KEJAKSAAN Agung, di luar dugaan, menghentikan penyidikan kasus pencurian benda purbakala yang melibatkan Prof. Donald Eugene Tyler. Alasan Jaksa Agung Singgih, seperti dikemukakan Rabu pekan lalu di DPR, "apa yang dilakukan Tyler berkaitan erat dengan persiapan penelitian dan semuanya atas pengetahuan pihak berwenang." Jadi, ia tidak dapat dikategorikan melanggar UU Benda Cagar Budaya dan Ordonansi Bea. "Penghentian penyidikan itu dapat dipertanggungjawabkan dan dasar hukumnya kuat," kata Singgih, seolah menepis kabar burung yang menyebut penghentian itu dipengaruhi pemerintah Amerika Serikat. Kendati masalah penghentian penyidikan merupakan wewenang sah kejaksaan, sejumlah anggota DPR menilai tindakan Singgih cukup berani dan melawan arus. Ini disebabkan apa yang dilakukan Tyler, ahli antropologi dari Universitas Idaho (Amerika Serikat) itu, selama ini mendapat sorotan tajam ilmuwan Indonesia dan pers. Dua tahun lalu, dalam situasi ketika pers banyak menyorot kasus pencurian listrik, pihak Kejaksaan Agung juga melakukan langkah yang sama: menghentikan penyidikan terhadap perusahaan tekstil Sandratex yang diduga mencuri listrik. Seperti saat penghentian penyidikan Sandratex, kini pun reaksi bermunculan. Seorang ahli hukum senior menilai Kejaksaan Agung telah melakukan tindakan penegakan hukum secara selektif. Tindakan tersebut dapat menurunkan wibawa hukum di mata masyarakat. Ahli hukum itu mengatakan, "Ironis, dulu kejaksaan menggebu ingin membe-rantas penyelundupan, setelah ada yang tertangkap kok malah dihentikan." Nama Tyler merebak di Indonesia pada Oktober lalu. Mulanya, pada sebuah jumpa pers, ia mengumumkan penemuan fosil tengkorak Pithecanthropus erectus di Sangiran, Jawa Tengah. Beberapa hari kemudian, ketahuan bahwa Tyler membeli fosil itu dari penduduk. Bukan hanya itu. Tyler, melalui seorang pemilik toko benda antik di Yogya, dituduh melakukan percobaan penyelundupan fosil lewat Bandara Adisucipto dan Kantor Pos Besar Yogya, antara lain berupa dua patahan gading gajah purba dan 87 fosil (TEMPO, 11 Desember 1993). Atas dasar itulah kemudian Tyler dicekal, tak boleh pulang. Tapi pada 20 November 1993, kejaksaan mencabut cekal tersebut dengan pertimbangan kemanusiaan. Dengan alasan ibu Tyler sedang sakit, Tyler diizinkan pulang ke AS tanpa jaminan. Pro dan kontra pun ramai. Saat itu mulai terdengar kabar pencabutan itu berkat campur tangan Kedubes AS di Jakarta. Tapi kabar itu dibantah keras pihak Kejaksaan Agung. Pada saat banyak yang berharap Tyler diadili, tiba-tiba Kejaksaan Agung malah mengumumkan penghentian penyidikan. Singgih menegaskan, Tyler tak terbukti terlibat usaha penyelundupan atau pencurian. "Tyler hanya bilang kirim barang itu ke sana. Ia tidak mengatakan 'selundupkan barang ini atau bungkus barang ini supaya tidak ketahuan'. Karena tak terlibat, buat apa dia kita tuntut?" katanya. Tyler sendiri, ketika dihubungi Bambang Harymurti dari TEMPO, menyatakan rasa gembiranya sehubungan dengan penghentian penyidikan tersebut. "Saya tahu persoalan ini pasti akan terselesaikan," katanya. Kabar gembira itu ia peroleh via telepon dari Kedutaan AS di Jakarta, beberapa jam setelah Singgih menyatakan itu di DPR. Tyler kini tampak lebih berhati-hati memberi komentar. Kasus ini sampai demikian ramai, menurut Tyler, karena salah paham saja, terutama karena soal bahasa -- sebelumnya ia menuduh ada kecemburuan profesional sebagai motivasi utama para penuduhnya. Rencananya, ia segera kontak lagi dengan para kenalannya di Indonesia untuk keperluan ilmiah. Gara-gara pernah dituduh berbuat kriminal, "maka semuanya harus dimulai dari awal lagi," kata Tyler.ARM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini