TAK lama setelah Bursa Efek Indonesia (BEI) diserbu para investor sepanjang dua pekan silam, pemerintah segera mencanangkan kebijaksanaan baru di bidang pasar modal. Saat yang dianggap tepat adalah Selasa pekan silam, manakala Paket Derulasi 20 Desember (Pakde) diumumkan. Mengapa tiba-tiba? Mungkin sekali karena ada kekhawatiran, lonjakan atau kejatuhan harga saham bisa membuat ambruk BEI. Adapun Pakde terdiri dari tiga bagian dengan bagian pertama khusus tentang bursa. Petunjuk pelaksanaannya belum disiapkan oleh instansi yang berwenang, namun tak urung paket yang ini menyingkap cakrawala baru bagi pasar modal. Dengan adanya Pakde, swasta boleh mendirikan dan mengelola pasar modal di luar Jakarta, persis seperti bursa di Boston dan Philadelphia, yang di luar New York (Wall Street). Jepang hanya punya dua bursa, di Tokyo dan Osaka. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan pihak Bapepam dan PPUE (Perhimpunan Pedagang Uang dan Efek), kota Surabaya, Medan, dan Ujungpandang dinilai sebagai lokasi strategis untuk mengembangkan pasar modal. Ketua PPUE Syahrizal yakin, jika bursa saham muncul di daerah, pasar modal Jakarta pun bakal menghadapi kompetisi. Apalagi Pakde mengizinkan saham bursa Jakarta bisa dijual di bursa daerah dan sebaliknya. "Bisa saja terjadi kurs di bursa Jakarta untuk saham ternyata lain dengan kurs di bursa Surabaya. Karena itu, dalam hal ini akan terjadi arbitrase (penilaian saham) yang ramai. Harga saham akan berfluktuasi, dan itu bagus," kata Ketua PPUE. Kendati dalam Pakde dicantumkan bahwa "Bapepam dengan persetujuan Menteri Keuangan dapat menyelenggarakan pasar modal", toh lembaga itu tak berniat mengelola bursa baru. "Kalau dikelola pemerintah, ternyata sulit berkembang. Buktinya bursa yang dikelola Bapepam sudah berjalan 10 tahun, perusahaan yang mencari modal di sini baru 33. Lalu apa kata Ketua Bapepam Marzuki Usman? "Biarlah swasta yang mengelolanya." Bursa pertama swasta tampaknya akan lahir di Surabaya. "Pengelolanya kemungkinan besar beberapa bank pemerintah, Bank Surya, dan anggota PPUE yang sudah mempunyai cabang di Surabaya," kata Sekretaris PPUE, Kitty Twysel. Perusahaan swasta yang akan mengelola bursa itu diharuskan menyetor modal sekitar Rp 500 juta. "Perusahaan itu sebaiknya didirikan oleh kalangan pedagang uang dan efek yang profesional, sehingga tak bersifat komersial. Sebab para pemegang saham bisa mencari keuntungan dari bermain di bursa," kata Marzuki berseloroh. Ia, yang kini lebih sibuk, merasa yakin bahwa perusahaan yang membagi sahamnya kepada masyarakat akan lebih beruntung, terutama jika mereka mendaftarkan seluruh saham perusahaan (company listed). Dengan ini, mereka bisa menjual dulu sebagian saham, katakanlah 20%. Jika masyarakat memperebutkan saham itu, kursnya pasti naik. Ketika itulah perusahaan bisa menjual lagi saham ke bursa, "tanpa perlu mengurus izin emisi baru," kata Marzuki. Seandainya perusahaan itu pun ternyata merugi -- hal ini biasa dalam bisnis perusahaan tersebut tak mudah bangkrut. Pemilik modal dari kalangan masyarakat pasti akan mencarikan investor dan pengelola yang lebih mampu. "Berbeda dengan perusahaan tertutup, yang meminjam dari bank. Jika rugi, kreditnya macet, sehingga perusahaan diambil oper oleh bank. Tapi bank biasanya sulit mengelola perusahaan itu secara sehat," kata Marzuki. Dewasa ini, 24 perusahaan yang menjual saham di BEI hanya mendaftarkan sebagian sahamnya (sbare listed). Di samping itu ada peluang baru juga diberikan kepada para pialang. Mereka boleh bekerja sama dengan investor asing, mendirikan perusahaan patungan dengan saham lokal minimal 20%. Jelas, perusahaan-perusahaan yang selama ini hanya bisa menjadi pialang murni alias broker (perantara masyarakat untuk membeli dan menjualkan saham di bursa dengan imbalan komisi sekitar 2%) sekarang bisa meningkatkan diri menjadi pedagang (trader) saham. Para trader di bursa internasional umumnya cepat kaya dalam tempo relatif singkat. Kuncinya mereka bisa membeli saham sewaktu harga murah, lalu kembali menjual saham-saham itu dengan harga lebih tinggi. Tapi di bursa Wall Street, belum lama ini terbukti ada trader dan wartawan yang bisa bermain curang lawan insight trading. Memperhitungkan kemungkinan seperti itu, maka Pakde, "Melarang siapa pun untuk melakukan perdagangan efek dengan menggunakan informasi yang masih bersifat rahasia, tentang keadaan atau kebijaksanaan perusahaan, yang belum diumumkan kepada masyarakat." Belum ditentukan, sanksi atas mereka yang terlibat insight trading itu. Menurut Menteri Keuangan Sumarlin, pemerintah akan meninjau curiculum vitae dari calon pendiri bursa efek swasta. "Lembaga pengawas bursa di Bapepam juga masih perlu diperkuat," kata Sumarlin, sedikit menyindir. PT Danareksa, yang selama ini dianggap sebagai pemegang monopoli saham, ternyata masih akan mendapat perlakuan istimewa. Memang dalam peraturan lama, persero Departemen Keuangan ini diberi hak (option) memborong sampai 50% dari setiap jenis saham dan obligasi, yang dijual pertama kali di bursa. Tapi bukan berarti lewat Pakde (Keppres 80 Tahun 1988 pasal 18) segalanya rapi. Dalam Pakde ada tercantum, "Kepada persero diberikan prioritas untuk membeli efek-efek yang ditawarkan perusahaan di pasar modal." Maksudnya, "Danareksa kini boleh memborong semua saham yang bagus dan boleh menolak saham yang dinilainya kurang baik. Ini mungkin karena Danareksa adalah persero yang ditugasi memecahkan saham-saham itu dalam nilai yang lebih terjangkau masyarakat kecil. Saham-saham untuk masyarakat kecil itu harus yang bagus," ujar Ketua Bapepam Maruki Usman. Dewasa ini, Danareksa ternyata sarat dengan saham-saham yang tak menguntungkan, hingga tak bisa dipecah dalam sertifikat. Dirut PT Danareksa R. Subagyo mengungkapkan di DPR dua pekan silam, dari 65 juta lembar saham yang tercatat di bursa, ada 45% di tangan Danareksa, dan hanya 21% atau sekitar 13,8 juta lembar saham yang jelas dipakai untuk menunjang penerbitan sertifikat. Sisanya, sekitar 15 juta lembar saham (23,5%), masih terjepit dalam portepel Danareksa, termasuk 3,6 juta lembar saham Goodyear. Maka, jika harga saham Goodyear satu kali sempat tergerek di atas Rp 7.000 per lembar Senin pekan lalu, dan Senin pekan ini sudah terbanting lagi jadi Rp 3.000 per lembar, itu mungkin saja karena ulah Danareksa. Perusahaan ini agaknya gencar melepaskan saham-saham yang sudah tiga tahun tak memberikan dividen itu. Saham yang juga dikempit Danareksa 12 Desember lalu adalah BAT (2,8 juta lembar), Unilever (1,9 juta), Panin Bank (1,8 juta), Bayer (1,3 juta), dan Sucaco (1,3 juta lembar). Saham terakhir ini diduga sudah pindah tangan, karena Jumat pekan silam, pialang dari Dharmala Group telah memborong 1 juta lembar saham Sucaco berharga hampir Rp 4 milyar. Mereka bertindak, konon, untuk investor Jepang. Max Wangkar dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini