Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ramadhan Mati Di Taman Safari

Sekitar 30 ekor hewan di taman safari indonesia (tsi) cisarua, bogor, mati secara beruntun. diduga hewan tersebut sengaja diracun. kini para tersangka ditahan di polres bogor.

3 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEKA teki matinya puluhan satwa yang dipelihara di Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua, Bogor, akhirnya terkuak. Hewan itu bukan mati karena penyakit, atau keracunan, melainkan memang sengaja diracun. Tersangkanya, yang pekan lalu dijaring polisi, terdiri dari Joni, Wawan, Heri, Hamid, dan Gatot. Kini mereka diinapkan di tahanan Polres Bogor. Pembunuhan itu dilakukan sejak Juni lampau. Beberapa koleksi TSI yang berharga itu tumbang satu demi satu, menurut polisi, termasuk gajah bernama Ramadhan, yang mengalungkan bunga di leher Presiden Soeharto ketika bersama keluarganya mengunjungi tempat itu Mei lalu. Hampir semua hewan mati mendadak, dan sedikit sebelumnya yang menunjukkan tanda sakit. Semula pengelola TSI mengira binatang itu diserang wabah anthrax, jenis penyakit ganas yang banyak menyerang hewan menyusui. Walau pencegahannya segera dilakukan, hasilnya toh nihil. Malah, binatang impor yang harganya jutaan rupiah itu beruntun dijemput maut. Hingga Juli lalu jumlah yang tewas 30 ekor -- empat gajah, lima lama, 15 unta, satu genu, tiga kuda, dan dua zebra. Sepuluh ekor lagi diikat sekarat. Keadaan gawat itu membuat pengelola TSI gregetan, bingung, dan penasaran. Karena didorong rasa curiga, TSI menyerahkan bangkai unta ke Laboratorium Balivet Bogor. Dari hasil pemeriksaan sisa makanan dalam lambung bangkai itu ditemukan residu nitrat dan nitrit, bukan kuman anthrax. Dan kemudian disimpulkan: hewan itu mati keracunan. Pernyataan serupa juga diberikan oleh pihak Laboratorium Bakteriologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Jadi jelas, hewan itu mati sehabis menelan zat beracun nitrat dan nitrit tadi. Pekan lalu petugas laboratorium kriminal di Markas Besar Polri juga melakukan visum untuk melengkapi pengusutan ter hadap para tersangka tadi. Berbekal hasil pemeriksaan dari dua laboratorium terdahulu itu, pengelola TSI melapor ke polisi. Kemudian Letnan Kolonel Andi Hasanudin, Kapolres Bogor, menerjunkan ang gotanya ke TSI, awal September. Sebagian dari mereka menyamar sebagai satpam, dan selebihnya mengumpulkan informasi. Dalam tempo dua minggu perbuatan itu terbongkar. Tersang kanya, seperti sudah disebut tadi, adalah pegawai TSI sendiri. Mereka, menurut polisi dibantu seorang dukun. "Orang-orang dalam" itu kerap mengadakan pertemuan untuk membahas bab pembunuhan itu di sebuah tempat di Cisarua. Setelah lengkap meraup info dari tempat tadi, barulah polisi memeriksa Gatot dan Heri -- yang seharihari sebagai satpam di TSI. Dari mulut mereka keluar cerita tentang gagasan membunuh hewan itu berasal dari Joni dan Wawan, 27 tahun -- dua bekas pegawai TSI. Dan Hamid, yang kondang sebagai dukun, membantu membuat racun. Selain lima yang ditangkap, ada sekitar 15 orang lagi yang akan diminta keterangannya. Motif pembunuhan itu, menurut Andi, karena dendam dan solider pada karyawan yang dipecat. "Ini dugaan sementara, dan tidak menutup kemungkinan ada dorongan lain," katanya. Joni, 37 tahun, pegawai di bagian pengawas hewan TSI, konon pernah digigit macan. Ia menjadi pegawai sejak TSI diresmikan tahun 1990. Ia dituduh mendalangi aksi unjuk rasa pada Februari 1991. Joni dan kawan-kawan menuntut uang lembur. Rupanya, bukan tuntutan mereka yang dipenuhi, malah Joni dipecat, Maret tahun silam. Karena merasa kecewa dan sakit hati, menurut informasi yang dikumpulkan polisi, Joni berniat membunuh semua satwa TSI agar objek wisata nasional itu tutup. Ternyata niat itu disambut oleh rekan-rekannya yang pernah menjadi bawahan Joni, karena solider atas pemecatan itu. Joni, menurut Yulius H. Suprihardo, juru bicara TSI, memang dipecat karena terlibat unjuk rasa. Tapi, apa pangkal unjuk rasa itu, Yulius menampik menjelaskannya. Kini tinggal Hamid, Gatot, dan Heri menyesali perbuatannya. Hamid, 74 tahun, kakek sembilan cucu, mengaku kerap didatangi Joni bersama kawan-kawannya. Ia diminta membuat obat. "Bukan racun," katanya kepada wartawan TEMPO Taufik Abriansyah. Obat apa, ia menolak menguraikan. "Toh, permintaan itu selalu saya tolak," katanya. Memasuki dini hari, sekitar Juni silam, Joni datang lagi. Yang dimintanya tetap sama: obat. Kali ini Hamid mengabulkannya. Ramuan itu diracik dari empat rupa: selembar daun sirih, empat lembar daun kelor, garam, dan kunir. Lalu diberi air pancuran, dan dimasukkan ke botol yang isinya 500 cc. Racun itulah, menurut polisi, yang ditaburkan di sekitar kandang yang longgar pengawasannya, yakni di lokasi unta. Hewan asal Mesir itu kini tinggal 11 ekor. Untuk jasanya membuat racun itu, Joni memberi Rp 5.000 kepada Hamid. Petani ini mengaku pada polisi tak tahu obat itu dipakai meracuni hewan. Kini ia mengeluh sering gemetar. "Kalau dengar ada orang ngomongin Taman Safari, kepalaku mendadak puyeng," ujarnya. Heri yang mengaku atas suruhan Joni menaburkan racun ke rumput makanan ternak diberi imbalan Rp 25.000. Pertengahan Juni lalu, kata Heri menambahkan, Joni mengadakan tumpengan untuk "selamatan karena sudah berhasil membantai hewanhewan kebanggaan TSI". Joni sendiri belum boleh ditemui TEMPO. Tapi menurut polisi, ia menolak tuduhan dan membantah ikut meracun hewan-hewan itu. Pimpinan TSI, Frans Manangsang, mengaku ketimpa rugi ratusan juta rupiah. Selain itu, ia merasa rugi moral, mengingat sulit melatih satwasatwa itu. Sejak musibah tadi, pengawasan makanan di lingkungan TSI, yang luasnya 70 hek tare dan dihuni sekitar 1.000 satwa bermacam jenis yang dibiarkan bebas berkeliaran itu, dilakukan lebih ketat. "Kami tidak ingin kejadian itu terulang lagi," katanya. Sri Pudyastuti R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus