Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sanksi Adat demi Tanah Ulayat

PT Anangga Pundinusa, anak perusahaan Barito Pacific Timber, divonis denda adat senilai Rp 1,3 miliar. Bagaimana dengan pengambilalihan tanah adat di provinsi yang lain?

22 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEAKAN siap berperang, sekitar 150 orang suku Dayak Bahau-Talivaq berkumpul di sepanjang base camp PT Anangga Pundinusa. Mereka tampak gagah, mengenakan topi berhiaskan bulu burung enggang, lengkap dengan mandau tersisip di pinggang. Selasa pekan lalu itu, para kepala keluarga suku Dayak siap menggelar peradilan adat untuk menyelesaikan sengketa tanah ulayat (hak-hak tanah masyarakat hukum adat) dengan PT Anangga. Sebelumnya, sudah 16 hari warga Desa Matalibaq, Kutai, Kalimantan Timur, itu menduduki base camp PT Anangga. Rupanya, kejengkelan mereka terhadap PT Anangga sudah memuncak. Perusahaan ini adalah perusahaan hutan tanaman industri (HTI), yang merupakan anak perusahaan PT Barito Pacific Timber, milik taipan Prajogo Pangestu. Sejak 1992, protes mereka terhadap perusahaan yang dianggap mengambil alih tanah ulayat seluas 14 ribu hektare itu tak kunjung berhasil. Gara-gara PT Anangga, menurut Ding Kueng, 49 tahun, kepala adat suku Dayak Bahau, mereka kehilangan makam leluhurnya, begitu pula tanaman obat-obatan dan hutan sumber makanan mereka yang sangat diperlukan ketika musim paceklik. Bahkan, akibat kebakaran hutan tahun 1997, berbagai tanaman, lumbung padi, dan rumah mereka habis dilalap si jago merah. Seorang warga wanita bernama Lahae Ajang juga meninggal terpanggang api. Setelah angin reformasi bertiup, pada Selasa itulah baru tuntutan mereka diadili secara adat. Persidangan dipimpin Yoventius Soim, Camat Longhubung. Para warga diwakili 10 orang, termasuk Ding Kueng serta dua prajuritnya, Benedictus Bith dan Martinus Bang. PT Anangga diwakili oleh direktur utamanya, Narmodo, dan Direktur Bidang Pengelolaan Sumber Daya Manusia PT Barito, Andito Bismo. Rombongan PT Anangga datang khusus dari Jakarta dengan menggunakan helikopter. Sekitar 70 orang aparat keamanan yang berpistol juga hadir. Demikian pula sebanyak 30 karyawan PT Anangga, yang berstatus transmigran. Sementara itu, beberapa warga Dayak Bahau meliput persidangan, dengan menggunakan tape recorder, kamera, dan handycam. Selaku penuntut, Ding Kueng, yang berpakaian kulit beruang hitam, meminta PT Anangga membayar ganti rugi sebesar Rp 5 miliar karena menguasai tanah ulayat mereka. PT Anangga juga dituntut ganti rugi senilai Rp 765 juta?masing-masing sebesar Rp 5 juta untuk satu kepala keluarga? akibat kebakaran hutan. Namun, menurut Narmodo, kebakaran hutan yang menghanguskan sepertiga areal PT Anangga terjadi lebih disebabkan oleh El Nino?gejala musim kemarau panjang. Adapun soal tanah ulayat, kata Narmodo dan Andito Bismo, PT Anangga tak pernah mengetahuinya. "Yang kami tahu, pemerintah menawarkan kepada kami untuk membuka HTI di lokasi itu, asalkan bekerja sama dengan perusahaan negara," ujar Andito. PT Anangga merupakan perusahaan patungan antara PT Tunggal Yudhi, anak perusahaan Barito, dan PT Inhutani I. Memang, kini PT Anangga bermaksud menghormati hak ulayat tersebut. Namun, sambung Narmodo, akibat krisis ekonomi plus tak beroperasinya perusahaan gara-gara dikuasai warga, pihaknya hanya sanggup membayar sebesar Rp 2,5 juta per satu kepala keluarga untuk kebakaran hutan. Sedangkan untuk pengakuan hak ulayat, perusahaan menawarkan ganti rugi sebesar Rp 200 juta. Lagi pula, pada Desember 1998, PT Anangga pernah memberi Rp 171,7 juta kepada para penuntut. Sekejap tawaran rendah itu ditanggapi dengan gemuruh cemooh para warga. Benedictus Bith, yang berpakaian kulit macan tutul, langsung menenangkan massa. "Ingat tuhing. Kita janji tak akan ada keributan. Temaian tingai akan marah," ucapnya dalam bahasa Indonesia. Tuhing adalah sumpah yang tak boleh diingkari, sedangkan temaian tingai adalah arwah para leluhur. Sejenak warga pun diam. Setelah diselingi makan siang dan jeda untuk memberi kesempatan berlobi bagi kedua pihak, akhirnya peradilan adat selama enam setengah jam itu selesai. Hasilnya, PT Anggana sepakat untuk membayar semacam ganti rugi sekitar Rp 1,3 miliar. Uang itu akan dibayarkan secara bertahap mulai tanggal 2 Maret nanti. Entah bagaimana kelanjutannya. Yang jelas, kasus semacam itu juga dialami berbagai masyarakat adat di pelosok Nusantara. Mereka acap tersingkir oleh proyek kehutanan, industrialisasi, dan kini kebakaran hutan plus krisis ekonomi. Adalah tepat sekali jika pemerintah, juga DPR yang membahas rancangan undang-undang pertambangan dan kehutanan, mencermati hal tersebut. Hp. S., Hardy R. Hermawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus