Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Terbakar di Monumen Nasional

Seorang prajurit TNI Angkatan Darat membakar seorang juru parkir liar di Monumen Nasional. Pemerintah DKI Jakarta mengaku pemberantasan parkir liar sulit dilakukan karena banyak beking dari aparat.

7 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tubuh manusia berbalut kobaran api itu terlihat berlari keluar dari Gerbang Timur Monumen Nasional. Selasa malam dua pekan lalu itu, Syahrial—bukan nama sebenarnya—terpaku melihat pemandangan tersebut. Dari mulut "manusia api" itu terdengar teriakan minta tolong berkali-kali.

Sekitar 200 meter dari pintu masuk Stasiun Kereta Api Gambir, pria yang badannya dipenuhi api itu tersungkur. Syahrial mengenali pria itu, yakni Tengku Yusri, tukang parkir seperti dirinya. "Langsung kami siram memakai air mineral dan kami bawa ke rumah sakit," kata Syahrial kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Syahrial ingat, sebelum peristiwa itu, dia melihat pria 47 tahun asal Aceh tersebut tengah berbincang dengan seorang pria berambut cepak yang mereka kenal bernama Heri. Malam itu Heri, yang sehari-hari adalah anggota Detasemen Markas Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat, datang meminta "uang keamanan" kepada Yusri. Prajurit satu ini datang dengan dua rekannya.

Menurut Syahrial, dari cerita sejumlah rekannya yang melihat awal kejadian itu, tak ada tanda-tanda keributan antara Yusri dan Heri. Mereka tampak berbincang akrab. Tapi, sekitar 15 menit kemudian, situasi berubah. Heri tampak marah dan mendorong Yusri. Begitu Yusri terjerembap, Heri mengambil botol bekas air mineral berisi bensin dan menumpahkannya ke kepala Yusri. Lalu, wuss, dengan korek gas, Heri menyulut tubuh Yusri yang tak berdaya.

Penganiayaan itu dipicu perihal "uang setoran" dari Yusri yang ternyata tak memuaskan Heri. Yusri saat itu hanya bisa memberi Heri Rp 30 ribu. Kepada tukang parkir dan para penjual barang-barang yang "berserakan" di sekitar Monas, Heri memang kerap meminta "jatah preman". "Dia tidak melakukan apa-apa, ya, hanya datang meminta," ujar seorang tukang parkir yang juga meminta namanya tidak disebutkan. Kepada Tempo, seorang penjual kaus mengaku saat itu juga didatangi Heri dan kemudian memberi pria berbadan tegap tersebut Rp 30 ribu. "Sekitar 15 menit setelah itu, saya melihat Yusri dibakar," katanya.

Yusri kini masih terbaring di ruang perawatan intensif (ICU) Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo. Sekujur tubuhnya—termasuk tangan dan wajahnya—terbebat perban. Sebelumnya, ia dirawat di Rumah Sakit Tarakan, Jakarta Pusat. "Kata dokter, kondisinya belum stabil," ucap Cut Megawati, istri Yusri, kepada Tempo. Cut hanya bisa duduk di luar kamar. "Tak boleh ada yang menjenguk dulu."

Selasa pekan lalu, bersama sejumlah teman Yusri, perempuan ini mendatangi kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Cut meminta perlindungan LPSK karena tak memiliki biaya untuk pengobatan suaminya. Menurut dia, sampai saat ini saja biaya perawatan di RS Tarakan sebesar Rp 25 juta belum dilunasi. Dia mengaku sempat menerima biaya pengobatan dari pihak TNI Angkatan Darat sebesar Rp 10 juta. Selain biaya itu tak cukup, ia waswas jika suaminya kelak cacat dan tak bisa bekerja. "Siapa yang mau membiayai dua anak saya?" ujarnya.

Kepala Pusat Penerangan TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Andika Perkasa mengatakan Heri sudah diperiksa Polisi Militer Kodam Jaya. Dia akan dijerat dengan pasal 354—pasal penganiayaan—yang hukumannya maksimal delapan tahun. TNI Angkatan Darat, kata Andika, juga segera memecat Heri. "Senin pekan ini upacara pemecatannya akan digelar," ujarnya.

Rekam jejak Heri ternyata memang buram. Pria 40 tahun itu tercatat kerap melakukan pelanggaran disiplin. Itu sebabnya, hingga usianya berkepala empat, pangkatnya tak beranjak dari "prajurit satu". Berdasarkan pemeriksaan urinenya, kata Andika, Heri juga pemakai narkoba. Saat peristiwa pembakaran itu, Heri diketahui meninggalkan tugasnya sebagai petugas piket.

Penyidik Polisi Militer sudah menyerahkan berkas Heri ke Odituriat Militer II-08 Jakarta untuk tahap penuntutan. Dari sini odituriat akan mengajukannya ke Mahkamah Militer II Jakarta. Menurut Andika, perihal pengobatan Yusri, pihaknya akan menanggung seluruhnya.

Dari penyidikan, kata Andika, tak ada rekan Heri terlibat dalam peristiwa itu. Menurut dia, dua rekan Heri memang sempat berada di lokasi kejadian karena diminta tolong Heri lantaran sepeda motornya kehabisan bahan bakar. "Mereka hanya membelikan bensin kemudian pergi dari tempat itu," ujarnya. "Mereka tidak tahu bahwa ada pembakaran atau bensin itu akan digunakan untuk membakar korban."

1 1 1

Praktek parkir liar dan palak-memalak seperti yang menimpa Yusri biasa terjadi sehari-hari di Monas. Fahri, rekan Yusri, mengatakan kawasan parkir liar di Monas sudah dikaveling oleh beberapa kelompok. Kelompok itu terbentuk berdasarkan etnis. Khusus Gerbang Timur, lokasi yang biasa dijaga Yusri, dikuasai kelompok asal Aceh selama bertahun-tahun. Tiap kelompok terdiri atas sekitar 50 orang dengan sistem kerja bergantian. "Yang lain ada kelompok Batak, Jawa, ada juga yang campuran," katanya.

Biaya parkir di kawasan ini tak berbeda dengan biaya parkir di sejumlah tempat parkir legal di pinggir jalan. Untuk sepeda motor, biasanya mereka mengutip Rp 2.000 sekali parkir. Sedangkan untuk mobil dan bus masing-masing Rp 5.000 dan Rp 20.000 sekali parkir. Dalam sehari, menurut Fahri, rata-rata dia membawa pulang uang Rp 30-50 ribu. Rezeki nomplok baru mereka dapatkan jika monumen yang dibangun pada 1959 itu kebanjiran pengunjung, seperti saat libur sekolah atau ada pergelaran sebuah acara. "Kalau ramai bisa dapat Rp 100 ribu sehari," ujarnya.

Maraknya praktek parkir dan pedagang kaki lima liar inilah yang kemudian menjadi lahan empuk bagi sejumlah aparat seperti Heri. Fahri dan Syahrial mengaku juga memberikan jatah preman kepada sejumlah polisi dan anggota Satuan Polisi Pamong Praja agar usahanya tak diutak-atik. "Tapi kalau Satpol PP dan polisi enggak memaksa. Dikasih rokok sebungkus, mereka terima saja," ujar Fahri.

Soal sepak terjang Heri, Syahrial dan Fahri mengatakan sebenarnya baru berjalan beberapa bulan belakangan. Hanya, Heri memang tak segan menggunakan kekerasan untuk mengancam. Belasan juru parkir di sana, kata Fahri, sudah pernah merasakan bogem mentah prajurit satu itu.

1 1 1

Peristiwa pembakaran juru parkir di Monas ini membuat Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja "Ahok" Purnama berang. Dia sebenarnya sudah meminta kawasan Monas dibersihkan dari parkir liar dan pedagang kaki lima. Ahok mengatakan sudah menginstruksikan pengetatan penjagaan di sana. Dia juga sudah meminta polisi militer turut menjaga Monas. "Mereka sudah mau bantu supaya kejadian seperti ini tidak terulang lagi," ujarnya.

Menurut Ahok, pihaknya kini tengah menggodok peraturan terkait dengan penyatuan dua instansi yang bertanggung jawab mengurus Monas: Unit Pelayanan Monas dan Unit Pelayanan Taman Monas. Dia menilai keberadaan dua unit pelayanan seperti terjadi selama ini justru membuat pengawasan terhadap Monas tak maksimal karena keduanya saling lempar tanggung jawab. Pemerintah daerah juga akan menambah sejumlah kamera penjagaan di sana.

Kepada Tempo, Kepala Seksi Pelayanan Perparkiran DKI Jakarta Hendrico Tampubolon mengakui pihaknya kesulitan memberantas parkir liar. Menurut dia, parkir liar muncul karena lemahnya kesadaran masyarakat. Dia mengakui Monas saat ini mengalami kekurangan lahan parkir. Namun ini pun sudah ditangani dengan mengalihkan parkir ke sejumlah gedung di sekitarnya. "Tapi masyarakat maunya parkir yang deket lokasi walaupun sudah disediakan tempat yang benar," ucapnya.

Dia mengatakan pemberantasan tak gampang karena adanya aparat yang bermain. Saat ini di kawasan Monas saja setidaknya terdapat tiga titik parkir liar yang biasa digunakan. Satu titik dijaga sekitar 30 orang tiap hari. "Tidak mungkin mereka bisa seperti itu kalau tidak ada yang membekingi," ujarnya.

Febriyan, Ursula Florene Sonia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus