KONSUMEN dirugikan, lantas mengumpat produsennya. Itu terjadi di mana-mana dan biasa. Tapi kalau kemudian kerugian itu dipersoalkan lewat jalur hukum, agaknya tergolong langka di Indonesia. Dan yang langka itulah Rabu dua pekan lalu dilakukan warga kompleks Perumnas Manukan Wasono, Surabaya. Mereka, yang terdiri 75 kepala keluarga, mengadukan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surabaya ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Advokasi Konsumen (YLAK) Surabaya. ''Kami dirugikan karena sudah berbulan-bulan air tak mengalir di kompleks kami,'' tutur R. Amiseno, seorang wakil warga. Menurut Amiseno, pihaknya sudah kelewat sabar menunggu janji PDAM. Bayangkan, sejak mereka menempati rumah itu pada 1980, baru 10 tahun kemudian ledeng di kompleks Manukan mengucur. Itu pun crat-crut, tak lancar. Dan sejak awal 1993, ledeng kembali mati. Amiseno, pensiunan pegawai tata usaha STM I Surabaya, sejak Mei sampai Agustus lalu sudah empat kali mengirim surat protes ke PDAM, tapi tak ada jawaban. Yang membuat jengkel, setiap bulan warga masih dikenai biaya minimum sebagai pelanggan PDAM sebesar Rp 3.350. Jika lalai membayar, diancam dicabut sambungan air minumnya. Yang diherankan Amiseno lagi, ''Kenapa kompleks perumahan mewah Darmo Permai, yang letaknya berdekatan, airnya selalu lancar?'' Boedi Wijardjo dari LBH Surabaya, yang menerima pengaduan itu, memuji sikap warga yang membawa persoalan ini lewat jalur hukum. Dari hasil pemantauan Boedi, umumnya bentuk perjanjian (antara konsumen dan produsen) selalu menguntungkan produsennya. Demikian pula perjanjian yang dibuat PDAM Surabaya. Di situ tertera klausul yang menyebut: warga tidak dapat menggugat PDAM kendati distribusi airnya terganggu. ''Perjanjian ini kan tidak benar, posisi warga menjadi lemah,'' kata Boedi. Jika PDAM tetap tak mau memenuhi kewajibannya, LBH akan menggulirkan perkara ini ke pengadilan. Direktur Teknik PDAM Surabaya, Sudjito Katim, mengakui kemampuan PDAM untuk mendistribusikan air secara merata pada pelanggannya belum memuaskan. Khusus untuk wilayah Manukan, memang sulit mendapatkan air karena pompa air di dekat wilayah itu tak mampu mencapai ke sana. ''Lemahnya daya pompa PDAM ke sana, karena lokasi Perumnas Manukan berada di dataran tinggi,'' ujar Sudjito. Kendati demikian, ia berjanji akan segera mencari jalan keluar, agar persoalannya tak berlarut- larut sampai ke meja hijau. Tentang klausul yang disebut LBH sebagai merugikan konsumen, dijawab Sudjito, bahwa pihaknya sama sekali tak bermaksud seperti itu. ''Tapi perjanjian itu dibuat memang untuk mengantisipasi kemungkinan gugatan warga,'' katanya terus terang. ''Saya ndak tahu bagaimana awalnya perjanjian itu dibuat. Pokoknya, sejak saya dinas di PDAM Surabaya 1988, perjanjian itu sudah ada.'' Bentuk perjanjian sepihak seperti itu tampaknya sudah lazim digunakan sebagai tameng para produsen, untuk jaga-jaga kalau ada gugatan. Sayang, umumnya perkara semacam itu diakhiri dengan perdamaian. Akibatnya, hingga kini sulit ditemukan yurisprudensinya sebagai pegangan konsumen. Misalnya, pada1989, Teguh Supriyanto menggugat Artha Foto Yogyakarta. Ia menuntut Rp 15,3 juta karena studio foto tersebut menghilangkan empat rol film berisi hasil rekaman peristiwa pernikahannya. Di pengadilan, pihak Artha Foto mengemukakan dalih bahwa pihaknya tak bisa dituntut karena dalam nota pesanan foto atau faktur tercantum klausul: ''Bila hilang atau rusak karena kesalahan teknis dari kami, maka akan diganti dengan film sejenis.'' Keabsahan perjanjian itu tak sampai diuji secara yuridis karena perkara itu ditutup dengan perdamaian. Kemudian, kasus yang hampir serupa terjadi pula di Banjarmasin, Agustus lalu. Seorang petugas parkir digugat oleh pemilik sepeda motor karena kendaraan Yamaha yang dititipkannya hilang. Di pengadilan, tergugat berlindung pada klausul yang tercantum dalam kertas parkir: ''segala kehilangan tanggung jawab pemilik''. Tergugat, dalihnya, hanya mengelola (menyewakan) tempat parkir kendaraan, bukan tempat penitipan kendaraan. Jadi, segala risiko kehilangan menjadi tanggung jawab pemilik kendaraan. Sayangnya, belum lagi berkembang perdebatan tanggung jawab parkir, Selasa dua pekan lalu, Pengadilan Banjarmasin menilai gugatan pemilik kendaraan (Ansari) tidak dapat diterima. Alasannya, penggugat tak menyertakan pemilik lokasi parkir sebagai pihak yang turut digugat. Apakah perjanjian sepihak semacam itu sah? Menurut ahli hukum perdata Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Prof. Dr. Mr. Soetojo Prawirohamidjojo, bentuk perjanjian semacam itu memiliki cacat hukum. ''Konsumen jelas berada pada pihak yang siap dirugikan dan tidak boleh menuntut haknya, sementara penjual berada pada pihak yang diuntungkan. Ini berat sebelah,'' kata Soetojo. Seharusnya, dalam pembuatan perjanjian perdata, kedudukan antara pembeli dan penjual sama tingginya. Perjanjian juga harus mempunyai tanggung jawab dari segi keadilan dan etika. ''Yang tak kalah pentingnya, apakah perjanjian itu memenuhi asas kepatutan. Ini yang mesti dijawab dulu, bukannya bersikukuh pada secarik kertas belaka yang hanya ditulis sepihak,'' kata Soetojo dengan tegas. Aries Margono, Happy Sulistyadi (Bandung), dan Widjajanto (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini