DUNIA, kata orang pintar, tak mungkin dipahami dari satu ilmu saja. Repotnya, tak banyak ilmuwan yang sempat dan berminat menengok hal di luar dislplm ilmunya. Setidaknya itulah pengamatan Sjahrir, editor majalah Business News. Kata doktor dalam ekonomi-politik dan pemerintahan ini, sangat mungkin seorang ahli politlk harus menghitung tingkat inflasi guna memahami satu kasus politik. Dan seorang ekonom tiba-tiba harus memahami peri laku sosial satu kelompok masyarakat, guna menentukan kebijaksanaan ekonomi. "Atas dasar alasan sederhana itulah," kata Sjahrir, 42 tahun, sebuah lembaga pendidikan bernama Sekolah Ilmu Sosial (SIS) didirikan. Titik beratnya memang pada Ilmu Sosial, tetapi dikaji secara komprehensif, melibat ilmu-ilmu lain yang dlbutuhkan guna memahami realitas sosial. Jumat pekan lalu kuliah pertama dibuka, dengan 28 siswa, di Jalan Gresik, Jakarta Pusat. Dan inilah sekolah dengan kurikulum baru. Bukan cuma karena tak berada di bawah naungan Departemen P & K tapi Departemen Tenaga Kerja. Juga, karena metode belajar-mengajarnya yang berbeda dengan lembaga pendldikan yang sudah ada. Perkuliahan diselenggarakan dengan cara seminar waktu kuliah sekali seminggu selama dua jam, dan akan berlangsung selama 10 bulan. Mungkinkah dalam waktu singkat siswa menyerap tiga pokok kajian yang direncanakan -- Filsafat, Pengantar Teori Sosiologi, dan Pendekatan Ekonomi-Politik -- tambah beberapa mata kuliah lagi? "Mempelajari ilmu filsafat secara mendalam memerlukan banyak waktu. Tak mungkin dicapai hanya dalam empat kali pertemuan seperti di SIS ini," tutur Ignas Kleden, 39 tahun, pengajar Filsafat sebagai Pendekatan Kritis. Tapi SIS memang tak berambisi mencetak tenaga profesional dalam satu bidang. Juga tak ada janji-janji selesai sekolah seseorang bisa mendapat penghasilan Rp 2 juta per bulan, misalnya. Kurikulum, yang disusun oleh para tenaga pengajar sendiri, cuma menjanjikan bahwa "Siswa akan dibekali perspektif yang lebih luas di dalam memandang suatu masalah," kata Ignas, Master of Arts dari Sekolah Tinggi Filsafat di Muenchen, Jerman Barat. Jadi, bukan menambah ilmu urusan di sekolah ini, tapi memperluas pemahaman. Sebab, ujar Ignas lebih lanjut, ilmu bisa ditimba sendiri dari buku. Yang penting, bagaimana memahami isi buku secara kritis. Itulah, bila kuliah diselenggarakan sekali seminggu agaknya untuk memberi kesempatan siswa membaca buku-buku yang dianjurkan. Maka, sementara persyaratan bagi calon siswa begitu longgar, tapi satu hal tak bisa ditawar: kemampuan membaca dan memahami teks bahasa Inggris. Ini memang sebuah eksperimen. Memang disyaratkan siswa adalah sarjana (dari bidang ilmu apa saja) atau mahasiswa yang telah memiliki kredit minimum 110 SKS (setingkat sarjana muda). Tapi siapa saja yang berminat dan tak punya latar belakang pendidikan akademis formal boleh masuk, asal lolos dari seleksi yang berupa wawancara. Contoh yang diterima adalah Aktris Christine Hakim (lihat Pokok & Tokoh). Bak pedagang yang melego barang pertamanya dengan harga khusus untuk pelaris, SIS tak memungut bayaran sepeser pun bagi siswa angkatan pertama kini. Padahal, ditaksir, biaya seorang siswa sekitar Rp 1,5 juta. Seluruh biaya ditanggung oleh Yayasan Padi dan Kapas -- yang diketuai oleh Sjahrir, yang didirikan pada 1 Juni yang lalu -- yang bergerak di bidang pendidikan, peningkatan keterampilan, dan kesehatan masyarakat. Yayasah sendiri, menurut Rocky Gerung, Ketua Organisasi SIS, anggota Yayasan, diperoleh dari seminar yang mengutip Rp 100 ribu per peserta. Mungkin karena gratis itulah SIS boleh dikata tak mempublikasikan dirinya sendiri. Meski begitu, sekitar 40 calon mendaftar, dan setelah disaring, seperti telah disebutkan, 28 orang diterima -- 24 siswa reguler, 4 siswa pendengar yang cuma mengikuti tiga mata kuliah pilihan. Mereka, mahasiswa dari berbagai jurusan, ada juga editor sebuah majalah . Tentu para siswa punya motivasi masing-masing. "Terus terang saya tertarik karena SIS itu gratis, dan dosennya orang-orang dikenal, kata Niken, 23 tahun, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI tahun kelima, sedikit bergurau. Alasan sesungguhnya dari anak bungsu dari lima bersaudara itu, yang aktif di Lembaga Studi Masyarakat, "Sebagai peneliti saya berharap bisa melakukan pendekatan interdisipliner." Namun, ketika kuliah pertama, Jumat lalu Niken tak bisa menutupi kekecewaannya. "Terlalu serius," katanya. SIS tentu saja tanpa gelar. Di sini siswa tak diuji. Mereka hanya diminta membahas topik yang sudah ditentukan. Pada tahap akhir mereka diwajibkan membuat suatu makalah, yang tidak tertutup kemungkinan diterbitkan menjadi sebuah buku. "Misalnya, Christine Hakim menulis film dari dari sudut sosiologi atau filsafat, tentu sangat menarik," kata Sjahrir. Komposisi kesepuluh tenaga pengajar pun tampaknya memang dirancang agar mencerminkan Interdispliner. Ada yang berlatar belakang pendidikan sosiologi (Arief Budiman, Emmanuel Subangun). Politik (Salim Said, Daniel Dhakidae, Ibrahim Zakir). Ekonomi (Sjahrir, Darmin Nasution). Filsafat (Ignas). Dan dua orang lagi Marsilam Simanjuntak, seorang dokter, plus Rahman Tolleng, orang pers (pernah aktif di mingguan tabloid Mahasiswa Indonesia, Bandung, dan Suara Karya). Yang menarik, nama-nama itu tidak asing di dunia tulis-menulis. Beberapa memang pernah atau masih bekerja di pers. Beberapa sebagai editor sebuah yayasan yang menerbitkan buku. Karena pekerjaan mereka, tentulah mereka sudah terlibat dengan pemikiran interdisipliner. Marsilam memang dokter, tapi dari sejak mahasiswa di UI hingga kini ia aktif mengikuti perkembangan masyarakat. Salim, wartawan, menulis buku tentang film, dan kemudian belajar ilmu politik. Ide telah dilontarkan, eksperimen telah dijalankan, sukses tidaknya itu soal lain. Yusroni Henridewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini