Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menggulirkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP pada Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025. “Komisi III DPR RI akan segera menyusun dan membahas RUU KUHAP pada masa sidang ini,” kata Ketua Komisi III DPR Habiburokhman pada Rabu, 22 Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.
Habiburokhman mengatakan pihaknya menargetkan penyusunan draf dan naskah akademik selesai pada masa sidang ini. “Dan masa sidang berikutnya akan segera dibahas sebagai RUU inisiatif DPR,” ucapnya.
Politikus Partai Gerindra itu menuturkan pihaknya menargetkan KUHAP baru nanti dapat berlaku bersamaan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 1 Januari 2026.
Alasannya, semangat politik hukum KUHAP harus sama dengan semangat politik hukum yang terkandung dalam KUHP. “Pentingnya pengesahan KUHAP ini karena KUHAP adalah hukum formal yang mengoperasikan pemberlakuan KUHP sebagai hukum materiel,” tuturnya.
Ahli Hukum Unair: RUU KUHAP Harus Diarahkan pada Penguatan Penegakan Hukum
Ahli hukum tata negara Universitas Airlangga Surabaya, Radian Salman, mengatakan RUU KUHAP harus diarahkan pada penguatan penegakan hukum yang dapat mewujudkan kebenaran materiel dan formal untuk mewujudkan keadilan. “Harus ada prinsip keseimbangan dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system),” kata Radian di Surabaya pada Selasa, 28 Januari 2025.
Dia menuturkan diferensiasi fungsional menekankan pemisahan yang jelas antara tugas penyidikan oleh kepolisian dan tugas penuntutan oleh kejaksaan. Hal ini bertujuan mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di satu lembaga. “Ini sesuai dengan Putusan MK Nomor 28/PUU-V/2007,” katanya.
Radian menuturkan, jika RUU KUHAP Pasal 111 ayat 2, Pasal 12 ayat 11, Pasal 6 hingga Pasal 30 b disahkan, maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan. Ini tentu berpotensi tidak adanya batasan yang jelas antara jaksa dan polisi. Hal ini membuat terjadinya dualisme prosedur penyelidikan karena baik polisi maupun jaksa sama-sama memiliki kewenangan menyelidiki.
Dia mengatakan sistem peradilan pidana terpadu menghendaki adanya pengawasan yang dilakukan secara vertikal dan horizontal. “Khususnya pada pengawasan secara horizontal ini dapat terjadi apabila kewenangan antara lembaga seimbang dan tidak mendominasi satu sama lain,” katanya.
Radian berpesan reformasi KUHAP dapat dimulai dengan semangat kolaborasi antarsubsistem agar tercipta sistem peradilan pidana terpadu, baik antara penyidik, jaksa, pengadilan, maupun lembaga pemasyarakatan.
“Sinergi ini merupakan fondasi dari sistem peradilan pidana yang kuat dan kredibel. KUHAP harus menjadi instrumen untuk memperkuat sinergi ini, bukan malah menciptakan konflik kewenangan baru," ujar dia.
Pengamat Hukum UNS: DPR Harus Cermat Menyusun RUU KUHAP
Sementara itu, pengamat hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Muhammad Rustamaji, mengingatkan DPR agar cermat dan berhati-hati dalam menyusun dan membahas RUU KUHAP. “Konsep baru dalam RUU KUHAP harus memperhatikan sinkronisasi kewenangan dalam integrasi proses penegakan hukum," ujarnya di Semarang, Senin, 27 Januari 2025.
Dia menjelaskan salah satu hal yang mengemuka dalam pembahasan RUU KUHAP adalah kemungkinan penghapusan penyelidikan yang tidak diformulasikan. Kondisi tersebut memunculkan berbagai potensi perubahan penegakan hukum dalam proses awal diketahuinya tindak pidana.
Menurut dia, penyidikan suatu tindak pidana yang tidak didahului dengan penyelidikan akan memunculkan masyarakat yang suka menuntut. “Masyarakat yang suka membawa seluruh permasalahan ke jalur hukum sehingga mengakibatkan addictive to law,” katanya.
Rustamaji mengatakan, selama ini, dugaan terjadinya suatu tindak pidana melalui laporan maupun aduan. Namun, jika setiap laporan pidana direspons langsung dengan penyidikan, maka memunculkan masalah yang berkaitan dengan kecukupan penyidik.
Dia menambahkan akan terjadi kelebihan perkara dalam tahap penyidikan sehingga menimbulkan permasalahan akibat rasio jumlah penyidik dengan laporan masyarakat yang tidak berimbang.
Hal lain yang memerlukan perhatian dalam pembahasan RUU KUHAP adalah upaya paksa yang dilakukan penyidik dalam upaya penegakan hukum. “Upaya paksa dimulai dengan tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,” kata dia.
Pada formulasi RUU KUHAP, kata dia, upaya paksa tidak disusun dengan urut. Selain itu, tindakan lain yang bertujuan membantu penyidik, seperti penyadapan maupun penggunaan data intelijen untuk tindak pidana tertentu, juga tidak diakomodasi dalam RUU KUHAP.
Karena itu, dia mengatakan pembahasan revisi peraturan perundang-undangan tersebut harus dilakukan dengan sangat cermat dan berhati-hati.
Menkum Dukung 100 Hari Penegakan Hukum dengan Susun KUHAP Baru
Adapun Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mendukung upaya penegakan hukum menjelang masa 100 hari kerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dengan menyusun KUHAP baru bersama DPR.
Pernyataan Supratman tersebut berkaitan dengan hasil survei Litbang Kompas tentang tingkat kepuasan publik terhadap 100 hari kerja pemerintahan di bidang penegakan hukum yang mencapai 72,1 persen.
“Tentu Kementerian Hukum akan terus mendukung upaya regulasi dalam rangka penegakan hukum itu, karena salah satunya kita lagi mempersiapkan bersama dengan DPR untuk menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru," kata Supratman saat ditemui di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu, 22 Januari lalu.
Supratman mengakui apresiasi kinerja penegakan hukum tidak berada di ranah kementeriannya, melainkan berada di aparat penegak hukum, seperti Polri, TNI, kejaksaan, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, KPK, dan BPK. Namun, di sisi lain, Kementerian Hukum akan mendukung proses regulasi dan penataan regulasi.
Supratman pun turut memberi komentar mengenai citra hukum di Indonesia meningkat pesat dalam tiga bulan terakhir. “Apa pun hasil penilaian masyarakat, itu gambaran dari sebuah tingkat kerja-kerja kementerian ya. Tentu di bawah arahan Bapak Presiden Prabowo itu menunjukkan harapan bagi masyarakat di pemerintahan Bapak Presiden,” kata dia.
Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Alasan Jubir PCO Sebut Pemerintahan Prabowo Tak Kenal Program 100 Hari Kerja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini