PARA pelaku bisnis kini mesti ambil ancang-ancang untuk mengantisipasi arah sabetan senjata antimonopoli. Sebab, perilaku usaha mereka yang menguasai pangsa pasar lebih dari 50 persen bisa terkena ancaman denda maksimal Rp 100 miliar atau pidana pengganti berupa enam bulan kurungan. Begitu pula bila mereka melakukan integrasi vertikal (penguasaan rantai bisnis dari hulu hingga hilir) ataupun menguasai produksi dan distribusi ke pasar-pasar.
Pelaku bisnis yang pertama kali bakal terkena dampak aturan baru monopoli siapa lagi bila bukan PT Indofood Sukses Makmur, produsen mi instan Indomie, Supermi, dan Sarimi. Menurut Erwan Teguh Teh, analis untuk barang-barang konsumen dari SocGen, Indofood kini menguasai 94 persen pangsa pasar mi instan di Indonesia. Selain itu, bisnis Grup Salim itu juga bisa terkena larangan integrasi vertikal, lantaran punya hak memonopoli pemasokan gandum pada PT Bogasari plus penguasaan jaringan distribusinya.
Produk kasat mata lain yang juga bakal terkena adalah kertas dari Sinar Mas Grup milik Eka Tjipta Widjaja. Kendati tak diketahui persis besarnya pangsa pasar yang dikuasainya, kelompok usaha itu diketahui telah menguasai produksi kertas dari hulu hingga hilir, yakni dari bubur kertas, PT Indah Kiat, sampai produk kertas PT Tjiwi Kimia.
Masih banyak lagi jenis usaha barang dan jasa yang bisa terjaring ketentuan hukum. Misalnya saja jaringan Cineplex 21 milik pengusaha Sudwikatmono, yang punya hak monopoli untuk impor film-film asing, sekaligus distribusinya. Juga monopoli produsen bahan-bahan kimia seperti baku detergen oleh PT Unggul Indah milik Lim Sioe Liong. Lantas produsen olefin yang dikuasai oleh PT Tripolita milik Bambang Trihatmodjo dan PT Candra Asrinya Prajogo Pangestu.
Apa mau dikata, kebanyakan pelaku bisnis yang terbidik aturan baru itu memang para konglomerat yang dulunya tumbuh dan besar lantaran fasilitas dan kedekatan mereka dengan penguasa semasa presiden Soeharto. Tak heran bila ada anggapan bahwa ketentuan antimonopoli dilahirkan untuk "membersihkan" bisnis kroni (kalangan dekat) Soeharto.
Memang, menurut Markus Handowo Dipo, ekonom dari Universitas Indonesia, calon Undang-Undang Antimonopoli itu terhitung tak terlalu galak. Soalnya, para konglomerat yang bakal terkena masih diberi kesempatan untuk menyesuaikan perilaku bisnisnya selama enam bulan sejak berlakunya undang-undang tersebut. Oh, ya, undang-undang itu juga baru berlaku setahun setelah diundangkan.
Toh, persoalan penting dari warisan ekonomi selama Orde Baru tak bisa dipungkiri, yakni sistem ekonomi yang membuat pasar menjadi tidak sehat. Contohnya, bisnis mie instan Liem yang bisa membesar hingga menduduki peringkat pertama di dunia, tak bisa dilepaskan dari hak monopoli penggilingan dan distribusi terigu oleh PT Bogasari. Demikian pula dengan Cineplex 21. Hak monopolinya diberikan oleh pemerintah dengan alasan untuk memonitor film asing yang masuk ke Indonesia. Meski monopoli Bogasari dan Cineplex 21 sudah dicabut, tapi pasar sudah kadung sakit.
Yang jelas, dengan berlakunya Undang-Undang Antimonopoli boleh jadi bakal terjadi balapan antara kiat para pengusaha membenahi bisnisnya dan terbentuknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Dengan kalimat lain, siapa yang akan lebih dulu bertindak dan membaca secepatnya lubang-lubang pada ketentuan baru tersebut. Soalnya, "Undang-undang baru itu masih menyimpan beberapa hal yang bisa dimainkan," ucap Markus Dipo.
Sekadar contohnya, pengecualian bagi produk yang dianggap menguasai hajat hidup orang banyak. Jangan-jangan, monopoli mi instan tetap diperbolehkan karena orang Indonesia mengonsumsi delapan miliar bungkus mi instan dalam setahun.
Mudah-mudahan, pada masa yang dikatakan era berterus terang sekarang, koridor bagi penyidik swadaya masyarakat bisa semakin luas, sehingga tak semata-mata bergantung pada teropong Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Dengan demikian, persaingan bisnis yang fair dan pasar yang sehat bisa tercipta, sehingga konsumen bisa memperoleh harga dan biaya pelayanan yang wajar.
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini