Minyak sawit dibebaskan dari tata niaga, begitu pula kendaraan niaga plus sebagian lembaran baja. Buah-buahan silakan impor. Tapi monopoli Bulog dan pesero niaga belum tersentuh. MENTERI Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri Radius Prawiro, dalam satu konperensi pers Senin siang ini, seolah baru saja menjatuhkan bom kejutan di tengah wartawan yang berkumpul di aula Departemen Keuangan, Jalan Lapangan Banteng Timur, Jakarta Pusat. Siapa berani menduga, Pemerintah berani membuka keran impor untuk buah-buahan dan daging unggas yang selama ini dibatasi demi kepentingan pendapatan petani. Anehnya, berita seperti itu disampaikan oleh Menko Ekuin dengan serius, dalam nada datar. Tidak ada senda gurau seperti yang biasanya. Hari itu -- didampingi Menteri Sekretaris Negara, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri Muda Keuangan, Menteri Muda Perdagangan, Ketua BKPM, dan Dirjen PPG -- - Radius menyampaikan sejumlah paket deregulasi di bidang investasi, perindustrian, pertanian, perdagangan, dan keuangan. Radius, sambil menatap bulatan langit-langit ruang Graha Sawala Departemen Keuangan, berkata," Presiden pernah menyinggung bahwa proteksi itu tak bisa terus-menerus. Nanti kemanjaan tak akan ada akhirnya." Proteksi yang paling menonjol sampai sekarang ini terutama masih berkisar pada perusahaan-perusahaan di Departemen Perindustrian dan Departemen Pertanian. Mereka semua berlindung di bawah tata niaga Departemen Perdagangan atau bea masuk dari Departemen Keuangan. Ada pula yang berlindung di bawah Bulog. Proteksi yang diberikan selama ini ada yang berbentuk NTB (non-tariff barrier). NTB ada yang berbentuk larangan impor (misalnya mobil sedan) dan juga pembatasan impor. Misalnya impor hanya bisa lewat Bulog, lewat importir yang ditunjuk (IT), lewat agen tunggal (AT), atau importir produsen (IP). Semua itu disebut dengan mentereng sebagai "tata niaga". Sebenarnya, itu adalah benteng proteksi yang sangat sering dikritik oleh Bank Dunia dan negara-negara industri maju. "Jika mau melihat sistem perdagangan kita sehat, barometernya adalah jika semakin banyak komoditi bebas diperdagangkan tanpa campur tangan pemerintah. Dalam hal impor, yakni jika lewat importir umum," kata Radius. Namun, importir umum pun tentu tidak bisa bergerak, jika bea masuk tinggi. "Tarif bea masuk yang sehat adalah berkisar 5% bagi produk industri hilir sampai 15% untuk produk industri hulu," Radius menegaskan. Motor keluarnya paket deregulasi ini tampaknya Dr. Soedradjad Djiwandono. "Indonesia adalah negara yang terbuka dan adil. Kita serius ke sana," kata Soedradjad. Menteri Muda Perdagangan ini dalam dua tahun terakhir sering terlibat dalam konperensi perdagangan internasional (GATT) di Uruguay Round. Alhasil, pada 3 Juni 1991 ini keluarlah paket deregulasi yang diumumkan Menko Ekuin itu. Paket deregulasi ini meliputi 272 nomor HS (harmonised system). "Setiap HS rata-rata meliputi tiga jenis pos tarif, sehingga seluruhnya ada 816 jenis pos tarif," kata Soedradjad. Yang paling banyak terkena adalah hak monopoli pada enam persero niaga (Pantja Niaga, Kerta Niaga, Dharma Niaga, Mega Eltra, Sarinah) dan PT Krakatau Steel. Soedradjad mengungkapkan bahwa 144 jenis tarif HS yang semula ditangani oleh IT kini diserahkan kepada perusahaan biasa yang memiliki izin importir umum (IU). Dalam kategori ini termasuk makanan (seperti daging sapi, bebek, kalkun, kelinci hutan), buah-buahan (seperti buah ara, jeruk, ceri, anggur, aprikot). Nah, raja-raja bisnis swalayan (seperti Golden Truly, Hero, Sogo) akan lebih bebas mengimpor. Kendati beleid ini barangkali akan meningkatkan konsumsi serta pengeluaran devisa, Pemerintah rupanya melihat segi lain yang positif. Menurut Menko Ekuin, pembukaan impor ini untuk menunjang kunjungan wisatawan mancanegara (artinya ada sumber devisa), serta peningkatan gizi masyarakat. Selain itu, ada untungnya bagi negara, sebab importir umum diharuskan membayar bea masuk 20%. Bagaimana nasib petani dan peternak? "Konsumen makanan dan daging impor tentu terbatas. Pasar produksi dalam negeri ada segmennya," kata Menteri Pertanian Wardoyo. Namun, tentu yang diharapkan dari beleid 3 Juni ini, petani buah-buahan dan peternak sapi dan unggas akan meningkatkan daya saing produksi mereka. Kali ini monopoli PT Krakatau Steel juga kena pangkas besar-besaran (lihat Krakatau dan Pemangkasan). Menteri Perindustrian Hartarto tampaknya semakin berani memangkas proteksi terhadap sejumlah industri. Kepada Menteri Perdagangan, Menteri Hartarto memberi isyarat agar membuka peluang impor untuk semua kendaraan niaga dan kendaraan bermotor roda dua. "Karena mereka telah memberikan hasil yang baik," kata Hartarto, tanpa menjelaskan apa arti hasil yang baik itu. Pada bulan Mei tahun lalu, Menteri Perindustrian telah memberi peluang impor truk berbobot 5 ton ke atas, sedangkan kali ini semua tipe kendaraan niaga mulai kategori I (bobot di bawah 2 ton) sampai dengan kategori V (bobot berat seperti bis Mercedes) boleh diimpor. Ini termasuk kendaraan serba guna model jip (kategori IV). Tapi yang boleh mengimpor hanyalah para agen tunggal dan perusahaan yang mendapatkan status IT (6 persero niaga dan KS). Selain itu, Hartarto juga telah memberi isyarat untuk pembebasan tata niaga kelapa dan kelapa sawit. Dulu, tata niaga kedua komoditi ini diatur untuk membela industri-industri pengilangan minyak goreng dan minyak sawit, yang sebenarnya berada di lingkungan Departemen Pertanian, tapi kini bebas. Kepada Ketua BKPM Sanyoto, Hartarto ternyata juga telah membisikkan untuk memperlunak izin investasi baru di bidang otomotif. Dulu, sektor ini tertutup, sedangkan sekarang terbuka untuk permohonan investasi baru. Namun, syaratnya mereka harus mampu melakukan manufakturing sekurang-kurangnya sama dengan yang telah ada, atau melakukan ekspor -- - minimal 65% dari produknya. Tapi kenyataan sebenarnya menunjukkan bahwa deregulasi di sektor riil ini belum tuntas. Menteri Radius Prawiro mengakui, dari 9.298 jenis tarif pos, baru 92% yang sudah berstatus di bawah IU Tapi masih ada 696 jenis pos tarif yang masih dilindungi pemerintah dengan sistem non-tariff barrier. Monopoli Bulog atas 41 jenis industri (gandum dan tepung terigu, cokelat, kedelai, dan gula) sama sekali belum diutak-utik. Ratusan komoditi, umumnya bahan-bahan industri batik, dikuasai IT. Belum lagi industri yang berlindung benteng bea masuk 30%. Proteksi ala NTB ini, selain tidak selaras dengan langkah ekonomi Indonesia yang mulai ikut mengglobal, ternyata juga telah menimbulkan inefisiensi dalam ekonomi Indonesia, yang sejauh ini berusaha dilenyapkan dengan deregulasi. Pengalaman membuktikan bahwa dari rangkaian deregulasi yang telah dilancarkan Pemerintah sejak 1983, bagaimanapun membawa dampak pada peningkatan daya saing ekspor komoditi nonmigas. Pembebasan impor juga telah menciptakan barang-barang relatif lebih murah, sehingga memudahkan bagi konsumen. Hal ini telah memungkinkan peningkatan produksi, sekaligus menciptakan kesempatan kerja. Dampak positifnya, misalnya, terlihat pada pembebasan impor elektronik. Bukti yang paling dramatis adalah pembukaan keran impor truk. Begitu Pemerintah mengumumkan kebijaksanaan ini di bulan Mei 1990, harga truk yang tadinya naik gila-gilaan langsung anjlok. Begitu pula deregulasi November 1988, yang membebaskan impor sejumlah jenis produksi elektronik. Dampaknya terlihat antara lain pada komputer. Pembebasan monopoli serat kapas serta serat sintetis pada industri tekstil, juga monopoli plastik, ternyata telah berdampak pada berkembangnya pabrik-pabrik baru serat dan industri tekstil. Yang pasti, dampaknya positif. Namun, laporan Bank Dunia yang terakhir cukup menimbulkan waswas. Masalahnya, di tengah ekspor nonmigas yang menggebu-gebu itu, diam-diam trend kenaikan sudah menukik ke arah stagnasi. Ekspor nonmigas pada tahun anggaran 1988-89 tumbuh 28,4%, pada tahun anggaran 1989-90 cuma naik 17,1%, bahkan di tahun 1990-91 ternyata hanya naik 8%. "Kita menyadari bahwa masih ada berbagai penyakit yang melekat dalam sistemsistem yang berlaku sekarang ini," kata Radius. Obatnya adalah deregulasi. Dari hasil analisa pemerintah, paket-paket deregulasi lalu ternyata disadari bersifat tanggung. Sehingga, rongga-rongga inefisiensi masih ada di situ. IT (importir terdaftar), misalnya. Begitu pula para agen tunggal. Buktinya bisa dilihat pada impor truk yang dibuka sejak Mei 1990 dengan IT dan agen tunggal, tapi dalam setahun realisasinya jauh di bawah kuota. Importir produsen (IP) juga belum akan meningkatkan efisiensi secara maksimal. Pembebasan tata niaga kopra dan kelapa sawit bisa dibilang keputusan jitu, tapi juga sangat terlambat. Kini beberapa perusahaan minyak goreng sudah berkembang menjadi konglomerat, berkat disubsidi oleh petani dan konsumen. Pada 1972, ketika terjadi kelangkaan suplai minyak goreng, pemerintah menghentikan ekspor kopra. Akibatnya, harga kopra amblas menjadi hanya Rp 65 per kg. Sementara itu, industri minyak goreng justru panen. Sebaliknya, petani kelapa babak belur. Nasib petani kopra kurang lebih sama dengan para pengumpul rotan dan perajin rotan dua tahun terakhir ini. Mereka lagi-lagi dirugikan. Bahkan PTP-PTP yang bernaung di bawah Departemen Pertanian pada 1983 juga kena sikut. Sebab, minyak sawit mereka juga dilarang ekspor. Kini, yang terlihat sukses minyak sawit (goreng) Bimoli, bahkan pemiliknya Sinar Mas Group dan Salim Group berlomba mengembangkan perkebunan kelapa sawit dan industri pengolah sawit. Tahun lalu produksi sawit sudah mencapai 2,3 juta ton, dengan produksi berimbang (50:50) antara PTP dan swasta. Tapi lima tahun lagi diperkirakan akan terjadi boom sawit. Boom ini bisa mendorong mereka minta proteksi dengan pembatasan impor sawit, dan proteksi lain lagi. "Kini, minyak sawit boleh diimpor," kata Menko Ekuin. Untuk itu, mereka hanya akan dikenai bea masuk wajar, yakni 5% sampai 15%. Demikian pula dengan pembebasan ekspor kopra. Dengan demikian, pendapatan petani akan meningkat. Tapi, yaah, semua itu mengapa terlambat. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini