Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=2 color=#CC0000>Rancangan Undang-Undang</font><br />Melibas Pasal Krusial

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi belum menyepakati komposisi hakim dan kedudukan pengadilan. Perlu lobi dengan pemerintah.

7 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA tepuk tangan terdengar membahana dari ruang pertemuan Jatayu, Hotel Sheraton, Cengkareng, Tangerang, Jumat pekan lalu. Beberapa saat kemudian pintu ruang pertemuan itu terbuka le bar. Sebelas anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) satu per satu keluar. Wajah mereka sumri ngah. ”Kami sudah menyelesaikan seluruh DIM (daftar inventarisasi masalah), tinggal pasal krusial,” tutur Arbab Paproeka, Ketua Panitia Kerja, kepada Tempo penuh semangat.

Rapat yang hanya dihadiri sebelas anggota Panitia Kerja dan perwakilan dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, serta Ikat an Hakim Indonesia ini juga sepakat menghapus pasal yang sebelumnya masuk kategori penting, yaitu pasal 7 soal penggabungan tuntutan ganti rugi dan pasal 28 mengenai pemeriksaan pendahuluan. Menurut Arbab, pasal 7 diha pus karena pengadilan korupsi meng upayakan pengembalian kerugian negara secara maksimal. ”Kalau ganti rugi kan nilainya bisa kecil,” ujarnya. Adapun alasan penghapusan pasal 28, kata Arbab, ”Supaya Jaksa tidak malas bekerja.

Yang dimaksud pasal krusial adalah soal komposisi hakim dan kedudukan Pengadilan Tipikor. Dua pekan lalu pembahasan draf undang-undang di The Aryaduta Hotel & Country Club, Karawaci, Tangerang, belum berhasil menuntaskan soal itu. Rapat lanjutan yang kembali digelar di hotel berbintang kemarin pun lagi-lagi tidak sukses menyepakati pasal itu. Akhirnya, Panitia Kerja memutuskan membawa dua pasal krusial itu ke forum lobi dengan pemerintah.

Menurut Arbab, ada satu pasal lagi yang akan ”dilobi”, yakni pasal mengenai lafal sumpah hakim Pengadilan Tipikor. ”Apakah kata Pancasila dipakai atau tidak dalam sumpah,” ujarnya. Dalam forum lobi yang akan digelar Senin pekan ini, Panitia Kerja mengundang perwakilan sepuluh fraksi di parlemen serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata.

Pembentukan Pengadilan Tipikor merupakan amanat putusan Mahkamah Konstitusi pada Desember 2006. Mahkamah meminta Dewan Perwakilan Rakyat menyelesaikan Undang-Undang Pengadilan Tipikor sebelum 19 Desember 2009. Adapun masa kerja DPR periode 2004-2009 ini akan berakhir 30 September mendatang. Artinya, Panitia Kerja dan Panitia Khusus RUU Pengadilan Tipikor tinggal punya waktu sedikitnya dua belas hari kerja lagi.

Sejak awal, antara pemerintah dan DPR berbeda pandangan soal komposisi hakim dan kedudukan pengadilan korupsi. Anggota Panitia Kerja, Ga yus Lumbuun, menyebut seluruh fraksi setuju komposisi hakim ad hoc lebih banyak daripada hakim karier. ”Inilah kekhususan Pengadilan Tipikor,” ujarnya. Tapi pemerintah tidak setuju dengan komposisi seperti itu. ”Pemerintah ingin tiga hakim karier dan dua hakim ad hoc,” ujar anggota dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perju ang an ini.

Tuntutan agar hakim adhoc mendominasi Pengadilan Tipikor didasarkan atas ketidakpercayaan masyarakat kepada hakim karier. Apalagi tersiar gunjingan hakim karier gampang ”dilobi” terdakwa. ”Tapi itu kan dulu,” ujar Andi Mattalata.

Kebutuhan jumlah hakim adhoc lebih banyak ketimbang hakim karier, menurut Andi, akan menimbulkan persoalan. Apalagi kalau disepakati Pengadilan Tipikor didirikan di 33 provinsi. ”Tidak gampang lo mencari hakim ad hoc,” kata Andi.

Ihwal kedudukan pengadilan, menurut Gayus, Panitia Kerja sudah menyepakati pengadilan korupsi didirikan di lima provinsi dulu, yakni Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Selatan. Ke depan, di seluruh pengadilan negeri ada Pengadilan Tipikor.

Masih soal kedudukan Pengadilan Tipikor, menurut Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md., Pengadilan Tipikor tidak bisa berada di bawah pengadilan negeri. Dikatakannya, peng adilan ini perlu kamar khusus di ling kup peradilan umum. ”Tapi bukan subordinat pengadilan negeri,” kata Mahfud. Arbab pun membantah anggapan seolah-seolah Panitia Kerja yang mendorong Pengadilan Korupsi subordinat Pengadilan Negeri. ”Bahasanya ’di dalam’, bukan ’di bawah’ PN,” tuturnya. Arbab berharap kelak di forum lobi semua pasal krusial akan menemukan titik temu.

Kelak, beres dari forum lobi itu, hasil RUU ini akan masuk tim perumus. ”Dua hari saya kira cukup untuk merumuskannya,” kata Bambang Soecipto Syukur, ketua tim perumus RUU Pengadilan Tipikor ini.

Anne L. Handayani, Agung Sedayu, Iqbal Muhtarom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus