HUKUM Acara Pidana yang dilahirkan tujuh tahun lalu, ternyata sia-sia mencegah praktek penganiayaan terhadap tahanan oleh oknum polisi. Buktinya, pekan-pekan ini seorang Kapolsek di Sumatera Utara terpaksa duduk di kursi terdakwa gara-gara menganiaya seorang tahanan sampai mati. Sementara itu, seorang Kapolsek Lampung, dua pekan lalu, bersama tiga anak buahnya divonis 15 tahun penjara untuk "dosa" yang sama. Sebelumnya, Mahkamah Militer Banjarmasin terpaksa memenjarakan lima orang bintara polisi, juga karena menganiaya tahanan sampai mati. Di Mahkamah Militer Medan, Oditur Mayor Suiranto menyeret Kapolsek Dolok Silao Letda. Cyrus Siahaan. 54 tahun. bersama dua anak buahnya, Koptu. Barita Sihombing dan Bharada. Rosman Chaniago, ke kursi pesakitan. Sebab, ketiga abdi hukum itu dituduh telah menganiaya seorang tersangka pencurian, Ferdinand Tarigan, hmgga tewas. Pada 16 September 1986, kata Oditur, Polsek Dolok Silao menangkap Ferdinand, Sadem Tarigan, Ramlan Sembiring, Rajin Sembiring. dan Rasiana beru Tarigan tanpa surat penahanan. Kelima penduduk Desa Panribuan, Kecamatan Dolok Silao Kabupaten Simalungun, itu dituduh menjarah rumah camat setempat, Drs. Samar Sembiring. Kelima orang itu, kecuali Rasiana, istri Rajin Sembiring, disekap di sel tak berlampu selama 51 hari. "Istri saya bebas setelah Cyrus kami sogok Rp 100 ribu," kata Rajin, 35 tahun, kepada TEMPO. Selama di tahanan, Ferdinand cs. hanya sesekali diberi makan. Pemeriksaan, kata para terdakwa, sering dimulai tengah malam. Anehnya, ketika diperiksa, para tahanan hanya boleh memakai cawat. Karena tak mengaku, para terdakwa pun dipukuli. "Bibir saya bengkak dan dua gigi saya copot," kata Sadem, 20 tahun. Sedang kuku jempol kaki kanan Ferdinand terkelupas, karena ditekan pemeriksa dengan kaki meja. "Karena tak tahan, kami mengaku," kata Rajin. Berita Acara Pemeriksaan pun dikirim ke Kejaksaan Negeri Pematangsiantar. Tapi rupanya hasil pemeriksaan itu dikembalikan, karena kurang lengkap. Cyrus pun berang. Pada 4 November 1986 malam, Ferdinand, 25 tahun, dijemput dari selnya dan .dibawa ke rumah Cyrus. Di rumah itu sudah menunggu, Barita Sihombing dan Rosman Chaniago. Ketiga polisi itu mengeroyok Ferdinand. Akibatnya mengejutkan. Ferdinand meninggal di halaman rumah itu. Untuk menghapus )e)ak, ketlga polisl itu menggantung mayat itu di kamar mandi di tahanan. "Mereka mau memberi kesan, Ferdinand mati bunuh diri," kata Oditur. Toh jejak iu tercium juga. Pagi itu juga Cyrus memerintahkan anggotanya menghubungi Provost Polres Simalungun. Tapi sebelum provost datang, Cyrus buru-buru memasukkan mayat ke ambulans. Setelah itu, ia membersihkan bercak darah di kamar mandi itu. Ini memancing kecurigaan Koptu. Walter Marpaung, Kepala Tata Usaha di Polsek itu. Kecuali Walter, ada saksi penting, yaitu Salmon Purba, 15 tahun, pelajar SMP yang tinggal satu kos dengan Cyrus di rumah tempat pembunuhan terjadi. "Saya mengintip perbuatan mereka," kata Salmon. Di Mahkamah Militer, Cyrus dan anak buahnya mengakui perbuatan mereka. Ternyata pula tuduhan Cyrus kepada Ferdinand tak beralasan. Sekarang teman-teman Mendiang dibebaskan karena tak cukup bukti. Tapi Cyrus dan anak buahnya tidak sendirian. Masih banyak oknum polisi yang berbuat serupa. Di Banjarmasin pekan pertama bulan lalu, Mahkamah terpaksa memenjarakan lima anggota polisi di situ karena menganiaya tahanan Sunadin, 35 tahun, sampal tewas. Kelima bintara dari Polres Kodya Palangkaraya, Kalimantan Tengah, itu - Koptu. Abdul Hamid, Kopda. Noval Alkateri, Serda. Soepen, Kopda. Monang Saragih, dan Serda. Y. Nurat - divonis Majelis dengan hukuman penjara 1 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Tapi berbeda dengan keempat rekannya, Abdul Hamid juga dipecat dari dinas ABRI. Vonis lebih berat dijatuhkan Mahkamah Militer Palembang dua pekan lalu, untuk kasus serupa. Majelis Hakim yang diketuai Letkol. (Laut) K.H. Aryoto, S.H. memvonis Kapolsek Kalianda, Lampung, Letda. R. Suratman, dan Koptu. Hairil Anwar masing-masing 15 tahun. Sementara itu, Kopda. Sopian Arka dan Sertu. Supri diganjar masing-masing 1O dan 5 tahun penjara. Kecuali Supri, semua terhukum dipecat dari dinas polisi. Kapolsek itu, bersama ketiga anak buahnya, menurut Majelis, terbukti membunuh dua orang mahasiswa di daerah itu. M. Yusuf dan M. Yunus. Kasus itu bermula dari sentimen peribadi M. Rais dan Dalom Batin masing-masing kepala desa, dan sekretaris Desa Jondong, Kalianda kepada Yusuf. Mahasiswa itu menuduh dana Bangdes diselewengkan. "Uang itu telah digunakan Kepala Desa dan sekretarisnya untuk kepentingan pribadi," ujar Yusuf, protes. Karena protes tak ditanggapi, perbuatan pamong ini dilaporkan ke bupati. Protes itu membuat Rais dendam. Ia menciptakan cerita bahwa Yusuf itu pencuri, dan melaporkannya ke Polsek, Saya minta Yusuf cepat diberesi, setelah itu semua keperluan sektor akan saya penuhi," begitu janji Rais kepada Suratman. Maka, pada 12 Desember 1986 malam, Suratman dengan sebuah minibus "berburu" Yusuf. Kebetulan Yusuf malam itu lagi menunggu durian bersama temannya, Yunus. Ia pun ikut ditangkap. Tangan kedua anak muda itu diikat ke belakang. Dengan mobil, mereka dibawa ke Penengahan, Kecamatan Ketibung, 25 kilometer dari Desa Jondong. Di sebuah kuburan Cina, mereka disuruh berjongkok. Kopda. Sopian kemudian mengeksekusinya. "Saya melakukan itu semata-mata karena perintah atasan," kata Sopian Arka. Majelis rupanya tidak bisa menerima alasan tersebut, dan karena itu menghukum keempat oknum tadi - sementara Pengadilan Negeri Kalianda memvonis Rais dan Batin masing-masing 15 dan 8 tahun penjara. "Mereka telah melakukan pembunuhan sadistis dan tak berperikemanusiaan, sehingga mencemarkan nama baik ABRI, dan Polri khususnya," demikian pertimbangan Majelis. Widi Yarmanto, Monaris Simangunsong (Jakarta), Sarluhut Napitupulu (Medan), dan Effendy Sa'at (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini