Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nur Kholis terkaget-kaget ketika mendengar paparan tim Kejaksaan Agung pada 20 April lalu. Dalam pertemuan tertutup di ruang rapat Jaksa Agung itu, tim Kejaksaan menjelaskan bahwa pelanggaran HAM berat di masa lalu sebaiknya diselesaikan lewat Komite Rekonsiliasi. Alasan mereka antara lain alat bukti sulit ditemukan dan pelakunya banyak yang sudah meninggal.
Disuguhi tawaran "dadakan" seperti itu, Nur Kholis—yang telah lama mengkampanyekan pentingnya pengadilan HAM—spontan bereaksi. "Ini langkah konkretnya apa?" kata Nur Kholis ketika menuturkan kembali pertemuan itu, Rabu dua pekan lalu. Dalam rapat tersebut, Nur Kholis langsung menyatakan tak akan mendukung gagasan rekonsiliasi bila tidak didahului pengungkapan apa yang terjadi di balik berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat itu.
Menurut Nur Kholis, pengungkapan kebenaran tak hanya penting untuk mengungkap "dalang" peristiwa pelanggaran HAM. Pengungkapan kebenaran bahkan bisa merevisi sejarah Indonesia. Praktek yang lazim di sejumlah negara, pelanggaran HAM berat di masa lalu biasanya diselesaikan lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Bukan hanya Nur Kholis yang ragu akan efektivitas rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran. Di barisan ini, misalnya, ada Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar. Menurut Haris, proses rekonsiliasi yang terburu-buru berpotensi menutupi kebenaran di balik perkara HAM. Padahal rekonsiliasi tanpa pengungkapan fakta hanya akan memberikan impunitas (pembebasan atau pengecualian dari tuntutan hukum) bagi pelaku pelanggaran HAM.
Toh, Kejaksaan Agung terus mematangkan rencana pembentukan Komite Rekonsiliasi—tanpa kata "Kebenaran"—yang akan bertanggung jawab langsung kepada Presiden itu. Dalam rapat koordinasi terbatas tingkat menteri pada 2 Juli lalu, Jaksa Agung H. Muhammad Prasetyo memaparkan empat langkah menuju rekonsiliasi. Pertama, pemerintah/negara mengakui telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat. Lalu, pemerintah/negara akan meminta maaf kepada korban atau keluarganya. Kemudian, pemerintah/negara menjamin bahwa pelanggaran HAM berat tak akan terulang. Terakhir, pemerintah/negara memberikan kompensasi dan rehabilitasi terhadap korban atau keluarganya.
Dari paparan Prasetyo itu, memang tak tersurat tahapan untuk mengungkap kebenaran, sebelum pemerintah mengupayakan rekonsiliasi.
Gagasan rekonsiliasi kasus pelanggaran HAM bukan hal pertama di Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pasal 47 menyebutkan, pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang tersebut bisa diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Lalu DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun, pada 2011, Mahkamah Konstitusi membatalkan undang-undang tersebut. Alasan Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang KKR tidak menjamin adanya kepastian hukum dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada 2005, pemerintah Indonesia dan Timor Leste juga pernah membentuk Komite Kebenaran dan Persahabatan. Tugasnya antara lain menyelesaikan perkara pelanggaran HAM selama proses kemerdekaan Timor Leste pada 1999. Selain itu, pada 2011, Komnas HAM mengajukan rekonsiliasi sebagai solusi alternatif perkara HAM berat di masa lalu bila penyelesaian di jalur hukum tak kunjung terlaksana.
Di awal pemerintahan Joko Widodo, gagasan rekonsiliasi kembali berembus. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019 antara lain mencantumkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM dengan jalan "Konsensus Nasional". Pada saat yang sama, DPR memasukkan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ke Program Legislasi 2015.
Pembahasan rencana rekonsiliasi tak hanya berlangsung dalam rapat tertutup Kejaksaan Agung dengan Komnas HAM pada 20 April 2015. Selanjutnya, ada rapat terbatas setingkat menteri pada 21 April, 21 Mei, 11 Juni, dan 2 Juli lalu. Di samping Jaksa Agung, hadir dalam rangkaian rapat tersebut antara lain Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Menteri Hukum dan HAM; Kepala Kepolisian RI; Panglima Tentara Nasional Indonesia; dan Kepala Badan Intelijen Negara.
Berdasarkan salinan risalah rapat yang diperoleh Tempo, sampai pertemuan pada 21 April 2015, masih berlangsung perdebatan apakah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan diselesaikan secara yuridis (pengadilan HAM) atau nonyuridis (rekonsiliasi). Baru sejak pertemuan 21 Mei, sebagian besar peserta rapat mulai condong pada penanganan lewat jalur rekonsiliasi yang diusulkan Kejaksaan Agung.
Karena Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, sementara RUU KKR baru belum disahkan DPR, Kejaksaan Agung pun mengusulkan penerbitan Peraturan Presiden tentang Komite Rekonsiliasi. Pada rapat 2 Juli 2015, akhirnya disepakati rencana pembentukan komite gabungan beranggotakan 15 orang. Mereka mewakili korban, masyarakat, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, serta pensiunan TNI dan Polri.
Adapun kasus yang bakal ditangani Komite Rekonsiliasi adalah peristiwa 30 September 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari 1989, penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kasus Trisakti-Semanggi 1998, kerusuhan Mei 1998, dan peristiwa Wamena-Wasior 2003.
Menurut Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Tony Spontana, lembaganya gencar mendukung opsi rekonsiliasi dengan pertimbangan agar kasus HAM berat di masa lalu tidak terus membelenggu pemerintah saat ini. Di samping itu, menurut Tony, usul rekonsiliasi muncul karena Komnas HAM selama ini sulit memenuhi arahan Kejaksaan Agung untuk melengkapi berkas penyelidikan. "Agar berkas perkara tidak lagi bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejaksaan," katanya.
Wakil Ketua Komnas HAM Roichatul Aswidah membenarkan rencana pembentukan Komite Rekonsiliasi dipicu oleh perbedaan paham antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM, terutama soal syarat perkara pelanggaran HAM bisa naik dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan. Menurut Pasal 20 Undang-Undang Pengadilan HAM, Komnas HAM wajib menyerahkan hasil penyelidikan ke Kejaksaan Agung apabila menemukan bukti permulaan yang cukup telah terjadi pelanggaran HAM. Nah, selama ini ada perbedaan pemahaman yang tajam soal bukti permulaan tersebut.
Sebagai penyelidik, menurut Roichatul, Komnas HAM beranggapan cukup menyatakan telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM dan merekomendasikan saksi-saksi yang harus diperiksa Kejaksaan Agung. Sebaliknya, Kejaksaan Agung selalu meminta Komnas HAM menyetorkan nama-nama calon tersangka pelanggaran HAM. "Itulah yang membuat berkas bolak-balik," ujar Roichatul.
Ketika Kejaksaan Agung menggaungkan rencana rekonsiliasi, Komnas HAM tetap pada sikap awal bahwa rekonsiliasi harus melalui pengungkapan kebenaran. Kalaupun proses itu tidak sampai menyeret pelaku ke pengadilan, menurut Roichatul, paling tidak hasilnya bisa menjadi acuan untuk pencegahan pelanggaran HAM di masa yang akan datang.
Adapun Ketua Kontras Haris Azhar mengatakan rekonsiliasi tanpa proses pidana jelas keliru. Menurut dia, kasus pelanggaran HAM berat harus diselesaikan dulu secara pidana. "Aneh kalau ditemukan tindak pidana, lalu minta langsung rekonsiliasi," katanya. Haris pun mengingatkan, berdasarkan undang-undang, tugas utama Komnas HAM dan Kejaksaan Agung adalah mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM. "Bukan malah sibuk mengurus rekonsiliasi," ucapnya.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo tak mau menanggapi panjang-lebar komentar miring sejumlah pihak atas rencana rekonsiliasi. Dia menegaskan, Kejaksaan Agung memilih berfokus merealisasi rencana tersebut. "Apa salahnya rekonsiliasi? Kan, didukung undang-undang?" ujar Prasetyo.
Istman M.P., Tika Primandari, Linda Trianita
Sepuluh Masuk, Tujuh Tertahan
Sejak pengesahan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah menyelidiki sepuluh kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Tiga kasus sudah disidangkan. Tujuh kasus lain mentok di Kejaksaan Agung.
Yang Tertahan di Kejaksaan
1. Kasus Wamena-Wasior 2001-2003
2. Kasus Semanggi I-II dan Penembakan Mahasiswa Trisakti 1998-1999
3. Kasus Kerusuhan Mei 1998
4. Kasus Penghilangan Paksa 1997-1998
5. Kasus Talangsari 1989
6. Kasus Penembakan Misterius 1982-1985
7. Kasus Tragedi 1965-1966 (Gerakan 30 September)
Yang Masuk Pengadilan
1. Kasus Abepura 2000
2. Kasus Timor Timur 1999
3. Kasus Tanjung Priok 1984
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo