Wanita lebih bisa mengakulturasi untuk mengasuh serta unggul dalam bidang informasi. Dan pria itu "bukan makhluk lain". SEORANG ibu di antara 200 hadirin yang memadati Balai Erasmus, Jakarta, mengajukan "petisi" pada Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara. "Kalau ada dua pelamar, lelaki dan perempuan, yang inteligensia dan keterampilannya sama, saya usul yang diterima wanita saja," katanya. "Wah, bila wanita minta diprioritaskan artinya ia mengaku kalah," jawab Cosmas setengah berseloroh. Benarkah perempuan kalah? Pertanyaan ini tersirat di seminar yang diselenggarakan majalah Femina untuk memperingati Hari Kartini tahun ini, Sabtu dua pekan lalu, yang dibuka Menteri Cosmas Batubara itu. Mengambil topik "Pria Sebagai Rekan Kerja, Hambatan atau Tantangan?" berbicaralah Dewi Sawitri Matindas dan Tammy Irsyad, Dr. Sudarti Surbakti, Kepala Bagian Analisa Statistik Sosial Biro Pusat Statistik (BPS), dan Heru Prasetyo dari Kantor Konsultan Andersen Consulting-SGV Utomo. Lelaki dan perempuan sebagai mitra kerja laris dikaji ulang akhir-akhir ini. Walau hari itu mereka tidak bermaksud menarik tali tambang, Dewi Sawitri Matindas dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia menyebutkan, "Pria bukan makhluk lain." Selama ini masih banyak yang mempercayai mitos "lima lebih" pria. Yaitu lebih cerdas, asertif, perasaannya lebih mantap, memberi nilai lebih besar pada prestasi lebih menghargai peningkatan dan makna kerja. Sedangkan yang berhasil dalam pekerjaan memiliki ciri maskulin. Padahal, melalui sejumlah penelitian, stereotipe tadi tak terbukti. "Secara psikologis, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita mengenai hal-hal tersebut," ujar Dewi. Namun, karena dalam masa perkembangannya wanita dikondisikan untuk memainkan peran yang berbeda dengan pria, ia punya kemungkinan besar terpengaruh oleh mitos dan gender role yang ada. Akibatnya parah: menganggap pria lebih unggul, dan wanita selalu cenderung mengalah. Kemudian wanita mengharap bantuan dan perlindungan dari rekan kerja pria. Dan ini membuat ia tak berani melangkah lebih jauh karena kurang memiliki keyakinan diri. "Padahal, kemajuan dan prestasi kerja sangat bergantung pada tindakan dan tingkah laku dalam bekerja," kata Dewi lagi. Tammy juga sependapat. Konsultan pada Biro Konsultasi Fenomena ini yakin wanita jadi mitra kerja yang "positif'' (baik) atau "negatif" (buruk) sangat bergantung pada anggapan awal wanita itu sendiri. Jika wanita tak menganggap dirinya interior, tidak mustahil dapat meniti karier yang sejajar dengan pria. Tammy mengambil contoh geolog wanita yang menempuh medan berat, menyusur hutan belantara, dan pelaut wanita di usaha pelayaran internasional. Memang, tidak sepenuhnya salah kaum Hawa seandainya tak merasa dirinya "lebih lemah" dari kaum Adam. Dr. Sudarti mengambil contoh temuan Karl Marx dan Goodman. Keduanya, yang mengutip para ahli kedokteran kuno, menganggap otak wanita tidak cukup besar untuk ilmu pengetahuan, tetapi hanya layak untuk bercinta. "Pandangan ini turun-temurun diajarkan, sampai ada perubahan dalam tata cara kehidupan manusia," ujar Sudarti. Lalu ia beralih ke kondisi Indonesia saat ini. Ternyata, jumlah pria dan wanita seimbang: 89,5 juta dan 89,9 juta. "Namun, yang timpang adalah kesempatan kerja," katanya. Menurut data 1988, dari seluruh penduduk usia kerja ada sekitar 46 juta pekerja pria dan 29 juta pekerja wanita. Para ahli studi wanita, kata Sudarti, menyebut itu sebagai "korban sistem sosial budaya". Antara lain pendidikannya yang rendah. "Dari 100 pria lulusan perguruan tinggi hanya 10 wanita," katanya, sambil mengutip data dari BPS. Berbagai keterbatasan ini menyebabkan wanita umumnya mendapat porsi "pekerjaan yang kurang bergengsi". Kalau diambil contoh dalam dunia bisnis, hanya ada satu pengusaha wanita berbanding empat pengusaha pria. Dan wanita yang berhasil umumnya setelah mengatasi tantangan kesulitan dalam berumah tangga, perusahaan, dan kehidupan bermasyarakat. Ketika seminar ini menghangat, muncul Heru Prasetyo memberikan "angin segar". Menurut dia, tahun 2000 adalah tahun wanita. Ia mengutip Patricia Aburdene dan John Naisbitt dalam buku Megatrends 2000. Disebut bahwa wanita akan makin berperan memimpin usaha serta organisasi. Dan untuk menjadi pemimpin usaha saat ini, dibesarkan dalam lingkungan kejantanan tentu tak lagi menguntungkan. Karena itu, orientasi pada kekuasaan yang besar dan terpusat akan bergeser menjadi tanggung jawab yang menyebar. Ini berarti meningkatnya tuntutan atas kepemimpinan individu dari banyak anggota organisasi. Di tingkat menengah, kata Heru, manajemennya yang dahulu paling efektif menggunakan power bakal bergeser ke penggunaan logika, analisa, serta rasio. "Dan ciri yang jelas akan menjauh dari gaya macho," katanya. Dengan bergaya non-macho lalu terjadi persaingan antara pria dan wanita? Jawabnya "Ya" dan "Tidak". Ya, karena saingan pasti muncul dan sengit. Tapi persaingan tak ditentukan lagi oleh jenis kelamin dan fisik, sebaliknya pada profesionalisme, keterampilan pribadi. Bahkan seks juga tak lagi jadi "warna". Di lingkungan kantor Heru sendiri, contohnya. Hampir separo karyawannya yang menduduki jabatan penyelia dan manajer adalah wanita. Apalagi sentuhan tangan perempuan masih dibutuhkan untuk jabatan yang memerlukan ketelitian dan loyalitas tinggi. Ini persis jawaban John Naisbitt pada wartawan TEMPO, Leila S. Chudori, akhir tahun silam, seusai dia berceramah di Jakarta. Menurut Naisbitt, wanita memiliki kelebihan terutama dalam bidang informasi, dibandingkan lelaki. "Wanita lebih bisa mengakulturasi untuk mengasuh sehingga ini ada hubungannya dengan kemajuan bidang informasi," katanya. Sri Indrayati dan Bunga Surawijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini