Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG azan magrib pertama puasa Ramadan, Niwen Khairiyah bersujud syukur. Tapi bukan waktu berbuka puasa yang membuat pegawai Pemerintah Kota Batam itu bertindak demikian. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru baru saja mengetukkan palu yang membebaskan perempuan 38 tahun itu dari tuntutan 16 tahun penjara.
Majelis hakim yang dipimpin Ahmad Setio Pudjoharsoyo menyatakan Niwen tak terbukti melakukan kejahatan korupsi dan pencucian uang—seperti dakwaan jaksa. "Karena tindak pidana asal tak terbukti, pengadilan tak berhak memeriksa dan mengadili tindak pidana pencucian uang," kata Pudjo, yang juga Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru, Kamis dua pekan lalu.
Hakim Pudjo, bersama anggota majelis Isnurul dan Hendri, juga membebaskan dua terdakwa lain. Mereka adalah pegawai Pertamina, Yusri, dan pegawai harian lepas TNI Angkatan Laut, Arifin Ahmad. Jaksa menuntut kedua orang ini 10 dan 15 tahun penjara.
Majelis hakim yang sama menjatuhkan vonis berbeda untuk dua terdakwa dalam kasus yang berkaitan, Ahmad Mahbub alias Abob (kakak kandung Niwen) dan Du Nun (pegawai lepas TNI Angkatan Laut). Hakim menganggap Abob dan Du Nun terbukti melakukan kejahatan korupsi dan pencucian uang dalam kasus penyelundupan bahan bakar minyak.
Hakim memang menghukum Abob dan Du Nun empat tahun penjara dan denda 200 juta. Vonis hakim ini jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa: 16 tahun penjara dan ganti rugi Rp 27 miliar. Kuasa hukum para terdakwa, Rudi Rajagukguk, menilai putusan hakim sudah tepat. Sedangkan vonis bersalah dua terdakwa lain, kata Rudi, "Masih kami pelajari."
Sebaliknya, jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Pekanbaru, Abdul Faried, kecewa terhadap putusan hakim. "Ini putusan janggal," ucap Faried. Alasannya, dalam kasus yang sama, Abob dan Du Nun dinyatakan bersalah. Sedangkan tiga terdakwa lain malah dibebaskan. "Padahal Niwen jelas menampung uang Abob yang dihasilkan dari kejahatan," kata Faried.
PUSAT Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mulai menelisik rekening Niwen Khairiyah sejak pertengahan April 2014. PPATK menemukan setoran langsung dalam jumlah fantastis ke rekening Kepala Subdirektorat Kerja Sama Investasi Luar Negeri Badan Penanaman Modal Kota Batam itu. Sekali transaksi besarnya Rp 800 juta-Rp 1 miliar.Sepanjang 2008-2014, uang keluar-masuk rekening Niwen mencapai Rp 1,3 triliun.
Di samping transaksi jumbo di rekening bank, harta Niwen tergolong melimpah. Pegawai negeri golongan III-B itu memiliki lima bidang tanah dan bangunan di Perumahan Puri Legenda Batam, satu bidang tanah dan bangunan di Perumahan Mediterania Batam, serta enam ruko penjual kue khas Batam, bingka bakar, dengan merek Nayadam.
Dari rekeningnya, Niwen berulang kali mentransfer uang ke Arifin. Arifin lalu mengirim ke rekening Du Nun, rekannya sesama pegawai harian lepas di TNI AL. Ujungnya, uang masuk ke rekening Yusri, supervisor senior di terminal bahan bakar minyak Pertamina di Tanjung Uban, Batam.
Ketika diperiksa polisi, Du Nun dan Arifin menyatakan duit mereka diperoleh dari hasil jual-beli bahan bakar minyak bersubsidi di tengah laut. Bahan bakar mereka beli dari kapal pengangkut BBM Pertamina yang berlayar dari Pangkalan Tanjung Uban.
Dalam bisnis bahan bakar ilegal ini, Yusri berperan memberi informasi tentang jadwal dan nama kapal pengangkut BBM Pertamina, lengkap dengan kontak awak kapalnya.Di tengah laut, minyak dilego ke kapal-kapal asing yang berlayar di perairan Kepulauan Riau.
Berdasarkan pengakuan Du Nun kepada polisi, Abob merupakan otak jaringan penyelundup BBM ini. Abob memiliki kapal pengangkut minyak, MT Jelita Bangsa, di bawah bendera PT Lautan Terang. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyebutkan aksi komplotan ini selama 2008-2013 merugikan negara sekitar Rp 149 miliar.
Kasus ini mulai disidangkan pada Februari lalu. Dalam dakwaannya, jaksa menyebutkan kasus penyelewengan minyak bersubsidi bermula dari tawaran Komandan Angkatan Laut Dumai Mayor Antonius Manulang. Antonius yang menawarkan penjualan minyak ke Abob.
Di persidangan, Abob mengaku menghubungi Ridwan, pengusaha di Singapura, untuk menjual lagi minyak bersubsidi itu. Setelah bersepakat dengan Abob soal harga dan tempat serah-terima minyak ilegal, Ridwan membayar melalui rekening Niwen.
Abob pun beberapa kali menyebut Ridwan sebagai pembeli minyak dari Antonius. Menurut Abob, Ridwan sering datang ke Batam untuk meminta dia mentransfer uang pembelian minyak langsung ke Antonius.
Untuk menampung hasil penjualan minyak ilegal, demikian terungkap di persidangan, Antonius memakai rekening anak buahnya, Arifin Ahmad, di Bank Mandiri Cabang Dumai. Nah, Niwen tercatat pernah mentransfer uang Rp 156 miliar untuk Antonius melalui rekening Arifin.
Atas jasa "penitipan" uang itu, Arifin mendapat bayaran Rp 15 juta, plus uang saku Rp 500 ribu per bulan dari Antonius. "Arifin juga diberi uang Rp 50 juta untuk membangun rumah," kata jaksa Faried.
Sebagai saksi kunci, Antonius Manulang tak pernah sekali pun hadir di persidangan. Hakim pernah lima kali meminta jaksa menghadirkan perwira menengah itu. Namun Antonius selalu mangkir. Menurut Faried, Antonius tak dapat dihadirkan karena menjalani proses hukum di pengadilan militer. Akhirnya majelis hakim hanya bisa membacakan berita acara pemeriksaan Antonius di kepolisian, yang dibuat tanpa sumpah.
Seperti halnya Antonius, Ridwan pun tak bisa dihadirkan ke persidangan. Belakangan, jaksa Faried malah menduga Ridwan hanya tokoh rekaan untuk menyamarkan peran Abob. "Identitas Ridwan tak jelas," kata Faried. Ketika didesak jaksa, Abob selalu menyebut Ridwan sebagai teman lama ketika bekerja di Singapura.
Berbeda dengan jaksa, hakim beranggapan Ridwan merupakan sosok nyata. Hanya, keberadaannya tidak diketahui. Hakim pun menerima alasan Abob yang mengaku berperan sebagai perantara pengiriman uang antara Ridwan dan Antonius.
Sejalan dengan argumen Abob, hakim menganggap lelaki itu bukan pelaku utama penyelundupan minyak. Karena Abob hanya perantara, majelis hakim memvonis dia dengan hukuman yang lebih ringan daripada tuntutan jaksa.
Dalam perkara Niwen, hakim berpendapat tak terjadi pelanggaran pada transaksi melalui rekening yang mencapai Rp 1,3 triliun itu. Menurut hakim, Niwen memang terbukti menerima aliran dana dari Abob. Namun Niwen sama sekali tak mengetahui bahwa uang tersebut merupakan hasil penjualan minyak secara ilegal.
Menurut hakim, tak ada salahnya pula Niwen menerima dolar Singapura, yang kemudian dia tukarkan ke rupiah. Alasan hakim, hal itu merupakan bagian dari usaha Niwen sebagai pemilik tempat penukaran uang (money changer).
Adapun dalam perkara Yusri, hakim menyebut aliran uang yang masuk ke rekening supervisor Pertamina itu sebagai hasil bisnis pribadi. Jadi, di mata hakim, tak ada pula uang haram yang masuk ke rekening Yusri. Sementara itu, Arifin lolos dari hukuman karena, menurut hakim, dia tak mengetahui rekeningnya dipakai untuk menerima uang hasil pencurian minyak.
Jaksa Faried tak sependapat dengan hakim bahwa Niwen tak mengetahui dana yang membanjiri rekeningnya itu hasil kejahatan. Faried berpegang pada laporan PPATK yang menunjukkan pergerakan uang mencurigakan ke rekening Niwen dengan jumlah yang sangat tidak wajar.
Mantan Ketua PPATK Yunus Husein pernah hadir sebagai saksi ahli dalam persidangan Niwen. Ketika itu Yunus dimintai pendapat mengenai kemungkinan adanya unsur pidana pencucian uang dalam kasus tersebut. "Kalau uang hasil jual minyak itu tidak sah, transaksi yang menggunakan uang itu menjadi tindak pidana pencucian uang," kata Yunus mengulangi kesaksiannya. Kriteria itu, menurut Yunus, terang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Tak puas terhadap putusan hakim, jaksa pun mengajukan permohonan banding atas vonis Abob dan Du Nun. Sedangkan untuk vonis bebas Niwen dan dua terdakwa lain, menurut Faried, jaksa segera mengajukan permohonan kasasi.
Yuliawati, Riyan Nofitra (Pekanbaru), Rumbadi Dalle (Batam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo