SEORANG penumpang perempuan menjerit, lalu pingsan. Sementara bis DAMRI jurusan Jakarta-Yogyakarta itu, Selasa pekan lalu, sekitar pukul 21.00 tetap melaju di Jalan Tol Jagorawi. Kemudian seperti terdengar kaca belakang bis pecah. Sesosok tubuh meloncat keluar, mirip adegan dalam film-film action. Barulah bis berhenti persis beberapa meter sebelum keluar dari jalan bebas. hambatan itu, di kawasan Ciawi, Bogor, Jawa Barat. Beberapa sosok berhamburan turun dari bis, mengejar sosok pertama yang meloncat memecah kaca. Kebetulan, beberapa polisi berada di perempatan ujung jalan tol, lalu ikut mengear. Sebentar terjadi perkelahian di malam yang terang karena lampu jalan tol. Tiba-tiba yang satu mengaduh, darah mengucur dari pinggang kirinya. Akhirnya polisi juga yang berhasil meringkus si pelari. "Kuat sekali orang itu, walau sudah kena pukul bertubi-tubi tetap melawan," tutur Letda Teguh, anggota Polsek Ciawi, yang ikut menyergap. Malam itu pula polisi Ciawi melakukan pengusutan, dengan saksi 8 penumpang bis - termasuk kernet dan pengemudi - ditambah masyarakat sekitar yang waktu itu ikut mengejar si pelompat. Kemudian diperolehlah cerita berikut. Yang bikin ulah ternyata bernama Hartoyo bin Kamiharjo, 36. Ia datang dari daerah transmigrasi Riau, berniat pulang ke Desa Kiuni, Kecamatan Gapuran, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Bapak tiga anak ini mengakui terus terang semua yang diperbuatnya di dalam bis. Ia memperoleh tempat duduk paling belakang. Ia berniat berbicara dengan "bapak ABRI" yang duduk di kursi ketiga dari belakang. Tapi orang yang duduk persis di depan Hartoyo seperti tak senang, seperti selalu menghalangi. Hartoyo jadi jengkel, merogoh pisau cukur dari tasnya, menyabet leher Asnawi bin Murni, 32, hingga korban terkulai. Istri Asnawi, Saniah, 25, itulah yang kemudian menjerit. "Saya tak tahan melihat darah, saya pingsan hampir 4 jam," tuturnya kemudian kepada TEMPO. Asnawi - sehari-hari jadi sopir bajaj di Jakarta - beserta istri, seorang anak, dan dua kemanakan hendak pulang kampung ke Cilacap. Tapi, menurut beberapa yang lain, Hartoyo mendesak beberapa orang, minta uang Rp 5.000. Katanya untuk membelikan oleh-oleh anaknya. Ia, yang baru Januari lalu tinggal di kawasan transmigrasi Riau, pulang kampung untuk menjemput istri dan anaknya. Anak istri Hartoyo pulang ke Wonosobo lebih dahulu, konon, karena tak kerasan. "Sungguh, saya tak minta uang kepada orang lain, " katanya kepada TEMPO yang menemuinya Senin awal pekan ini di tahanan Polsek Ciawi. Wajahnya masih bengkak, dan di pipi kiri serta bibirnya masih tampak bekas jahitan. Sepintas ia memang tampak lugu, tapi, menurut Saniah, wajah Hartoyo menyeramkan. "Saya kalap, saya menyesal kok bisa-bisanya berbuat begitu," katanya lagi. Ia mengaku sukses sebagai transmigran, bertani sambil merangkap jadi tukang cukur, pulang hendak menjemput anak bini. Memang ada yang dirisaukannya, "Saya pulang tak minta izin pengurus transmigrasi." Kasus ini memang agak aneh. Kenekatan Hartoyo agak susah dipahami. Mungkin benar bahwa dia kalap. "Ia tak mengambil apa-apa dari saya," kata Saniah yang urung pulang ke Cilacap. Kini urusan polisi dan pengadilan buat mengungkap kasus penggorokan dalam bis ini. Mungkin saja Hartoyo transmigran yang malang. Ia mengaku menyukai perkampungan transmigrannya dan mengaku sudah hidup enak, mungkin karena malu. Menurut Saniah, sebelum suaminya digorok, terdengar teriakan, entah dari siapa, tapi mungkin dari orang yang dimintai uang oleh Hartoyo. Teriakan itu, "Saya juga orang ndak punya, tak ada!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini