AKHIR-akhir ini masyarakat cenderung semakin keras menuntut agar berbagai kasus yang dulu bergelimang darah dan kekerasan kini dipaparkan secara lengkap. Sikap lugas yang tidak sedikit pun mengenal rasa takut itu agaknya merupakan bagian tak terpisahkan dari era reformasi. Beberapa peristiwa yang ditangani pihak militer dan diwarnai letusan peluru, seperti kasus Tanjungpriok (1984), kasus Talangsari di Lampung (1989), ataupun peristiwa 27 Juli 1996 di Jakarta, kini bukan hanya dibicarakan tapi juga dipersoalkan. Kebutuhan untuk berterus terang, khususnya pada kasus Lampung, di luar dugaan, menimbulkan akibat tak sedap bagi orang pers.
Tabloid ekonomi-politik Sumber, yang terbit di Bandarlampung, kini dituntut oleh bekas tahanan politik kasus Lampung. Tabloid pertama di Lampung yang beredar sejak 12 Desember 1998 itu dituntut agar memuat iklan pernyataan maaf sehalaman penuh, baik di media massa nasional maupun lokal. Sebabnya, tak lain, lantaran berita edisi pertama dan kedua Sumber tentang kasus Lampung dianggap sebagai fitnah keji oleh bekas tahanan tadi.
Seperti banyak diberitakan, kasus Lampung yang terjadi di Dukuh Cihideung, 7 Februari 1989, telah menewaskan 246 warga dukuh?sebagian di antaranya adalah wanita dan anak-anak. Komandan Korem Garuda Hitam, Kolonel A.M. Hendropriyono?kini Menteri Transmigrasi?langsung memimpin penyerbuan terhadap kelompok yang dipimpin oleh Warsidi itu. Belakangan, puluhan anggota jemaah Warsidi diadili dengan tuduhan antisubversi. Alasannya, mereka dianggap hendak mendirikan negara Islam.
Setelah Presiden Soeharto lengser, banyak tahanan kasus Lampung yang lantas dibebaskan. Mereka juga dikabarkan menganggap kasus Lampung sudah rampung, melalui islah (perdamaian) dengan pemerintah. Dalam pelaksanaan islah, Hendropriyono bertindak sebagai fasilitator. Menurut Sumber, melalui beritanya yang antara lain berjudul "Darah Ditukar Rupiah", pembebasan itu terkait dengan jaminan kesejahteraan yang bernilai miliaran rupiah dan diperuntukkan bagi keluarga korban serta narapidana.
Ternyata belasan tahanan kasus Lampung menilai berita tersebut sebagai fitnah alias tidak benar. Lagi pula, menurut seorang kuasa hukum mereka, Syahrial Alamsyah, kasus Lampung tak perlu diungkit-ungkit lantaran sudah terjadi islah. Berdasarkan itu, mereka menuntut?tak disebut sebagai tuntutan ataupun gugatan, tapi sekadar teguran?Sumber untuk memuat pernyataan maaf. Teguran itu berlaku selama delapan hari, terhitung sejak 4 Februari lalu. Bila Sumber tak menanggapi, mereka akan menggugat atau memidanakannya.
Sampai pekan lalu Sumber belum menanggapi tuntutan itu. Namun, Pemimpin Redaksi Sumber, Agus S. Soelaeman, setelah bertemu dengan mantan tahanan kasus Lampung, mengaku akan menempuh jalur damai. "Kami akan minta maaf. Bagaimanapun, sebagai manusia, kami tak lepas dari kesalahan," ucap Agus.
Sikap lunak yang diperlihatkan Sumber sangat disesalkan Fikri Yasin, koordinator Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam). "Seharusnya Sumber mempertahankan kebenaran beritanya sampai ke pengadilan," ujarnya.
Fikri kecewa. Soalnya, Smalam, yang menyelidiki kasus Lampung sejak Juni silam, adalah satu dari beberapa narasumber yang menyuplai informasi tentang kasus Lampung kepada Sumber. Termasuk pula informasi tentang usaha Hendropriyono melobi para pejabat tinggi di Jakarta, untuk membebaskan para tahanan kasus Lampung. Begitu juga dana kesejahteraan yang disediakan Hendro agar para tahanan dan keluarga korban "memaafkannya".
Bagi Smalam, kasus Lampung, yang nyata-nyata merupakan kasus pelanggaran hak asasi manusia, tak bisa dihapuskan begitu saja. Dengan kata lain, setiap butir peluru yang dulu menewaskan warga Dukuh Cihideung harus dipertanggungjawabkan. "Sekalipun mereka mengaku telah ikhlas melupakannya, konsep islah tak bisa diterapkan. Secara hukum, proses peradilan kasus itu harus diteruskan," Fikri menandaskan.
Sebaliknya, Syahrial Alamsyah menganggap prakarsa Hendro justru baik. "Itu menunjukkan bahwa Hendro merasa bertanggung jawab secara moral. Ekstremnya, ia berupaya menebus dosa masa lalu," kata Syahrial.
Sementara itu, Hendropriyono menanggapi berita Sumber dengan pasrah. "Ah, biar sajalah. Mau diapakan lagi," ujarnya. Yang jelas, Hendro membantah tudingan bahwa ia bermaksud membungkam tuntutan para korban kasus Lampung. "Selagi saya masih mampu dan bisa melakukan amal, saya akan berbuat baik untuk orang-orang yang miskin dan teraniaya," tambahnya.
Menurut Hendro, sewaktu menangani kasus Lampung dulu, ia hanya menjalankan tugas. "Waktu itu, kalau tidak ditembak, kami yang dibunuh mereka," tuturnya. Tapi, "Sudahlah. Peristiwa Lampung merupakan tragedi yang sama-sama tidak kita inginkan. Sekarang kita budayakan islah nasional," katanya, ringan.
Hp. S., Hendriko l. Wiremmer (Jakarta) dan Fadilasari (Bandarlampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini