Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Poliandri model bandung

Ita rosita, 21, dari ciwidey, bandung, punya 2 suami, didin hasanudin dan erwin. masing-masing memberinya 1 anak. pengadilan agama membatalkan perkawinan dengan erwin. padahal didin sudah meninggalkan ita.

12 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NYONYA Ita Rosita, 21 tahun, pekan pekan ini, menjadi buah bibir warga, Kabupaten Bandung. Pasalnya, ibu muda asal Desa Alam Endah, Ciwidey, itu bukan hanya punya dua anak, tapi juga punya dua suami, Didin Hasanudin dan Erwin, yang masing-masing memberinya seorang anak. Dalam kurun waktu yang bersamaan, Ita mengantungi dua surat nikahnya. Poliandri? Begitulah kesimpulan Hakim H. Mohammad Sahib di Pengadilan Agama Kabupaten Bandung Senin pekan lalu. Karena itu, Sahib terpaksa membatalkan perkawinan kedua Ita dengan Erwin. "Begitulah kehendak hukum yang berlaku," kata Sahib. Hanya saja tragisnya buat Ita, ia kini justru berkumpul dengan Erwin dan telah pula dikurniai seorang putri, yang berusia 6 bulan. Sebaliknya, suami pertamanya, Didin, yang dianggap pengadilan sebagai suaminya yang sah, tidak lagi suka kepadanya. "Kalau dulu, memang saya suka sama dia, tapi sekarang kalau harus kumpul lagi dengannya saya kagok juga, 'kan ia sudah dicampuri Erwin dan sudah dapat anak lagi. Kini kalau mau cerai, saya juga tidak apa-apa, asalkan dilakukan secara benar," kata Didin, yang semula justru memperkarakan Ita ke pengadilan. Cerita unik itu bermula ketika Didin menikahi Ita, yang saat itu masih berusia 16 tahun, pada Oktober 1982, di KUA Ciwidey Kabupaten Bandung. Selama dua tahun, mereka mengarungi bahtera rumah tangga, dan dikarunia seorang anak lelaki di sebuah rumah kontrakan di Bandung. Tapi akibat tekanan ekonomi rupanya Didin tidak mempunyai pekerjaan tetap Ita tidak betah bersama suaminya. Dengan membawa anaknya, ia pulang kampung. Semenjak itu, pertengahan 1984, hubungan pasangan muda itu terputus. Selama 16 bulan, menurut Hakim Sahib sang suami tiada berkabar dan tidak pula memberikan nafkah lahir. Untuk mengisi waktu Ita menyibukkan diri dengan bekerja di sebuah perusahaan konveksi. Di tempat bekerjanya itulah, Ita terpikat pada Erwin. Jalinan kasih makin erat. Suatu ketika terjadi "kecelakaan", Ita pun hamil. Akibatnya, seperti dituturkan Sahib, keluarga Ika meminta amil (pejabat perkawinan) menikahkan pasangan itu. Cuma saja, Ita 'kan belum cerai dengan Didin. Menurut Ita, ia bersama kerabatnya mencari sang suami yang tak tentu rimbanya itu. Ketika bertemu, mereka pun mendapatkan ikrar talak dari Didin -- tapi secara lisan. Rupanya, talak lisan ini dipergunakan sebagai bekal melancarkan perkawinan. Mereka menikah di KUA Ciwidey juga, tahun lalu. Malah, amil di situ mendata Ita sebagai masih perawan -- dibubuhi tanda tangan lurahnya. Namun, tatkala Ita menikmati kebahagiaan bersama Erwin -- dan seorang anak perempuan buah perkawinan mereka petaka menerpa. Didin muncul. Ia kaget menyaksikan istrinya sudah menjadi istri orang lain. Sebab, ia merasa tidak pernah menceraikan istrinya itu. Karena itu, Didin membawa perkara ke pengadilan agama. "Saya tak pernah mengucapkan talak," kata lelaki yang kini bekerja sebagai juru potret amatir di Alun-Alun Kota Bandung itu. Pengadilan ternyata membatalkan perkawinan antara Erwin dan Ita. Hakim Sahib mengakui Didin, yang diakuinya sebagai suami sah Ita, merupakan lelaki yang egoistis karena bertahun-tahun meninggalkan istrinya tanpa kabar berita. Tapi, menurut Sahib, baik secara hukum nasional maupun hukum Islam, pernikahan Ita dengan Erwin itu tidak sah. Sahib menyesalkan kecerobohan pihak KUA yang menikahkan Erwin dengan Ita. "Seharusnya amil itu yang bertanggung jawab, dan harus ditindak oleh yang berwajib. Ia 'kan tahu wanita itu bersuami, dan untuk kawin lagi harus ada surat cerai kenapa dinikahkan juga," kata Sahib. Benarkah wanita itu sudah melakukan dosa poliandri? "Bukan," kata Ketua MUI Jawa Barat, K.H.R. Totoh Abdul Fatah. Kasus yang melibat Ita, misalnya, hanya suatu bentuk kesalahan dalam melaksanakan undang-undang perkawinan. Seharusnya, "Bila ada wanita yang pernah menikah lantas tak memilikl surat cerai, yang bersumber dari putusan pengadilan, dilarang dinikahkan," kata K.H.R. Totoh Abdul Fatah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus