Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Preseden Buruk bagi Dunia Pers

Gugatan Tomy Winata atas TEMPO dikabulkan hakim. Barangkali ini arus balik pembungkaman pers.

22 Maret 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selembar kertas undangan dikibas-kibaskan Hakim Sunarjo demi mengusir gerah di wajahnya. Padahal angin dari luar jendela berembus kencang hingga masuk ruang persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sunarjo bisa jadi gerah karena harus bersidang di dalam ruang yang pengunjungnya penuh sesak. Ditambah lagi, pembacaan putusan sidang gugatan Tomy Winata melawan TEMPO, yang dipimpinnya, disorot begitu banyak kamera foto dan televisi di semua penjuru ruang persidangan itu Kamis pekan silam. Hasil akhir putusannya membuat sebagian besar pengunjung sidang terenyak. Majelis hakim mengabulkan sebagian gugatan Tomy Winata atas TEMPO. Hakim menyatakan TEMPO bersalah telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan penggugat. ”Tergugat telah melanggar hak subyektif Tomy Winata dan mencemarkan nama baiknya,” ujar Sunarjo. Hakim Sunarjo, yang didampingi hakim anggota Panusunan Harahap dan Ridwan Mansyur, mengganjar TEMPO membayar ganti kerugian imateriil dan kerugian dari keuntungan yang akan datang sebesar Rp 500 juta. Sunarjo, yang menyebut Tomy Winata sebagai pengusaha sukses di bidang perbankan dan properti, juga memerintahkan agar TEMPO memulihkan nama baik Tomy dengan mencabut berita berjudul Ada Tomy di Tenabang? yang menjadi pangkal gugatan itu. Tergugat, kata Sunarjo, harus minta maaf di tiga media cetak, yakni Koran Tempo, Media Indonesia, dan Warta Kota, serta memasang permintaan maaf setengah halaman di Majalah TEMPO tiga kali berturut-turut. Jika lalai, TEMPO diwajibkan membayar uang paksa (dwangsom) Rp 300 ribu per hari. Belum sempat hakim mengayunkan palunya, pengacara TEMPO, Todung Mulya Lubis, buru-buru menyela. ”Ini menunjukkan apresiasi yang sangat rendah kepada pers, terhadap kebebasan pers, dan terhadap fungsi pers sebagai alat kontrol sosial,” katanya. Menurut Lubis, putusan hakim tidak memperhatikan argumentasi yang diajukan penasihat hukum TEMPO. Karena itu, ia langsung mengajukan banding. Bagaimana dengan Tomy? O.C. Kaligis menyatakan berpikir juga untuk mengajukan banding karena tak puas dengan jumlah ganti rugi yang ditetapkan hakim. ”Ganti ruginya terlalu rendah,” ujarnya. Perseteruan ini berawal dari munculnya berita Majalah TEMPO Edisi 3-9 Maret 2003 berjudul Ada Tomy di Tenabang?. Beberapa hari setelah berita ini terbit, ratusan orang yang mengaku sebagai pendukung Tomy Winata menggeruduk kantor Majalah TEMPO. Dalam penyerbuan itu, tiga orang wartawan TEMPO, Abdul Manan, Bambang Harymurti, dan Ahmad Taufik, menjadi korban kekerasan. Pelaku kekerasan David Tjiu, yang dibawa ke meja hijau, dibebaskan oleh hakim. Kebetulan Sunarjo-lah saat itu yang menjadi ketua majelis dan Ridwan Mansyur menjadi anggotanya. Sebelumnya, Tomy mengadukan TEMPO ke polisi karena TEMPO dianggap telah melakukan pencemaran nama baik. Tiga orang wartawan TEMPO, Bambang Harymurti, Ahmad Taufik, dan Teuku Iskandar Ali, menjadi terdakwa. Kasusnya kini tengah berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Seiring dengan laporannya ke polisi, Tomy Winata, melalui kantor pengacara O.C. Kaligis, mengajukan gugatan perdata Juli tahun lalu. Dalam gugatannya, Tomy menganggap berita yang dimuat TEMPO telah menimbulkan pandangan yang keliru serta kecurigaan dan prasangka terhadap dirinya. Gara-gara artikel itu, Tomy mengklaim telah kehilangan peluang bisnis dengan pengusaha yang akan membuka beberapa gerai superstore di Jakarta. Pengusaha yang dikenal sebagai bos Grup Artha Graha itu menuntut ganti rugi materiil dan imateriil yang jumlahnya alamak, Rp 200 miliar. Selain itu, demi memulihkan nama baiknya, Tomy meminta TEMPO mencabut berita tersebut dan menyiarkan permintaan maaf di sejumlah media cetak dan elektronik. Dalam gugatannya, Tomy menunjuk beberapa kalimat berita itu yang dianggapnya tidak benar, seperti kalimat yang ada di teras (lead) berita: ”Konon, Tomy Winata mendapat proyek renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp 53 miliar.” Secara singkat, Tomy menganggap pemberitaan itu menggiring opini pembaca bahwa dirinya mendapat keuntungan dari kebakaran besar yang melanda Pasar Tanah Abang. Pembaca dalam pandangan Tomy juga telah digiring untuk beropini bahwa dialah dalang di balik peristiwa kebakaran itu. Atas gugatan tersebut, TEMPO mengajukan keberatan. Dalam eksepsinya, tergugat menilai gugatan ini prematur karena belum ditempuh mekanisme penyelesaian melalui hak jawab atau melalui Dewan Pers seperti diatur dalam Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers. ”Selain itu, dengan adanya proses pidana yang sedang berjalan, seharusnya tuntutan perdata mengenai ganti kerugian ditunda,” ujar pengacara TEMPO, Todung Mulya Lubis. Menanggapi eksepsi itu, hakim menyebutkan Undang-Undang Pers tidak mengatur secara limitatif mekanisme penyelesaian yang harus ditempuh dalam perkara pers. Soal hak jawab dalam pasal 5 ayat 2 undang-undang itu, kata Sunarjo, hanya disebutkan perslah yang wajib melayani hak jawab. ”Soal orang mau menggunakan hak itu atau tidak, kan, terserah,” ujar Sunarjo. Sedangkan Dewan Pers dianggap bukan lembaga yang berhak memutus suatu perkara yang berkaitan dengan pemberitaan pers. Eksepsi tergugat akhirnya ditolak hakim. Hakim juga mengesampingkan pendapat semua saksi ahli yang diajukan TEMPO. Hakim hanya sependapat dengan saksi yang disodorkan Tomy Winata, yaitu Rahayu Surtiati Hidayat (sempat tak mengerti saat ditanya arti kata vrij man dalam sidang perkara Tomy melawan Goenawan Mohamad) dan Tjipta Lesmana. Saksi ahli dari TEMPO, Hinca I.P. Panjaitan, Leo Batubara, dan Abdullah Alamudi, yang dikenal integritasnya di bidang pers, malah tak didengar sama sekali oleh hakim. Dalam pertimbangannya, hakim menilai kalimat yang ada di teras berita itu telah menggiring pembaca untuk berpendapat bahwa Tomy telah mengajukan proposal proyek renovasi Pasar Tanah Abang. Padahal dalam persidangan tidak dapat dibuktikan keberadaan proposal tersebut. ”Berita itu tidak tepat, tidak akurat, dan tidak benar,” ujar Hakim Sunarjo. Hakim sepakat dengan Tjipta Lesmana, yang menyatakan beberapa kalimat dalam berita itu telah menuntun logika pembaca bahwa Tomy Winata ada di belakang kebakaran Pasar Tanah Abang. Hakim juga mengesampingkan cover both sides sebagai proses pembuatan berita. ”Yang penting itu kan hasil akhirnya,” katanya. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara ini membuat Ketua Harian Serikat Penerbit Surat Kabar, Sabam Leo Batubara, meradang. Pertimbangan hakim bahwa pers haruslah memuat berita yang memiliki kebenaran dan keakuratan yang absolut tidak masuk akal. Pasalnya, kebenaran absolut tidak akan ditemukan dalam sebuah karya pers. ”Media tak dapat dihukum karena benar-tidaknya pemberitaan, melainkan apakah proses dan kaidah jurnalistik telah dijalankan,” kata anggota Dewan Pers tersebut. Puluhan wartawan, sehari setelah putusan diketuk, turun ke jalan. Mereka menganggap putusan ini perlahan-lahan akan memberangus kebebasan pers. ”Mengesampingkan hak jawab serta peran Dewan Pers adalah preseden buruk bagi dunia pers kita,” ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers, Misbahuddin Gasma, dalam siaran pers yang diterima TEMPO Jumat pekan lalu. Sementara itu, di mata Todung Mulya Lubis, hakim telah membuat arus balik yang menghambat kebebasan pers. ”Ada legitimasi untuk mengajukan semua gugatan pers ke pengadilan tanpa melalui mekanisme Dewan Pers seperti yang telah diatur undang-undang,” katanya. Hakim juga mengabaikan Pasal 1376 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyebutkan bahwa tuntutan perdata tidak dapat dikabulkan jika terbukti tidak ada maksud menghina. Maksud untuk menghina dianggap tidak ada jika si pembuat nyata-nyata berbuat untuk kepentingan umum. Mungkin Hakim Sunarjo akan terus mengipas-ngipas dirinya, mengusir gerah, karena protes yang bakal terus bergulir akibat putusannya itu. Juli Hantoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus