Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Layang-layang Putus Anak Soeharto

Anak-anak Soeharto membuat Partai Berkarya sebagai satu-satunya mesin politik bagi keluarga Cendana. Dinilai tak serius mengelola partai.

22 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Umum Partai Berkarya Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto (tengah) membuka Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III Partai Berkarya di Solo, Jawa Tengah, Maret 2018. ANTARA/Mohammad Ayudha

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Anak-anak dan cucu Soeharto bergabung dengan Partai Berkarya yang dibidani Hutomo Mandala Putra.

  • Berkarya babak-belur dan hanya memiliki 140 anggota DPRD.

  • Upaya keluarga Cendana kembali ke panggung politik nasional selalu kandas.

MENGGELAR rapat sekitar sebulan sebelum Ramadan, Hutomo Mandala Putra berniat mengevaluasi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta terkait dengan kepengurusan Partai Beringin Karya (Berkarya). Tommy—panggilan Hutomo—berharap para kader partai tak lagi terpecah. “Pak Tommy masih berharap kader-kader Berkarya yang bergabung di kubu sebelah bisa kembali,” kata Bendahara Umum Partai Berkarya Neneng A. Tuty kepada Tempo pada Jumat, 21 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tommy menggugat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia terkait dengan pengesahan struktur organisasi partai periode 2020-2025. Tommy terdepak dari kursi ketua umum dan digantikan Muchdi Purwoprandjono, lalu didaulat menjadi ketua dewan pembina. Pada 16 Februari lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengabulkan gugatan Tommy dan membatalkan keputusan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly tentang pengesahan Berkarya di bawah kepemimpinan Muchdi. Artinya, Tommy—anak kelima Soeharto—kembali menguasai kursi Ketua Umum Berkarya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konflik internal Berkarya mulai mendidih seusai Pemilihan Umum 2019. Dalam pemungutan suara dua tahun lalu, partai itu hanya menempati peringkat kesebelas dengan meraih 2,9 juta suara atau 2 persen sehingga gagal lolos ambang batas parlemen di tingkat nasional. Walau begitu, mereka bisa menempatkan 140 kadernya menjadi anggota legislatif di daerah. (Baca: Jualan Cendana Sampai Nanti)

DPP Partai Berkarya di Jakarta, Sabtu, 22 Mei 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Badaruddin Andi Picunang, Sekretaris Jenderal Berkarya kubu Muchdi, mengatakan hasil Pemilu 2019 membuat sejumlah besar kader kecewa. Menurut dia, Tommy menjanjikan Berkarya bisa mengamankan sedikitnya 80 kursi di Senayan, tempat gedung Dewan Perwakilan Rakyat berada di Jakarta. Tapi partai justru babak-belur dalam pemilu, antara lain karena minimnya saksi yang dikerahkan ke tempat pemungutan suara.

Andi Picunang, bekas kader Partai Golkar, dan sejumlah pengurus mengaku beberapa kali bersurat kepada Tommy untuk meminta menggelar rapat evaluasi hasil pemilu. Permohonan itu tak diacuhkan Tommy sehingga tak pernah ada diskusi untuk mengulas penyebab kekalahan Berkarya. Dia juga menyebutkan kader yang lolos di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tak pernah diberi petunjuk dan penugasan khusus di fraksi. “Kami seperti layang-layang putus,” ujar Andi. (Baca: Yang Rindu Daripada Soeharto)

Mentok berkomunikasi dengan Tommy, Andi bertandang ke rumah Siti Hardijanti Rukmana—anak pertama Soeharto—di Menteng, Jakarta Pusat, sekitar Desember 2019. Siti Hardijanti alias Tutut Soeharto juga menjadi kader Berkarya. Kepada Tutut, Andi mengungkapkan kekecewaan kader terhadap kepengurusan Tommy dan meminta Tutut memimpin Berkarya. Tutut menolak usul itu, tapi berjanji menyampaikan unek-unek kader Berkarya kepada adiknya.

Rapat evaluasi yang dinanti-nanti tak kunjung digelar. Ketua Dewan Pertimbangan Berkarya kubu Tommy, Tedjo Edhy Purdijatno, bercerita, ia sempat menggelar rapat bersama sebelas anggota majelis tinggi Berkarya pada awal Juli 2020. Dalam pertemuan itu, empat anggota majelis tinggi mendesak untuk mengadakan musyawarah luar biasa dengan agenda mendongkel Tommy dari kursi ketua umum.

Tedjo berkeberatan terhadap aspirasi sebagian anggota majelis tinggi. Dia menyarankan evaluasi kepengurusan Berkarya di bawah komando Tommy cukup dengan forum setingkat rapat pimpinan nasional. Mayoritas peserta sepakat dengan usul itu sehingga diadakan rapat pimpinan di Jakarta pada 8-9 Juli 2020, meski tetap ada yang ngotot menggelar musyawarah nasional luar biasa.

Hanya berselisih dua hari setelah rapat pimpinan yang dihadiri Tommy atau pada 11 Juli 2020, sejumlah kader mengadakan musyawarah luar biasa di Hotel Grand Kemang, Jakarta. Didampingi Priyo Budi Santoso, Sekretaris Jenderal Berkarya, Tommy yang membawa sekelompok pria berseragam dan berbadan kekar menggeruduk dan membubarkan acara itu. “Kita harus persuasif, tak anarkistis, dan menjaga citra baik partai di mana pun, termasuk di hotel ini,” kata Tommy waktu itu.

•••

BERINGIN Karya adalah partai politik terakhir yang kelahirannya dibidani Tommy Soeharto. Badaruddin Andi Picunang, Sekretaris Jenderal Partai Berkarya kubu Muchdi Purwoprandjono, yang ikut mendirikan partai ini, bercerita bahwa Berkarya merupakan hasil merger dua partai, Partai Nasional Republik dan Partai Beringin Karya. Nasional Republik sudah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, tapi gagal menjadi peserta Pemilihan Umum 2014. Di partai ini, Tommy menjabat Ketua Dewan Pembina. (Baca: Tommy Soeharto: Orde Baru Jadi Acuan)

Di awal partai berdiri pada 2016, Neneng A. Tuty yang didapuk sebagai Ketua Umum. Tapi, setelah Berkarya dinyatakan lolos sebagai peserta Pemilihan Umum 2019, kursi ketua beralih kepada Tommy. Andi Picunang mengatakan pergantian kepemimpinan waktu itu memang bagian dari upaya partai mewujudkan cita-cita trilogi pembangunan ala Soeharto yang diusung Berkarya. “Anak-anak Pak Harto yang paling tahu pemikiran beliau dan itu strategi kami menarik pencinta Pak Harto yang jumlahnya masih banyak,” ujar Andi.

Tommy tak menanggapi permohonan wawancara yang dikirimkan melalui pengacaranya, Erwin Kallo, hingga Sabtu, 22 Mei lalu. Dalam wawancara tertulis dengan Tempo pada Februari 2018, Tommy mengatakan Berkarya menjadikan Orde Baru sebagai acuan, tapi menyadari tak mungkin mengembalikan sistem politik dan pemerintahan sebagaimana era bapaknya. Kelima anak lain Soeharto ikut mendukung dan bergabung dengan partai setelah Tommy menjabat ketua umum. Tapi hanya Tommy dan Siti Hediati Harijadi alias Titiek Soeharto yang bertarung menjadi calon anggota legislatif.

Tommy dan Titiek sempat aktif di Partai Golkar—partai politik yang menyokong kekuasaan bapaknya selama 32 tahun. Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Tommy sempat masuk bursa ketua umum partai beringin dalam Musyawarah Nasional Golkar di Riau pada 2009. Tommy, yang pernah mendekam di penjara karena menginisiasi pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita, tak memperoleh satu pun suara. Dalam musyawarah nasional di Bali pada 2016, Tommy santer dikabarkan maju menjadi ketua umum, tapi dia tak datang sampai tenggat pendaftaran.

Ketimbang Tommy dan Titiek, Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut—anak tertua Soeharto—lebih dulu terjun ke politik. Dia membidani lahirnya Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) pada awal 2000-an. Berkiprah di partai berlambang padi dan kapas itu, Tutut sempat digadang-gadang menjadi calon presiden pada Pemilu 2004. Dia rencananya akan berduet dengan dai kondang Zainuddin Hamidi, tapi skenario itu berantakan karena PKPB hanya meraup 2,11 persen suara—jauh dari syarat ambang batas pencalonan presiden sebesar 5 persen.

Bekas Sekretaris Jenderal PKPB, Hartanto, menyebutkan Tutut tak aktif dalam kegiatan partai lagi. Dia juga jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan partai. Tutut diketahui justru aktif bergiat mengurusi yayasan yang terkait dengan keluarga Cendana—begitu keluarga Soeharto biasa disebut. Salah satunya Yayasan Harapan Kita. Di yayasan yang mengelola Taman Mini Indonesia Indah itu, Tutut menjadi ketua umum. Pemerintah mengambil alih pengelolaan kawasan itu pada 31 Maret lalu.

Menjelang pemilihan presiden 2019, Tommy menyambangi acara “Ijtimak Ulama” yang digelar di Hotel Peninsula, Slipi, Jakarta. Salah satu hasil Ijtimak adalah mendukung pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno. Belakangan, keluarga Cendana diketahui mendukung pasangan nomor urut 02 itu. Mereka sempat menerima kedatangan Prabowo di Jalan Cendana, Jakarta,  setelah Ketua Umum Partai Gerindra itu mendeklarasikan diri. Titiek—mantan istri Prabowo—bahkan ikut unjuk rasa di kantor Badan Pengawas Pemilu pada 21 Mei 2019 yang memprotes dugaan kecurangan pemilihan presiden.

Sebagaimana anggota trah Soeharto yang lain, Ari Haryo Wibowo Hardjojudanto atau Ari Sigit—cucu Soeharto—ikut mendirikan partai politik. Ari pernah menjadi Ketua Umum Partai Karya Republik (Pakar). Ketika mendaftarkan partai berkelir merah jambu itu ke Komisi Pemilihan Umum pada 2012, Ari terang-terangan mengatakan misi partainya adalah mengusung sistem ekonomi kerakyatan seperti era Orde Baru. “Keadaan sekarang tidak lebih baik, kan?” tuturnya. Tapi Pakar akhirnya tak pernah lolos menjadi peserta pemilu.

Adik Ari Sigit, Retnosari Widowati Harjojudanto alias Eno Sigit, diketahui mengikuti jejak Tommy. Dia bergabung sebagai kader Berkarya. Dimintai konfirmasi mengenai kiprah keluarga Cendana, Eno tak merespons permintaan wawancara yang dikirimkan melalui nomor WhatsApp-nya. Tutut dan Tommy juga tak meladeni wawancara tertulis yang diajukan melalui pengacara dan ajudan mereka. “Ibu sedang dalam masa pemulihan sehabis sakit,” ujar seorang anggota staf Tutut melalui pesan pendek.

RAYMUNDUS RIKANG, BUDIARTI UTAMI PUTRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus