PASAR Aeng Nyonok, Pamekasan, Madura, Minggu pagi pekan lalu tiba-tiba bagaikan medan perang para pendekar silat. Celurit. berseliweran dan darah berhamburan. Carok masal bangkit lagi di Kota Pulau Garam itu. Hanya dalam tempo 10 menit, tiga orang korban tergeletak meregang nyawa. Padahal, mereka adalah penduduk dua desa bertetangga, Desa Banyupelle dan Desa Palengaan Laok, di Kecamatan Palengan, Kabupaten Pamekasan. Penyulut perang celurit itu sebetulnya sangat sepele. Ketika salah seorang warga Desa Palengaan Laok ada hajatan dengan menggelarkan demonstrasi pencak silat, penonton pun tumplek. Penonton berjejal berdesak-desakan. Ketika itulah Masrudin, 16 tahun, seorang pemuda dari Desa Banyupelle, tak sengaja, menginjak kaki Muhammad, 19 tahun. Pemuda Desa Palengaan Laok itu tak dapat menerima begitu saja. Langsung, "plak...," tamparan tangan kanan Muhammad mendarat di pipi kiri Masrudin. Masrudin tak tinggal diam. Dengan cepat ia memberondongkan pukulan ke tubuh Muhammad. Keributan meledak. Masrudin lalu mencabut pisau dari balik bajunya. Muhammad pun lari terbirit-birit. Berkat petugas keamanan, kedua pemuda itu bisa didamaikan. Tapi persoalan belum selesai. Dendam masih tersimpan di dada kedua keluarga tetangga desa itu. Di Pasar Aeng Nyonok, Dul Siham, 50 tahun, ayah Masrudin, ketemu Muhammad, "Oh, kamu to, yang memukul Masrudin hingga membuat saya malu," hardiknya. Muhammad tak menggubris omelan itu. Akibatnya, Dul Siham naik darah dan memukul muka anak muda itu. Tapi anak muda yang sehari-harinya petani itu sudah siap dengan kuda-kudanya. Dengan sigap pukulan orang tua itu ditangkisnya. Sambil meloncat, pemuda ini menyabetkan celurit yang sudah dicabutnya dari balik bajunya. "Bret...," lengan kiri Dul Siham robek dan darah mengucur. Belum sempat Dul Siham membalas dengan celuritnya, sebuah keris Sargian -- salah seorang warga Palengaan Laok yang lain menusuk perutnya. Orang tua itu roboh. Perang terbuka pun pecah. Ternyata, di pasar itu, warga desa pembela Masrudin dan warga desa pembela Muhammad sudah siap perang carok. Mat Sari, warga Banyupelle, ketika itu langsung menerjang Mat Imran. Untungnya, Mat Imran didampingi dua orang temannya, yaitu Sardin dan Musdafi. Pertarungan itu menjadi tak seimbang, sehingga Mat Sari roboh di tangan warga Palengaan Laok. Di sudut pasar yang lain, pertarungan juga sedang terjadi. Masrudin, dibantu Mat Hari melawan Hosen, 30 tahun. Masrudin, yang lebih muda dibanding lawannya, mampu membabat Hosen dengan 17 sabetan celurit hingga tewas. Namun, sebelum tewas, Hosen sempat mengayunkan celuritnya hingga melukai Mat Hari. Masih di pasar itu juga, Jumadin dari Banyupelle duel melawan Pantohir dari Palengaan Laok. Pertarungan ini seimbang. Masing-masing roboh dengan luka parah. Pundak dan lengan Jumadin robek. Sementara itu, lima jari lawannya terbabat hingga hampir putus, dan lengan kirinya patah. Hanya sekitar 10 menit perang tanding itu menelan korban tiga nyawa. Dua warga Banyupelle dan seorang warga Palengaan Laok tewas di tempat itu juga. Siapa yang memulai carok itu ? "Tanyakan saja pada musuh saya itu," kata Jumadin, yang terbaring di RSU Pamekasan, dengan ketus sambil menunjuk musuhnya -- juga terbaring di tempat tidur sebelahnya. Tapi musuhnya itu, Mat Hari, membantah. "Saya sebenarnya hanya hendak memisahkan saja. Tapi keburu kena sabetan celurit, ya saya balas saja," katanya. Kapolres Pamekasan, Letkol. Pol. Darno Murhadi, menganggap peristiwa itu bukan carok, "tapi penganiayaan berat." Kalau carok, menurut Kapolres, adalah duel satu lawan satu hingga salah satu "habis". Tapi diakuinya bahwa peristiwa itu merupakan kejadian yang terbesar di daerahnya di tahun ini. GT dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini