ANSHARI menjerit, begitu masuk ke dalam rumah. Anak laki-laki 10 tahun itu lalu lari ke rumah pembantunya tak jauh dari rumahnya. Sambil menangis ia suruh Kasiyem, pembantu berusia 50 tahun itu, menengok ibunya. Maka, Selasa dinihari pekan lalu, di rumah dekat Pasar Mrican, Kediri, Jawa Timur, itu pun geger: tiga mayat tergeletak di rumah itu. Sri Hidayah, 30, ibu Anshari, ditemukan terkapar di lantai semen kamar tidurnya. Lehernya terjerat kabel listrik, dan di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka bekas tusukan. Anak keduanya, Sri Yunawati, 6, tergeletak di sisinya dengan leher yang hampir putus karena jeratan kabel listrik juga. Mayat ketiga adalah Suliasih, 16, bugil dengan senter berbatere tiga tertancap di bagian bawah tubuhnya. Suliasih, kemanakan suami Hidayah, baru sejak awal bulan Puasa tinggal di rumah beton ini, ingin membantu bibinya. Dan memang hanya mereka bertigalah di malam nahas itu yang tidur di situ. Bila Anshari, anak pertama Hidayah, dan adik bungsunya, Sri Wijaya, 5, luput dari bencana, memang mereka tidur di tempat lain. Yakni di rumah pembantunya, Kasiyem itu, tiga rumah dari rumah ibunya sendiri. Pagi itu Anshari pulang untuk mengambil seragam sekolah. Ia menjerit . . . Perampokan? Tak terlihat tanda-tanda itu. Tak satu pun barang di rumah itu hilang, termasuk surat-surat di laci lemari besi yang bekas diacak-acak, sejauh penyidikan polisi hingga Senin pekan ini. Malah ada tambahan barang, yakni sebuah songkok hitam dan sarung cokelat ditemukan di atap rumah. Diduga barang itu milik Supardi, suami Hidayah. Dan di tembok kamar ditemukan tulisan berbahasa Jawa yang maksudnya, "Aku tak rela kau diambil orang." Supardi pun lalu ditahan. Apalagi menurut saksi mata di Pasar Mrican, di tengah malam kejadian itu Supardi terlihat keluar dari rumah Sri Hidayah mengendarai sepeda motor. Kemudian, sekitar pukul 04.00 terlihat ia ngopi di sebuah warung di dalam pasar. Dugaan polisi, mustahil dia tak tahu peristiwa itu. Tiadanya pintu atau jendela rusak memberikan indikasi, pelaku dengan leluasa masuk rumah, dan tahu denahnya. Tujuh buah genting yang ditemukan terbuka diperkirakan hanya untuk mengelabui. Sebab, reng genting tak memungkinkan dilewati orang tanpa merusakkannya. Akhir-akhir ini hubungan Supardi, 40, dengan istrinya tak lagi harmonis. Bahkan Supardi sudah menyatakan pisah tidur. Suami ini lebih sering tinggal di Pondok Kedunglo, Kecamatan Mojoroto, daripada tinggal di rumah. Tapi sesekali masih pulang, konon minta duit kepada istrinya, Rp 2.000. Riwayat perkawinan kedua orang ini memang tak mulus. Sri Hidayah 10 tahun lalu adalah kembang Desa Gringging, Kecamatan Grogol, Kediri. Setamat SKP dia mencoba mengajar di Madrasah milik ayahnya, Iman Mansur, 21 km sebelah timur Nganjuk. Tapi ini tak lama berlangsung. Entah mengapa kemudian Sri yang tangkas itu diikutkan ibunya ke Ibu Widji, saudara Iman Mansur di Pasar Mrican, Kediri. Di situlah Supardi, bekas suami tiga wanita, terpikat pada Sri. Iman Mansur menerima lamaran itu, meskipun mula-mula Sri sendiri menolaknya. Jadilah Sri istri yang keempat Supardi. Tahun pun berlalu, mereka dikaruniai tiga anak. Setelah anak ketiga lahir, 5 tahun lalu, menurut penuturan Djunaini, 20, adik kandung Hidayah, penyakit lama Supardi kambuh. Ia mulai lagi berjudi dan menyabung ayam. Gawatnya lagi, mata keranjangnya pun muncul lagi. Terang-terangan Supardi menyatakan jatuh cinta kepada Lilik, 25 gadis ayu berkulit putih yang membuka salon di Pasar Mrican. "Mbak Lilik mau dimadu, tapi Mbak Sri keberatan," cerita Djunaini. Singkat cerita, Sri minta cerai. Dipenuhi oleh Supardi, kira-kira enam bulan lalu. Tapi Lilik, yang rumahnya berdekatan dengan rumah Sri, ternyata tak menyambut perceraian itu. Gadis salon ini, entah mengapa, berbalik. Ia bukannya tambah akrab dengan Supardi, tapi malah menjauhkan diri. Sejak itulah Supardi sering tinggal di Pondok Kedunglo. Selain Supardi, dua pemuda lain yang sering menemui Sri juga diperiksa polisi. Ali Cholik dan Slamet dari Desa Karangtengah, Nganjuk, dua pemuda yang sering datang itu, menurut Djunaini, adalah dukun yang mengobati ayah Sri (100 hari sebelum terjadi musibah, Iman Mansur, si ayah, meninggal). Tetapi tampaknya polisi tak menemukan bukti-bukti pada tiga orang itu. Mereka lepaskan. Supardi selepas dari polisi segera menuju rumah Kasiyem menjenguk dua anaknya yang selamat. Lalu ia menuju rumah Sumini kakak kandungnya, ya ibu Suliasih. "Saya sudah tak lagi punya gairah hidup. Hidup saya ini sudah tak ada gunanya," katanya kepada TEMPO di antara isak tangisnya dan tangis Sumini. Dia minta polisi memeriksa terus dirinya, karena ia merasa difitnah oleh seseorang yang meninggalkan songkok dan sarungnya di atap rumah korban. "Bisa saja orang membuat seolah-olah saya yang melakukannya. Saya mencintai istri saya," katanya. Menurut Kadispen Polda Ja-Tim, Letkol Daljono, sidik jari pada barang bukti bukan sidik jari Supardi, maupun Ali dan Slamet. Polisi Kediri tampaknya tak seberuntung polisi Madiun, yang cepat menemukan tersangka pembunuhan yang juga sesadistis pembunuhan Sri Hidayah ini. Tangan siapa berlumur darah? Eko Yuswanto, Laporan Choirul Anam (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini