Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Santri dan petugas keamanan Pesantren Shiddiqiyyah diduga menganiaya saksi kasus pelecehan seksual dan merampas telepon selularnya.
Ada 5 santri perempuan yang diduga menjadi korban pelecehan seksual oleh putra pendiri Pesantren Shiddiqiyyah.
Kasus pelecehan seksual yang melibatkan putra pendiri Pesantren Shiddiqiyyah jalan di tempat.
LANTUNAN ayat Al-Quran di sebuah rumah di Dusun Pandanblole, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, pada Ahad pagi, 9 Mei lalu, terhenti oleh kedatangan enam laki-laki. Mereka mencari-cari seorang perempuan berinisial TAM, atau sebut saja Rani, dalam acara khatam Al-Quran itu. Enam orang itu diduga merupakan santri dan petugas keamanan di Pondok Pesantren Majma’al Bahroin Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah.
Setelah menemui Rani, seorang pria bernama Zainun, petugas keamanan di pondok pesantren itu, membentak dia dan merebut telepon selulernya. “Mereka tidak terima dengan status yang diunggah Rani di Facebook,” ucap Direktur Woman Crisis Center (WCC) Jombang Ana Abdillah, yang juga pendamping Rani, pada Selasa, 20 Mei lalu.
Sehari sebelumnya, perempuan berusia 23 tahun itu membuat status di akun Facebooknya. Isinya menyindir Kiai Haji Muchtar Muthi alias Kiai Tar, mursyid Tarekat Shiddiqiyyah dan pendiri Organisasi Shiddiqiyyah, yang diklaim memiliki jutaan pengikut di dalam dan luar negeri. Rani mengungkit soal korban kekerasan seksual di Pesantren Shiddiqiyyah yang didirikan Tar. Putra sulung Tar, Mochammad Subchi Azal Tsani atau biasa disapa Gus Bechi, 40 tahun, dituduh mencabuli lima santri perempuan. Rani merupakan salah satu saksi kunci dalam kasus itu. (Baca: Kekerasan Seksual di Rumah Tuhan Selama 20 Tahun)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Massa yang tergabung dalam Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual menggelar aksi damai di depan Mapolda Jatim, Juli 2020./Hilda Meilisa Rinanda/detikcom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada Rani, Zainun mengatakan ponselnya diambil agar Rani tak bisa menghapus pesan Facebook yang akan digunakan sebagai bukti laporan pencemaran nama. Tak terima gawainya direbut Zainun, Rani melawan balik. Namun, kata Ana Abdillah, Zainun membenturkan kepala Rani ke tembok empat kali sebelum bersama teman-temannya masuk ke mobil. Rani sempat melempar batu ke mobil berkelir hitam yang dinaiki Zainun.
Dalam keterangan tertulis, Zainun menyatakan dia dan teman-temannya datang untuk mengklarifikasi pernyataan Rani di Facebook. Namun, menurut Zainun, Rani malah berteriak. Zainun membenarkan bahwa dia mengambil ponsel Rani. “Tapi perlu ditegaskan sama sekali tidak terjadi penganiayaan,” tulis Zainun pada Senin, 10 Mei lalu. (Baca: Cerita Anak Altar Merahasiakan Pemerkosaan yang Dialaminya)
Ketua Bidang Hubungan Antar-Organisasi Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Shiddiqiyyah Joko Herwanto mengakui pihaknya mengambil telepon seluler Rani. “Handphone tersebut kemudian diserahkan ke Polsek Ploso sebagai barang bukti karena dia menghina kiai,” ucap Joko, Jumat, 21 Mei lalu. Joko juga membantah dugaan adanya penganiayaan. “Menurut informasi, salah satu oknum memang menutup mulutnya. Mungkin dia terdorong dan kepalanya terbentur sendiri.”
Setelah peristiwa itu, Rani menemui Ana Abdillah. Mereka berkendara sepeda motor ke Kepolisian Resor Jombang untuk melaporkan kejadian tersebut. Alih-alih menerima laporan, petugas meminta Rani melapor ke Kepolisian Sektor Ploso dengan alasan Rani tak membawa bukti apa pun saat melapor.
Namun di Polsek Ploso petugas pelayanan malah meminta Rani tak melapor. “Seorang petugas Polsek berkali-kali bilang ke kami, ‘Yakin mau lapor? Nanti kalau dilaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama bagaimana?’,” ujar Ana, menirukan ucapan seorang anggota Polsek Ploso. Namun Ani tetap melaporkan Zainun cs dengan pasal penganiayaan. Adapun laporan Zainun ke Polres Jombang pada Senin, 10 Mei lalu, langsung diterima oleh petugas. (Baca: Pengakuan Anak Panti Asuhan di Depok yang Diduga Dicabuli Biarawan Katolik)
M. Subchi Azal Tsani /Facebook.com /For Mujeres - Front Santri Melawan Kekerasan Seksual
Menjelang malam, sejumlah pria mendatangi rumah Rani. Menurut Ana, mereka meminta Rani mencabut laporan. Mereka pun mengintimidasi sejumlah saksi mata. Rani lalu melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Saat ini, ia sudah berada di bawah perlindungan penuh LPSK.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jombang Ajun Komisaris Teguh Setiawan mengatakan polisi telah menerima laporan kedua pihak. “Kami masih butuh keterangan tambahan dari saksi-saksi lain,” tuturnya. Pemeriksaan terhadap saksi, kata Teguh, sempat terhenti karena laporan diterima menjelang masa libur Lebaran. Pemeriksaan akan dilanjutkan pada awal Juni mendatang.
•••
SEORANG santri Pondok Pesantren Majma’al Bahroin Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah berinisial IP mendatangi kantor Women Crisis Center (WCC) Jombang pada 2017. Kepada tim WCC, perempuan yang masih di bawah umur asal Jawa Tengah itu mengaku telah disetubuhi oleh putra pemilik pesantren yang bernama Mochammad Subchi Azal Tsani alias Gus Bechi. Setelah mendengar kronologi peristiwa, IP dan pengurus WCC bersepakat mengumpulkan barang bukti dan kemudian melaporkannya ke polisi. (Baca: Kolom Bivitri Susanti: Kekerasan Seksual dan Perlunya Upaya Negara Menghapusnya)
Namun, setelah pertemuan itu, IP tak pernah kembali ke kantor WCC. Direktur WCC Ana Abdillah melupakan aduan itu hingga TAM alias Rani, saat itu masih santri di Pesantren Shiddiqiyyah, datang pada pertengahan 2018 dan melaporkan bahwa Bechi melecehkan tiga temannya yang juga santri di pondok tersebut. “Rani menjadi saksi pelecehan tersebut,” tutur Ana.
Ratusan santri dan alumnus Pesantren Shiddiqiyyah saat unjuk rasa di Markas Kepolisian Resor Jombang, Jawa Timur, Januari 2020. (foto: facebook.com)
Pelecehan itu diduga terjadi saat para santri perempuan mengikuti seleksi tenaga kesehatan di klinik milik Pesantren Shiddiqiyyah pada 2017. Bechi direncanakan meresmikan klinik itu. Menurut Ana, Bechi meminta peserta mengikuti wawancara khusus di padepokan pesantren yang terletak di hutan dan jauh dari keramaian. Bechi diduga meminta para santriwati, sebagian diperkirakan berusia di bawah 18 tahun, menanggalkan pakaian untuk mengikuti ritual mandi kemben sebagai salah satu rangkaian seleksi. “Rani mengikuti seleksi itu, tapi tidak mengikuti ritualnya,” ujar Ana.
Rani dan Ana melapor ke Kepolisian Resor Jombang. Namun, pada 21 Oktober 2019, Polres Jombang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dengan alasan kekurangan bukti. Tak patah semangat, Rani meyakinkan para korban untuk melaporkan Gus Bechi ke kepolisian. Dua korban pun melapor delapan hari setelah SP3 terbit. (Baca: Wawancara Ketua Komnas Perempuan soal Kekerasan terhadap perempuan yang Terus Meningkat)
Direktur Woman Crisis Center (WCC) Jombang Ana Abdillah di kantor WCC Jombang, Kamis, 20 Mei 2021./TEMPO/ ISHOMUDDIN
Saat pemeriksaan, Ana menyampaikan kepada penyelidik bahwa mantan santri berinisial IP juga pernah mengadu menjadi korban Bechi. Polisi lalu memanggil dan memeriksa IP. “Dari situ kami tahu ternyata kasus IP diselesaikan secara kekeluargaan dengan pemberian uang puluhan juta rupiah kepada keluarga oleh pihak pesantren,” ujar Ana. IP akhirnya ikut melaporkan Bechi. Ana mengadvokasi lima mantan santri yang diduga menjadi korban pencabulan oleh Subchi. Mereka sudah bersaksi dan dua kali menjalani visum.
Polres Jombang menetapkan Subchi Azal sebagai tersangka pemerkosaan pada 12 November 2019. Namun kasusnya jalan di tempat. WCC Jombang bersama seratusan perempuan lain yang tergabung dalam Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual sempat berunjuk rasa di Polres Jombang pada awal Januari 2020 dan mendesak polisi menahan Bechi. Mereka pun curiga Bechi tak ditangkap karena ada kedekatan petinggi kepolisian dengan ayah Bechi, Muchtar Muthi alias Kiai Tar, yang juga pemilik pabrik rokok Sehat Tentrem.
Kasus ini juga sempat memanaskan “Kota Santri”. Ratusan pelajar dan alumnus Pesantren Shiddiqiyyah menggelar demo tandingan di Polres Jombang pada 14 Januari 2020. Mereka meminta polisi menolak intervensi saat mengusut kasus Gus Bechi. Bulan itu juga, Kepolisian Daerah Jawa Timur mengambil alih kasus ini. Dua kali penyidik Polda Jawa Timur memanggil Subchi Azal, tapi dia selalu mangkir. Pada pertengahan Februari 2020, tim kepolisian berupaya menjemput paksa Bechi di Pesantren Shiddiqiyyah. Namun pendukung putra Kiai Tar itu menghadang polisi. Hingga pekan lalu, polisi tak juga menahan Bechi meski keluarganya berjanji menyerahkan dia.
Kuasa hukum Subchi Azal, Poerwanto, membantah jika kliennya disebut tak patuh hukum. Menurut dia, Subchi dan Kiai Tar sudah diperiksa penyidik di dalam pesantren. Dia mengatakan penyidik Polda Jawa Timur sudah lima kali menyerahkan berkas perkara Subchi ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. “Dikembalikan lima kali oleh kejaksaan karena tidak memenuhi syarat, tiga kali dinyatakan P-19 (pengembalian berkas untuk dilengkapi), dan dua kali sifatnya koordinasi,” katanya. Poerwanto mengklaim hal itu terjadi karena alat bukti yang diserahkan polisi kurang kuat.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Fathur Rohman menjelaskan perkara ini tak kunjung naik ke pengadilan karena penyidik belum bisa memenuhi petunjuk jaksa. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Timur Komisaris Besar Totok Suharyanto mengatakan timnya masih berupaya memenuhi catatan jaksa. Namun dia enggan menjelaskan detail kekurangan pemberkasan tersebut.
Poerwanto menduga kliennya dilaporkan ke polisi karena adanya konflik internal dalam keluarga Tar. Ia menduga salah seorang istri Tar yang dituduh menggelapkan 44 sertifikat tanah milik pesantren berada di belakang pelaporan itu. Namun Direktur WCC Jombang Ana Abdillah menegaskan laporan kasus pemerkosaan itu tak terkait dengan konflik di keluarga Bechi. “Ini untuk keadilan para korban kekerasan seksual.”
ISHOMUDDIN (JOMBANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo