Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sandi yang Ditinggalkan

Lembaga Sandi Negara menjadi inisiator Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Awalnya justru menekankan keterbukaan.

7 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Habibie: Kalau bapaknya berapa jam?
Ghalib: Tiga jam lebih.
Habibie: Ya, udah cukup.
Ghalib: Iya, tapi kan kalau cuma dua jam juga nanti orang, wah, sandiwara apa lagi nih.

Inilah penggalan percakapan Presiden B.J. Habibie dan Jaksa Agung Andi M. Ghalib yang dilansir majalah Panji Masyarakat edisi 24 Februari 1999. Dalam rekaman itu Habibie menanyakan suasana dan perkembangan pemeriksaan terhadap penguasa Orde Baru Soeharto dalam kasus korupsi.

Meski Panji menuliskannya sebagai suara ”mirip” Habibie dan Ghalib, toh terbukti rekaman percakapan itu benar adanya. Pemeriksaan Soeharto, atas dasar percakapan itu, dianggap sekadar dagelan.

Bocornya percakapan rahasia inilah yang membuat Lembaga Sandi Negara turun tangan. Lembaga ini lantas menerapkan sistem persandian pada sarana komunikasi di sejumlah departemen dan instansi negara. Lembaga ini kemudian menggagas aturan tentang ”kerahasiaan negara”.

Menurut Deputi Bidang Pengkajian Persandian Lembaga Sandi Negara, Ruly Nursanto, gagasan untuk membuat payung hukum tentang pengaturan rahasia negara sudah tercetus sejak 1994. ”Muncul dalam rapat koordinasi bidang politik dan keamanan,” katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Kendati sudah disusun, belakangan rancangan ini tak terdengar lagi, seiring dengan datangnya gelombang reformasi pada 1998.

Pada Oktober 2000 nama RUU Kerahasiaan Negara muncul lagi dalam rapat dengar pendapat antara Komisi Pertahanan DPR dan Lembaga Sandi Negara. Lembaga Sandi kemudian menyurati DPR, meminta RUU itu dibahas. DPR menjawab. Menurut Undang-Undang No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, lembaga nondepartemen tak dapat mengajukan undang-undang. Akhirnya Lembaga Sandi menyerahkan rancangan undang-undang itu ke Departemen Pertahanan untuk dibahas bersama Departemen Komunikasi dan Informatika, Badan Intelijen Negara, dan Departemen Hukum.

Menurut Ketua Lembaga Sandi Negara periode 2002-2008, Mayor Jenderal (Purn.) Nachrowi Ramli, napas awal RUU Kerahasiaan Negara adalah keterbukaan. ”Sehingga masyarakat bisa membuka informasi dan tidak semua dibuat rahasia,” katanya.

Rancangan yang dibuat kala itu, kata Nachrowi, sedikit berbeda dengan RUU Rahasia Negara yang dibahas sekarang. Dalam RUU versi lembaganya ada pasal tentang teknis pengelolaan, pemeliharaan, dan pengamanan rahasia negara. ”Kami ingin orang yang menangani rahasia negara itu betul-betul orang yang secure (aman),” kata Nachrowi, yang kini menjabat Ketua Badan Musyawarah Betawi. Sehingga, ujarnya, tidak sembarang orang boleh menangani rahasia negara. Nachrowi memberi contoh, seorang panglima yang tidak punya pengetahuan dalam persandian tidak boleh menangani persandian dalam rahasia negara.

Hal senada dikatakan anggota Komisi Pertahanan DPR, Djoko Susilo. Menurut dia, awalnya RUU ini dibuat untuk melindungi tata kerja persandian, terutama bagi presiden, wakil presiden, dan menteri. ”Bagaimana kita melin dungi rahasia negara, apa alatnya, bagaimana caranya, siapa yang bertanggung jawab,” ujar politikus Partai Amanat Nasional ini. Dengan perubahan itu, menurut Djoko, sulit untuk mengembalikan rancangan yang tengah dibahas menjadi rancangan yang dahulu. ”DPR pasif karena ini undang-undang usulan pemerintah,” katanya.

Ruly Nursanto membantah adanya perbedaan antara RUU Kerahasiaan Negara dan RUU Rahasia Negara. ”Tidak ada yang melenceng,” katanya. Sejak awal tidak ada aturan teknis yang dimasukkan ke RUU yang tengah dibahas ini. Perihal pelaksanaan pengelolaan rahasia negara, ujarnya, kelak akan dijabarkan dalam peraturan pemerintah. ”Tak perlu diatur secara teknis dalam RUU Rahasia Negara.”

Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi Politik Agus Brotosusilo menegaskan bahwa RUU yang dibahas ini sebenarnya sama dengan keinginan Lembaga Sandi, ”Yaitu bagaimana melindungi rahasia negara.” RUU ini, ujarnya, mengatur pihak yang berwenang mengelola rahasia negara dengan standar prosedur tertentu. ”Jadi tidak bisa setiap pejabat bilang ini rahasia.”

Nachrowi sendiri berharap, jikapun soal teknis pelaksanaan persandian tadi dituangkan dalam peraturan pemerintah, aturan itu sejalan dengan RUU Rahasia Negara. ”Jangan hilang di tengah jalan karena bisa multitafsir,” katanya.

Rini Kustiani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus