaran buku-buku sejarah.
Putusan yang diketuk Suwidya dan kawan-kawan dikecam para pegiat kebebasan berekspresi kala itu. Sepanjang persidangan, sejumlah jurnalis dan pemerhati kebebasan pers pun berkali-kali melakukan aksi damai dan meminta Bersihar dibebaskan.
Sejak itu, Suwidya mengaku selalu menjauhi media sebelum memutus perkara. "Agar pikiran adem-ayem dan tak apriori," ucap bapak tiga anak ini. Kebiasaan lain Suwidya, dia kerap menggunakan kereta komuter ketika berangkat kerja dari rumahnya di Depok menuju Jakarta. "Itu alat transportasi yang paling cepat," ujarnya.
Yuliawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo