KINI bukan lagi zaman Bonie dan Clyde, pasangan perampok legendaris yang menjarah banyak bank di AS dengan todongan senjata. Hampir semua perampokan bank kini tak lagi menggunakan otot dan senjata, tapi otak dan kelicikan. "Penyebab terbesar kebangkrutan bank di AS adalah oleh fraud," kata Abdulgani, direktur utama Bank Duta, pada 'seminar tentang kejahatan' di gedung Menara BDN, Jakarta, pertengahan Desember lalu. Fraud, itulah pembobolan bank tanpa kekerasan. Juga seperti perampok bank dengan senjata yang sering tak bekerja sendirian, pun para pembobol bank. Bedanya, dalam komplotan pembobol bank, biasanya selalu bisa ditemukan adanya unsur orang dalam. Setidaknya, antara pembobol dan orang dalam ada kerja sama. Sebab, untuk membobol bank diperlukan informasi kode-kode tertentu dari dalam. Dan kadang-kadang si orang dalam bukan sembarang karyawan. Tahun lalu, misalnya, kejaksaan di negara bagian Florida, AS, mengajukan 30 kasus penjarahan bank ke pengadilan, salah satunya melibatkan seorang wakil presiden City Bank. Di tahun lalu pula pengadilan Italia mengeluarkan surat perintah penangkapan Archbishop Paul Marcinkus, Kepala Bank Vatikan, yang dituduh terlibat skandal pembobolan bank. Skandal ini menyebabkan Banco Ambrosiano (BA), grup bank swasta terbesar Italia, ambruk pada 1982. Memang Bank Vatikan punya hubungan dengan BA sebagai pemegang saham. Ceritanya, sepuluh perusahaan Panama mengajukan permintaan pinjaman ke BA. Pimpinan BA mengabulkan. Jumlah seluruh pinjaman kesepuluh perusahaan itu 1,3 milyar dolar. Kemudian diketahui bahwa kesepuluh perusahaan itu palsu belaka. Presiden Direktur BA, Roberto Calvi, kemudian ditemukan mati tergantung di sebuah jembatan di London. Di sakunya berjejal mata uang berbagai negara senilai 13 ribu dolar. Orang menduga bahwa inilah pembunuhan oleh sebuah sindikat profesional. Disusul kemudian dengan kematian Michele Sindona, bankir berkebangsaan Italia. Ia ditemukan tewas di penjaranya, karena minum secangkir kopi yang dicampur dengan racun. Dialah yang telah mempertemukan mendiang Calvi dengan Marcinkus. Belum jelas benar bagaimana nasib Archbishop Marcinkus ini sekarang. Sebab, para penegak hukum Italia tak mempunyai wewenang memasuki daerah Vatikan. Yang pasti, pihak Vatikan membantah keterlibatan banknya dalam skandal ini. Namun pada 1984 Vatikan mengeluarkan 244 juta dolar dari koceknya untuk para nasabah BA "sebagai pertanda itikad baik". Kini pembobol bank makin piawai, dan jumlah yang mereka gasak makin besar pada 1986 sepertiga dari bank yang bangkrut, 144 bank, karena dibobol. Pada 1981, misalnya, pihak asuransi perbankan pemerintah AS harus membayar santunan kepada nasabah bank-bank yang bangkrut akibat fraud, hanya sebesar 196 juta dolar. Lima tahun kemudian, santunan ini meningkat menjadi 1,1 milyar. Itu mencemaskan pemerintah AS. Maka pada awal tahun lalu Jaksa Agung (ketika itu masih Edwin Meese) mengirimkan memo kepada 93 kantor kejaksaan tingginya untuk meningkatkan kesiagaan terhadap kejahatan bank. Kerja sama antara pihak kejaksaan, polisi, dan perbankan pun ditingkatkan. Salah satu program kerja sama itu bernama "jalur cepat". Yakni, ditujukan pada kasus-kasus yang mudah dibuktikan. Pihak pengadilan menyidangkan berbagai kasus pembobolan itu dalam waktu bersamaan. Tujuan tindakan ini agar persidangan mendapatkan publikasi luas, yang diharapkan akan memberi dampak "preventif". Maksudnya agar para karyawan bank yang punya kecenderungan menjadi pembobol membatalkan niatnya. Jelas, ini suatu perubahan sikap dari pihak bank. Sebelumnya bank cenderung menutup-nutupi kasus pembobolan yang terjadi di banknya. "Dulu bank menganggap pembobolan sebagai aib yang harus disembunyikan," kata Melvin M. Kann, kepala auditor di Southeast Bank, AS. Agaknya kini para menganggap sikap tertutup itu merugikan mereka. Sebab, keengganan bank membawa kasus pembobolan ke sidang pengadilan membuat penyakit membobol sering kambuh dan menular. Seorang pembobol bank di Miami bisa menjadi contoh. Wanita yang bekerja di bagian pelayanan langganan itu tertangkap basah oleh kamera video ketika "membobol" 40 ribu dolar AS dari mesin ATM (Automatic Teller Machine). Ia dijebak pada awal 1985, setelah seorang nasabah mengeluh tentang dana rekeningnya yang tak sesuai dengan jumlah uang yang ia tarik. Yang menarik, ternyata wanita pembobol itu melakukan bobol bank untuk menutup bobolan di bank lain. Gagasan itu muncul di kepalanya karena bank yang ia bobol tak mengajukan perkaranya ke pengadilan, melainkan cukup minta janjinya untuk mengembalikan uang itu. Masuknya komputer ke dunia perbankan, selain mengefisienkan pelayanan, mesin pintar itu juga membuat pembobolan bank "lebih efisien". Di Amerika misalnya, tiga tahun lalu, dinas rahasia departemen keuangan AS mencatat lebih dari 5.000 kejahatan bank dengan komputer. Ini mengakibatkan bank butuh biaya lebih besar untuk membayar pengamanan. Kini bunga pinjaman bank di AS sekitar 9% setahun, dan hampir sepertujuhnya, atau 1,25%, untuk membayar biaya pengamanan, termasuk untuk membayar premi asuransi bank. Seperti diketahui, memang asuransi sangat vital bagi bank yang beroperasi di AS. Dengan terdaftarnya sebuah bank sebagai pemegang polis asuransi yang dikelola oleh pemerintah federal AS, tentu para nasabah merasa aman untuk menyimpan uangnya di bank ini. Soalnya, seandainya bank itu bangkrut karena pembobolan ataupun salah urus, pemerintah menjamin bahwa uang para nasabah tak akan hilang, asalkan depositonya bernilai di bawah 100 ribu dolar AS. Kini cukup besar beban tanggungan santunan pemerintah AS akibat bank bangkrut. Diperkirakan bahwa tahun ini pemerintah AS harus membayar sampai 50 milyar dolar -- hampir tiga kali lipat APBN kita. Itu karena banyak bank yang bangkrut. Dari libih dari 3.000 bank simpan pinjam yang terdaftar pada akhir 1987, seperenamnya menuju kebangkrutan, sepertiganya menderita tekor dengan total kerugian mencapai 13,4 milyar dolar. Padahal keuntungan total bank yang sehat hanyalah 6,6 milyar dolar. Di Indonesia operasi "jalur cepat" mungkin belum diperlukan. Tapi adanya asuransi yang menjamin keselamatan uang nasabah sudah perlu dipikirkan untuk mengawal deregulasi. Siapa tahu, para pembobol bank di Indonesia makin piawai. Bambang Harymurti (Jakarta), Seiichi Okawa (Tokyo), P. Nasution (Washington DC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini