Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bupati Empat Lawang Budi Antoni Al Jufri tahun ini tak bisa melewati Idul Fitri dengan menggelar open house seperti kebanyakan pejabat lain. Soalnya, sejak 6 Juli lalu, Budi bersama istrinya, Suzana, terpaksa mendekam di ruang tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pada hari kerja pertama setelah libur Lebaran, Rabu pekan lalu, sang Bupati pun kembali menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. Berbaju batik dengan balutan rompi tahanan berwarna kuning, Budi sempat melemparkan senyum kepada wartawan ketika memasuki gedung KPK di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan.
Sejak 25 Juni lalu, penyidik KPK menetapkan Budi dan Suzana sebagai tersangka kasus suap terhadap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Di pengadilan, Akil terbukti menerima suap ketika menangani sejumlah sengketa pemilihan kepala daerah. Salah satunya sengketa pilkada di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan. Untuk memenangkan sengketa di Mahkamah Konstitusi, Budi diduga menyuap Akil Rp 10 miliar dan US$ 500 ribu.
Menurut juru bicara KPK, Priharsa Nugraha, hingga pekan lalu pemeriksaan atas Budi dan istrinya masih berlanjut. "Penyidik meminta konfirmasi dari berbagai keterangan saksi," kata Priharsa, Kamis pekan lalu.
KPK menjerat Budi dengan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan Pasal 54 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal tersebut mengatur perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud mempengaruhi putusan perkara. Ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 750 juta.
Budi dan Suzana juga disangka melanggar Pasal 22 dan 35 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Keduanya dianggap memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan kasus Akil. Dari pasal ini, ancaman hukumannya paling tinggi 12 tahun penjara dan denda Rp 600 juta.
Tiga pasangan calon bertarung dalam pemilihan Bupati Empat Lawang pada 6 Juni 2013. Mereka adalah pasangan Budi Antoni Al Jufri-Syahril Hanafiah, Joncik Muhammad-Ali Halimi, dan Syamsul Bahri-Ahmad Fahruruzam.
Berdasarkan hasil penghitungan suara, pada 12 Juni 2013, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Empat Lawang mengumumkan pasangan Joncik-Ali Halimi sebagai pemenang. Kala itu Joncik didukung Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan dan Persatuan Indenesia, serta Partai Bintang Reformasi. "Partai lainnya mendukung Budi Antoni dan Syahril," kata Joncik, Kamis pekan lalu.
Budi Antoni, yang menjadi Bupati Empat Lawang periode 2008-2013, tak menerima keputusan KPU. Dia dan pasangannya menggugat ke Mahkamah Konstitusi pada 17 Juni 2013.
Surat dakwaan atas Akil menyebutkan, sebelum mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, Budi menghubungi orang kepercayaan Akil, Muhtar Ependy. Muhtar lantas menyampaikan rencana gugatan Budi kepada Akil.
Dua hari kemudian, sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil menetapkan panel hakim sengketa pilkada Kabupaten Empat Lawang. Mereka adalah Akil sebagai ketua serta Maria Farida Indrati dan Anwar Usman sebagai anggota.
Setelah pengumuman susunan panel, pada akhir Juni 2013, Akil meminta Muhtar menghubungi Budi lagi agar menyiapkan sejumlah uang. Muhtar pun bertemu dengan Budi di Soto Senayan, Mall of Indonesia, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dalam pertemuan seminggu sebelum sidang perdana itu, Muhtar ditemani keponakannya, Miko Fanji Tirtayasa. Miko-lah yang kemudian menjadi saksi kunci pembongkar permainan Akil dalam kasus Budi.
Menurut Miko, dalam pertemuan pertama, dia hanya mengantarkan Muhtar tanpa masuk ke restoran. Seminggu kemudian, Muhtar dan Budi kembali bertemu di Restoran Pisang Ijo, Mall of Indonesia, Kelapa Gading. Dalam pertemuan pada malam Ramadan itu, Muhtar mengajak istri keduanya. Adapun Budi mengajak dua ajudannya.
Sembari makan malam, Miko menyimak percakapan antara Muhtar dan Budi. "Pak Budi minta tolong sama Pak Muhtar soal penghitungan suara. Beliau bilang dizalimi sehingga kalah," kata Miko dalam sidang pada Juni 2014.
Seusai pertemuan di Restoran Pisang Ijo, Muhtar meminta Miko mengantarkannya ke Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Barat di Mangga Dua City, Jakarta Utara. "Sudah hampir tengah malam," kata Miko.
Setiba di BPD Kalimantan Barat, menurut Miko, dia memarkir mobilnya. Adapun Muhtar masuk ke bank, kemudian keluar bersama seorang pria berpeci hitam. Muhtar meminta Miko memasukkan dua kardus besar berwarna cokelat dan satu tas belanja ke dalam mobil. Kepada Miko, Muhtar menyebut bungkusan itu sebagai paket ikan asin.
Dari Mangga Dua, Muhtar dan Miko lalu meluncur ke sebuah rumah di kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan. Belakangan, Miko tahu itu rumah dinas Akil Mochtar. Di sana Muhtar kembali memerintahkan Miko mengangkat paket "ikan asin" itu dan memasukkannya ke rumah Akil. Ketika membawa paket itu, Miko penasaran. "Kalau ikan asin, masak ambilnya dari bank?" Miko pun membuka kardus sebelum membawanya ke dalam rumah. "Isinya uang dalam pecahan ratusan ribu rupiah," ujar Miko.
Dalam persidangan kemudian terkuak bahwa paket "ikan asin" itu berasal dari Budi Antoni. Istri Budi, Suzana, yang menyiapkan uang Rp 10 miliar dan US$ 500 ribu. Uang itu lalu dititipkan kepada Iwan Sutaryadi, Wakil Kepala BPD Kalimantan Barat Cabang Jakarta.
Dalam kesaksiannya, Iwan menjelaskan bahwa Muhtar menghubunginya pada 8 Juli 2013. Muhtar mengatakan akan menitipkan uang sekitar Rp 10 miliar. Namun bukan Muhtar yang menyerahkan uang. Uang diserahkan seorang lelaki dan seorang perempuan yang sebelumnya tak pernah Iwan kenal. "Setelah itu ada penitipan kembali US$ 150 ribu dan US$ 300 ribu," kata Iwan dalam persidangan Akil.
Uang titipan Suzana inilah yang diangkut Muhtar ke rumah Akil. Tapi hanya Rp 5 miliar dan US$ 500 ribu yang diserahkan ke Akil. Muhtar meminta Iwan menyetorkan sisanya, Rp 5 miliar, ke rekening tabungan pribadi dia di BPD Kalimantan Barat.
Setelah Akil menerima uang, pada 31 Juli 2013, Mahkamah Konstitusi membatalkan hasil penghitungan suara KPU Kabupaten Empat Lawang. Mahkamah pun memenangkan pasangan Budi Antoni dan Syahril dengan perolehan suara 63.027 suara. Sedangkan pasangan Joncik Muhammad dan Ali Hakimi di posisi kedua dengan 62.051 suara.
Kepada Tempo, Miko menuturkan bahwa Muhtar berperan dalam pengubahan jumlah suara. Lewat perusahaan percetakan milik dia, PT Promic Internasional, di Cibinong, Bogor, Muhtar membuat dokumen C1 palsu yang menyerupai aslinya. Dokumen palsu itu kemudian dijadikan bukti dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (lihat "Paket Ikan 'Om Pancasila'", majalah Tempo, 13-20 Desember 2013).
Dalam persidangan Akil, Muhtar, Budi, dan Suzana membantah keterangan para saksi. Mereka pun mengaku tidak saling mengenal. Budi dan Suzana membantah memberikan uang. Sedangkan Muhtar mengaku menitipkan uang Rp 15 miliar kepada Iwan Sutaryadi sebagai hasil bisnis mobil, baju, dan atribut kampanye.
Muhtar juga mencabut berita acara pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menyatakan ia pernah menyerahkan uang Budi Rp 5 miliar kepada Akil di Widya Chandra. Meskipun tak mengakui perbuatannya, Muhtar divonis bersalah dan dihukum lima tahun penjara plus denda Rp 200 juta pada Maret 2015.
Setelah vonis bersalah Akil dikukuhkan Mahkamah Agung, Budi dan Suzana pun berubah sikap. "Selama pemeriksaan, mereka kooperatif," kata pelaksana tugas pemimpin KPK, Indrianto Seno Aji, Kamis pekan lalu. Kuasa hukum Budi dan Suzana, Sirra Payuna, menyatakan hal senada. "Klien kami memberikan keterangan apa adanya," ujar Sirra.
Yuliawati, Muhammad Rizki, Linda Trianita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo