Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Prabowo akan mengubah status Bulog demi target swasembada pangan.
Bulog selama ini mengalami kesulitan karena menjalankan fungsi komersial dan pelayanan publik.
Pengelolaan Bulog rawan moral hazard dan kerap berujung korupsi.
PULUHAN pedagang memenuhi Ruang Oryza Sativa di lantai dasar kantor Perusahaan Umum Bulog, Jakarta Selatan, pada Selasa, 12 November 2024. Mereka adalah perwakilan jejaring pedagang produk bahan pangan pokok Bulog yang disebut Sahabat Rumah Pangan Kita (RPK).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, Bulog menggelar persamuhan Sahabat RPK dengan agen BRILink, kepanjangan layanan perbankan mikro PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Dalam acara tersebut, Bulog dan BRI mengupayakan sinergi berupa Sahabat RPK merangkap agen BRILink atau sebaliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RPK adalah outlet kecil milik masyarakat yang merupakan mitra jaringan pemasaran dan binaan Bulog. Produk yang dijual antara lain beras, gula, minyak, dan bahan kebutuhan pokok lain yang memiliki harga khusus untuk stabilisasi pasar. Direktur Bisnis Bulog Febby Novita mengatakan saat ini ada 21 ribu RPK, termasuk di daerah terpencil. “RPK bertujuan memastikan ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan pokok,” katanya pada Kamis, 21 November 2024.
Bulog juga memasang RPK sebagai pengendali stabilitas harga tanpa mengganggu bisnis pedagang kecil di perdesaan. Alih-alih mengganggu, Febby menjelaskan, Bulog justru ingin bekerja sama dengan pedagang atau orang yang baru memulai usaha. Mereka dapat memanfaatkan toko, warung, halaman rumah, atau garasi untuk mendirikan RPK. Warga yang berminat dapat mendaftar dan membeli produk awal minimal Rp 5 juta, termasuk ongkos kirim, media promosi, dan etalase.
Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin 5 Januari 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Namun keberlanjutan skema ini masih menjadi tanda tanya. Presiden Prabowo Subianto berniat menjadikan Bulog badan otonom di bawah presiden. Nantinya Bulog hanya akan menjalankan fungsi penugasan pemerintah, tidak lagi berbisnis seperti saat ini. Jika Bulog menjadi badan otonom, Febby melanjutkan, tugasnya hanya memastikan ketersediaan barang untuk disalurkan kepada jejaring RPK.
Sinyal perubahan kendali ini pertama kali tersiar dalam rapat dengar pendapat Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat, yang antara lain membidangi pertanian dan pangan, dengan manajemen Bulog pada Selasa, 5 November 2024. Direktur Utama Bulog Wahyu Suparyono mengatakan kelak lembaga yang ia pimpin itu tak lagi dikendalikan Kementerian Badan Usaha Milik Negara, tapi di bawah presiden. “Saya diminta Pak Presiden menyiapkan transformasi kelembagaan,” ujarnya.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Tempo, perubahan kendali Bulog dirancang tim yang beranggotakan 17 orang dan dipimpin Rachmat Pambudy. Rachmat adalah salah satu anggota dewan pakar bidang pangan yang mendukung Prabowo sejak pemilihan presiden 2019. Ia juga pernah menjabat Sekretaris Jenderal dan Wakil Ketua Dewan Pembina Himpunan Kerukunan Tani Indonesia. Saat ini Rachmat menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Dimintai konfirmasi, Rachmat tak kunjung menjawab.
Perombakan Bulog pun masuk agenda rapat koordinasi Kementerian Koordinator Pangan yang berlangsung pada Kamis, 21 November 2024. Ditemui seusai rapat tersebut, Wahyu Suparyono mengatakan salah satu persiapan yang dilakukan adalah pembahasan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perusahaan Umum Bulog. Karena masih dibutuhkan, pada 2025 Bulog masih mengikuti rencana kerja Kementerian BUMN. “Tugas sebagai operator BUMN pangan tetap jalan, tapi tim transformasi nanti dibentuk,” tuturnya.
Sebagai lembaga pemerintah nonkementerian, menurut Wahyu, Bulog tak akan lagi menjalankan fungsi komersial, tapi hanya menggarap penugasan stabilisasi harga pangan dengan dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. “Dengan APBN, kami membeli barang dari petani gula, petani jagung. Intinya, memperkuat fungsi kami sebagai stabilisator yang memberikan layanan kepada publik,” ucapnya. Fungsi ini persis seperti yang Bulog jalankan saat awal berdiri pada 1967 dengan status lembaga pemerintah nondepartemen (LPND).
Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan mengatakan transformasi kelembagaan Bulog urgen untuk mewujudkan perintah Prabowo mengenai pewujudan swasembada pangan pada 2027. “Fungsi Bulog tidak bisa komersial lagi. Kalau komersial, nanti ketika beli jagung rakyat hitung-hitungan untung atau rugi,” katanya.
Namun, sebelum rencana ini mengemuka, Bulog pernah akan ditempatkan di bawah Kementerian Pertanian. Wakil Menteri Pertanian Sudaryono pada Oktober 2024 menyebutkan usulan Bulog berada di bawah lembaganya bersama badan usaha milik negara sektor pangan lain. “Intinya, organisasi tetap ada di situ semua, tapi ketua kelasnya Menteri Pertanian,” ucapnya.
Tugas Bulog memang berat. Sejak berubah dari LPND menjadi BUMN pada 2003, Bulog mengemban fungsi ganda sebagai pengampu kewajiban pelayanan publik atau public service obligation sekaligus lembaga komersial. Ketika menjalankan dua peran itu, Bulog kerap merugi. Pada 2019, misalnya, Bulog merugi hingga Rp 1,7 triliun. Kondisi keuangan Bulog berangsur membaik dan pada 2023 perusahaan ini meraup untung Rp 820 miliar.
Dualisme peran Bulog kerap menuai perdebatan. Pakar pertanian dari Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Jawa Barat, Dwi Andreas Santosa, mengatakan status Bulog sebagai perusahaan umum yang berlaku saat ini memang menuntut keuntungan. Tapi, di sisi lain, dalam menjalankan penugasan stabilisasi dan intervensi harga, Bulog memiliki risiko rugi. “Kalau Bulog pikirkan untung-rugi, bagaimana bisa menangani kesejahteraan petani?” ujarnya.
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori mengatakan kelembagaan Bulog memang perlu diperbaiki. Namun, menurut dia, tidak ada urgensi pengubahan status Bulog dengan menempatkannya sebagai lembaga otonom di bawah presiden. Perubahan status menjadi lembaga otonom di bawah presiden juga akan membuat Bulog memiliki dua peran, yakni operator sekaligus regulator, yang bisa menyebabkan konflik kepentingan.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, ketika Bulog berada di bawah naungan presiden, lembaga ini bukannya tidak punya masalah. Saat itu Bulog bertugas memberikan layanan publik tanpa mencari keuntungan dan sepenuhnya dibiayai negara. Namun, kenyataannya, Bulog juga menjalankan bisnis. Karena tak ada kewajiban perusahaan menyetor kepada negara, keuntungan yang didapatkan masuk ke kas nonbujeter. Situasi ini membuka peluang korupsi. Pada era Presiden Abdurrahman Wahid pun terjadi kasus Buloggate, skandal dugaan penyelewengan dana yayasan Bulog.
Peneliti Pangan Center of Reform on Economics Indonesia Eliza Mardian mengatakan sistem monopoli berpotensi menciptakan inefisiensi pasar. Praktik pengadaan dan distribusi yang tertutup serta kurang transparan akan membuka lebar praktik korupsi dan menciptakan ekonomi biaya tinggi yang membebani keuangan negara. Sedangkan jika berstatus perusahaan umum seperti saat ini, Bulog cenderung memiliki dorongan tata kelola yang lebih profesional dengan akuntabilitas yang terukur. “Jika membandingkan kedua model tata kelola ini, ada trade-off antara efektivitas kontrol dan efisiensi pasar.”
Karena itu, menurut mantan Direktur Utama Bulog, Sutarto Alimoeso, pengawasan menjadi kunci rencana transformasi Bulog. Apalagi lembaga tersebut akan hidup dari APBN sehingga bakal diawasi DPR, Badan Pemeriksa Keuangan, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. “Memang ada potensi moral hazard. Kalau kita tidak berhati-hati, kekuasaan bisa menjadi hal negatif.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Caesar Akbar dan Han Revanda berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kendali Istana atas Nama Swasembada"