Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA hakim bergantian membacakan surat putusan bagi bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, Senin pekan lalu. Perlu waktu sekitar enam setengah jam untuk pembacaan seluruh berkas putusan itu. Di akhir sidang, sekitar pukul 22.30, majelis hakim yang dipimpin Suwidya Abdullah membacakan amar putusan dan lantas mengetukkan palunya: menghukum Akil penjara seumur hidup. Itulah rekor tertinggi yang pernah "diciptakan" pengadilan antikorupsi terhadap seorang terdakwa kasus korupsi.
Akil sendiri tak menunjukkan kekagetan. "Saya banding, Pak Ketua," katanya singkat. Seusai sidang, kepada wartawan, Akil mengaku sudah menduga putusan hakim itu. "Sampai surga pun saya banding," ucap Akil, yang pernah mengusulkan hukuman potong jari bagi koruptor.
Majelis hakim menyatakan ada dua hal yang memberatkan vonis terhadap Akil. Pertama, kedudukan Akil sebagai hakim di lembaga negara yang menjadi benteng terakhir dalam penegakan hukum. Kedua, perbuatan Akil meruntuhkan wibawa hukum di Indonesia dan perlu waktu lama untuk memulihkannya.
Selama pemeriksaan dan persidangan, Akil tak pernah mengaku bersalah atau menunjukkan penyesalan. Karena itu, menurut majelis hakim, "Tak ada hal yang bisa meringankan hukuman bagi Akil."
Hukuman penjara seumur hidup ini klop dengan tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun hakim tak mengabulkan seluruh tuntutan jaksa. Hakim menolak tuntutan denda Rp 10 miliar serta pencabutan hak politik Akil untuk memilih dan dipilih. Soal ini, majelis hakim punya alasan. "Terdakwa sudah mendapatkan hukuman maksimal," ujar hakim Suwidya setelah sidang.
Kendati "angkanya" sesuai dengan permintaan jaksa, jaksa KPK, Pulung Rinandoro, ternyata belum puas. Pulung mengatakan akan mengajukan permohonan banding terhadap putusan itu. "Kami tetap mempertahankan agar tuntutan kami dipenuhi semuanya," kata Pulung sebelum meninggalkan tempat sidang.
Vonis terhadap Akil menjadi hukuman terberat dalam sejarah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sebelumnya, rekor hukuman koruptor dipegang bekas jaksa Urip Tri Gunawan. Pada 2008, Urip divonis 20 tahun penjara karena terlibat kasus suap dan pemerasan dalam perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Seperti halnya Akil, Urip pun terus melawan. Ditemui di penjara Sukamiskin, Bandung, dua pekan lalu, pria bertubuh tegap itu menyatakan akan mengajukan upaya hukum luar biasa: peninjauan kembali atas kasusnya. Sebelumnya, upaya kasasinya ditolak Mahkamah.
Akil Mochtar tertangkap tangan penyidik KPK pada 2 Oktober tahun lalu di rumah dinasnya di Jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan. Malam itu ia hendak menerima uang suap dari pengusaha tambang Cornelis Nalau Antun dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar, Chairun Nisa.
Uang suap senilai Rp 3 miliar—dalam pecahan rupiah dan dolar—yang disita penyidik KPK malam itu diduga berkaitan dengan sengketa pemilihan Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang disidangkan Mahkamah Konstitusi.
Tertangkapnya Akil membongkar kejahatan jual-beli perkara di Mahkamah Konstitusi. Akil bekerja sama dengan sejumlah perantara, seperti Chairun Nisa, Susi Tur Andayani, dan Muhtar Ependy. Chairun Nisa dan Susi sudah dihukum bersalah. Adapun Muhtar masih berstatus saksi.
Dalam penyidikan di KPK tersingkap bahwa Akil menerima suap paling tidak dalam 15 sengketa pemilihan kepala daerah. Total duit suap yang dia terima, menurut penyidik dan jaksa KPK, mencapai Rp 57,78 miliar dan US$ 500 ribu.
Sewaktu menjaring duit suap, menurut jaksa, Akil tak pilih-pilih pihak. Pihak yang menang dan kalah dalam pemilihan kepala daerah bisa masuk "perangkap" dia. Dalam kasus Gunung Mas, misalnya, Akil mendapat uang sekitar Rp 3 miliar dari pihak yang menang. Hambit Bintih, calon bupati yang memenangi pemilihan, menyuap Akil karena khawatir kemenangannya dianulir Mahkamah Konstitusi.
Sebaliknya, dalam kasus pemilihan Wali Kota Palembang, Akil meminta uang kepada pihak yang kalah. Romi Herton, yang semula dikalahkan Sarimuda dengan selisih angka tipis, diminta menyetor uang Rp 19,8 miliar kepada Akil melalui Muhtar Ependy. Di Mahkamah Konstitusi, hasil pilkada Palembang dibalik untuk kemenangan Romi. Meski berkali-kali membantah, Romi akhirnya dijadikan tersangka oleh KPK.
Sebelum menyidangkan Akil, penyidik KPK menyita berbagai jenis harta, antara lain rumah mewah di Pontianak, yang menjadi kantor CV Ratu Samagat; rumah di Liga Mas, Jalan Pancoran Indah, Jakarta Selatan; sawah seluas 12.600 meter persegi di Singkawang; dan kebun mahoni seluas 6.000 meter persegi di Sukabumi. KPK juga menyita belasan rekening bank, 33 mobil, dan 31 sepeda motor.
Di persidangan, jaksa mendakwa Akil secara berlapis. Akil didakwa menerima suap, menggunakan kekuasaan untuk meminta uang, dan menyamarkan uang hasil kejahatannya dengan berbagai cara. Dia, antara lain, dijerat dengan Pasal 11 dan 12 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi serta Pasal 3 Undang-Undang Pencucian Uang.
Jaksa pun menuntut Akil dihukum seberat-beratnya. Menurut Pasal 12 Huruf c Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, penjara seumur hidup merupakan hukuman maksimal bagi hakim yang menerima suap.
Setelah mendengarkan pembelaan Akil dan keterangan para saksi, pekan lalu majelis hakim menyatakan hampir semua dakwaan jaksa terbukti. Ihwal pengurusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi, menurut hakim, Akil hanya tak terbukti menerima suap dalam kasus Lampung Selatan.
Menurut hakim, dakwaan jaksa bahwa Akil telah melakukan pencucian uang selama menjadi anggota DPR dan menjabat hakim konstitusi juga terbukti. Akil menyamarkan uang hasil kejahatannya, antara lain, dengan memarkir dana dalam rekening atas nama perusahaan milik istrinya, CV Ratu Samagat, atau membeli kendaraan, tanah, dan bangunan.
Tapi, kata hakim, tidak semua harta yang disita KPK terkait dengan kejahatan korupsi atau pencucian uang oleh Akil. Karena itu, hakim memerintahkan pengembalian sebagian harta Akil yang telah disita KPK. "Setelah mendalami surat tuntutan dan mempertimbangkan harta yang disita oleh negara, majelis hakim menetapkan pengembalian barang bukti," ucap Suwidya dalam persidangan.
Nilai aset Akil yang dikembalikan sekitar Rp 14,2 miliar. Itu terdiri atas uang dalam tabungan dan deposito, kendaraan, serta tanah (lihat "Disita Vs Dikembalikan").
Putusan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta ini pun tak bulat. Dua hakim menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion). Mereka adalah hakim Alexander Maroata dan hakim Sofyaldi. Menurut Alexander, jaksa tak berwenang menuntut pasal tindak pidana pencucian uang. Alasannya, kewenangan itu tak disebut dalam Undang-Undang Pencucian Uang. "Terdakwa tidak bisa dijatuhi dakwaan kelima dan keenam terkait dengan tindak pidana pencucian uang," ujar Alexander.
Ahli hukum pidana pencucian uang dari Universitas Trisakti, Yenti Ganarsih, menyayangkan munculnya perbedaan pendapat yang masih menyoroti kewenangan KPK. Menurut dia, perdebatan untuk hal mendasar seperti itu semestinya segera diselesaikan. Bila perbedaan pendapat itu muncul dalam bentuk dissenting opinion, "Putusan hakim bisa dianggap lemah," kata Yenti.
Yenti juga menyoroti besarnya harta yang dikembalikan hakim kepada Akil. Menurut dia, jaksa dan hakim semestinya menerapkan sistem pembalikan beban pembuktian. Akil harus diminta membuktikan dulu bahwa harta itu ia peroleh secara legal, bukan hasil kejahatan. Bila argumen dan buktinya cukup meyakinkan, baru harta dia dikembalikan.
Kejaksaan sebenarnya pernah menerapkan hal ini. Itu, misalnya, dalam kasus harta pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Bahasyim Assifie, pada 2010. Dalam pidana asalnya, Bahasyim hanya terbukti memeras pengusaha Kartini Mulyadi Rp 1 miliar.
Kala itu, supaya lolos dari pasal pencucian uang, Bahasyim mengajukan bukti bahwa uang Rp 65 miliar di rekeningnya bukan hasil kejahatan. Tapi majelis hakim menganggap bukti itu tak cukup. Karena itu, di tingkat kasasi, Bahasyim pun divonis bersalah dalam pencucian uang. Dia dihukum 12 tahun penjara. Seluruh harta Bahasyim senilai Rp 60,9 miliar dan US$ 681 ribu disita untuk negara.
Nah, menurut Yenti, jika pun jaksa dan terdakwa sama-sama tak bisa membuktikan klaimnya, hakim bisa memutuskan harta terdakwa tetap disita. Hanya, hakim sebaiknya segera memerintahkan penegak hukum mengusut lagi asal-usul harta tersebut. "Itu untuk kepastian hukum dan perlindungan hak terdakwa," ucapnya.
Emerson Yuntho, peneliti senior dari Indonesia Corruption Watch, mengatakan hal yang sama. Menurut dia, putusan hakim dalam kasus Akil tak sepenuhnya mencerminkan semangat pemiskinan koruptor dan menimbulkan efek jera. "Kalaupun koruptornya dipenjara, keluarganya masih bergelimang harta," ujar Emerson.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, sembari mengawal putusan kasus Akil sampai berkekuatan hukum tetap, KPK akan berfokus menangani para penyuap Akil.
Kamis pekan lalu, penyidik KPK kembali menggeledah tempat tinggal Muhtar Ependy dan istrinya di Apartemen Mall of Indonesia dan Rumah Susun Bandar Kemayoran, Jakarta Utara. Dari sana, penyidik menyita satu unit mobil Honda Jazz dan sejumlah dokumen. "Untuk penyuap, bisa kami siapkan pasal berlapis juga," kata Bambang.
Yuliawati, Nurul Mahmudah, Linda Trianita, Erick P. Hardi (Bandung)
Yang Cemas Setelah Akil
Komisi Pemberantasan Korupsi akan menjadikan vonis hakim atas Akil Mochtar sebagai bukti untuk menjerat orang-orang dekat Akil dan barisan penyuap yang masih bebas. Sebagian besar dari mereka masih berstatus saksi.
Terbukti vs Tak Terbukti
Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menjerat Akil Mochtar dengan enam lapis dakwaan. Sebagian besar terbukti.
Dakwaan pertama
Akil didakwa menerima duit dalam sengketa pemilihan kepala daerah:
Dakwaan kedua
Akil didakwa menerima duit dalam perkara pemilihan kepala daerah:
Dakwaan ketiga
Akil didakwa menyalahgunakan kekuasaan karena meminta uang Rp 125 juta kepada Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem. Duit itu untuk biaya konsultasi Alex kepada Akil mengenai sengketa pilkada Kabupaten Merauke, Asmat, Boven Digoel, Kota Jayapura, Kabupaten Nduga.
Kesimpulan hakim: Terbukti.
Dakwaan keempat
Akil didakwa menerima uang Rp 7,5 miliar dari bekas Gubernur Banten Atut Chosiyah dan Chaeri Wardhana. Pemberian itu diduga terkait dengan permohonan keberatan atas hasil pilkada Provinsi Banten.
Kesimpulan hakim: Terbukti.
Dakwaan kelima
Akil didakwa melakukan pencucian uang hasil korupsi sejumlah Rp 161 miliar bersama Muhtar Ependy mulai 22 Oktober 2010 hingga 2 Oktober 2013.
Kesimpulan hakim: Semua terbukti kecuali penitipan uang Rp 35 miliar oleh Muhtar Ependy untuk Akil Mochtar di BPD Kalimantan Barat Jakarta.
Dakwaan keenam
Akil didakwa melakukan pencucian uang hasil korupsi sekitar Rp 22 miliar sejak menjabat anggota DPR RI periode 1999-2009 dan hakim konstitusi pada 2008-2010. Duit hasil pencucian uang itu disimpan dalam rekening pribadi serta dibelikan mobil, tanah, dan bangunan.
Kesimpulan hakim: Terbukti.
Disita vs Dikembalikan
Selama menjadi anggota DPR dan hakim konstitusi, Akil Mochtar didakwa menumpuk dan menyamarkan kekayaan hasil korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo