Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sebuah Pintu Setan

Simposium perkosaan di FK UI menyimpulkan, kualitas perkosaan meningkat, menjurus ke unsur-unsur sadistis, seperti pemerkosaan terhadap mayat gadis 8 thn oleh sobet. Kasus serupa Sum Kuning makin banyak.

15 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA dua minggu lalu: mayat gadis berusia 8 tahun itu digagahi berkali- kali oleh Sobet, 20, yang masih tergolong pamannya. Sebelum perkosaan itu berlangsung, leher Boru Ginting itu disabet parang, hampir putus. Sesudah itu tubuhnya ditelanjangi, dicabik-cabik dengan arit, puting payudaranya dibeset, dan entah apa yang dilakukan Sobet, sampai kemaluan cewek yang malang itu terus-menerus mengeluarkan darah. Kasus yang terjadi di Kuala Lau Bicik, Kabupaten Deli Serdang, 25 km selatan Medan, akhir bulan lalu itu seperti sebuah peringatan: perkosaan tak akan pernah reda dan justru meningkat bobotnya. Maka, Simposium Perkosaan, yang berlangsung pekan lalu di FK UI, menjadi menarik. Moch. Hindarto, Kasubdit Reserse Umum Polri, misalnya, mengemukakan kasus perkosaan di Indonesia selama enam tahun terakhir. Dua ribu kasus, rata-rata terjadi setiap tahun. Bila dibandingkan dengan rata-rata seluruh kejahatan yang terjadi dalam satu tahun, "Kasus perkosaan sebesar 1% dari seluruh kejahatan setiap tahun." Angka ini masih mending bila dibandingkan Amerika Serikat yang 20%. Masalahnya kiranya tidak di persentase, tetapi lebih pada kualitas. Ambil, misalnya, kasus Sobet yang membunuh dahulu baru memperkosa itu. "Modus perkosaan di Indonesia sudah menjurus ke tingkat ekstrem," ujar Bismar Siregar, Hakim Agung yang juga pembicara pada simposium itu. Maksudnya, "Sudah ada unsur sadistis, tidak lagi menghargai harkat manusia," ujarnya. Berbagai kasus yang dipaparkan Hindarto, dan juga Bismar sendiri, memperkuat pendapat itu. Korban perkosaan biasanya wanita yang naif dan berbaik hati kepada calon pemerkosa, ujar Wahyadi Darmabrata, seorang psikiater. Maryanan, seorang murid SD di Jakarta Barat, suatu hari diajak berjalan-jalan oleh gurunya, Henalan Limbong, 23. Tentu saja gadis kecil itu mau. Dan Mar 'nurut saja ketika si guru memberinya pel untuk dimakan. Mungkin ia mengira kembang gula. Setelah beberapa saat, kepala Maryanan pusing. Pada waktu itu, April 1984, Henalan langsung memperkosa siswinya itu. Memang bukan hanya anak kecil saja yang menjadi korban perkosaan -- meski korban anak-anak kelihatannya makin banyak. Hety, 23, penumpang Colt, dilarikan awak angkutan kota itu pada suatu malam pertengahan 1984. Di sebuah tempat yang sepi, Hety diperkosa oleh tiga orang secara bergantian. Kasus ini mirip kisah Sum Kuning, penjual telur yang diperkosa oleh sejumlah anak muda di Yogya, 15 tahun silam. Dan nasib Hety ternyata tak seterkenal wanita penjual telur itu. "Kasus serupa Sum Kuning sekarang banyak terjadi. Toh, masyarakat tenang-tenang saja," ucap Hindarto. Ia langsung menyatakan bahwa nilai-nilai sosial seks di masyarakat sudah berubah. Perubahan itu mau tak mau akan terjadi. Peri laku seks impor sudah memasuki rumah-rumah di Indonesia. Pemutaran film biru, kini, sudah merupakan hal yang jamak. Dan banyak kalangan berpendapat, andil film porno itu sangat besar, terutama kepada remaja yang secara biologis dan psikologis belum siap dimintai pertanggungjawabannya. Persoalannya, bagaimana supaya keadaan tak cepat memburuk. Bismar berpendapat bahwa hukuman bagi pemerkosa perlu diperberat. Di Indonesia, "Perkosaan justru dianggap hanya suatu permainan," katanya. Undang-undang yang mengancam para pemerkosa tercantum dalam hukum pidana pasal 285 (KUHP). Hukuman maksimal yang bisa dijatuhkan hakim, 12 tahun penjara. Hukuman maksimal itu agaknya belum pernah dijatuhkan. Bismar sendiri -- ketika menjadi Hakim Tinggi di Medan -- hanya menjatuhkan hukuman penjara 3 tahun. Itu pun sudah lebih berat dari putusan pengadilan tingkat pertama yang cuma 7 bulan. Yang menarik dari keputusan Bismar itu: Pemerkosa seorang direktur SMP, yang menggagahi muridnya sendiri itu, dicabut haknya sebagai pegawai negeri. Bila Bismar berupaya di bidang yuridis, Hindarto melihat dari sudut yang lebih praktis. "Banyak wanita yang mengenakan gaun yang menonjolkan auratnya," kata perwira menengah polisi ini. Tentu saja gampang merangsang berahi lelaki. Ia kemudian memberi resep: "Sebaiknya wanita berkawan bila pergi malam hari, dan jangan berdandan mencolok." Soalnya, "Pemerkosa itu memang kurang mengetahui norma-norma," kata dr. Wahyudi, menambahkan. Psikiater FK UI itu menyatakan bahwa gairah seksual yang timbul bukan untuk mendapatkan kepuasan seksual saja. "Tetapi lebih didasari dorongan agresif dan kekuatan fisik," katanya. Bila data yang diberikan Hindarto benar, dalam kenyataannya lebih besar dark number, misalnya. Itu menggelisahkan. "Pintu setan sungguh beribu banyaknya. Sedang pintu malaikat hanya satu," kata Bismar. A. Luqman Laporan Happy (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus