Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ninja Patah Hati

Sunaryo, siswa SMA, penduduk Desa Duwet, Malang, menghajar siapa saja yang ditemuinya. Sepasang kakek-nenek tewas. Seorang luka parah. Gara-gara cintanya ditolak oleh Siti Handayani yang sudah punya suami.

15 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIANG itu gerimis turun di Desa Duwet, kira-kira 35 km sebelah timur laut V Kota Malang, Jawa Timur. Mbok Karsih, 61, sedang berdiri di pematang ladang ketika melihat Sunaryo, tetangganya yang tinggal tidak jauh dari kediamannya, berjalan tergesa-gesa menuju ke arahnya. Belum sempat nenek enam cucu itu menyapanya tiba-tiba siswa tingkat akhir SMA itu menubruknya. Keruan saja, wanita tua bertubuh kerempeng itu terjungkal. Entah setan mana yang merasuk di kepala Sunaryo, lelaki berusia 21 tahun itu kemudian menginjak-injak dada dan perut si nenek, lantas menghantam kepalanya bertubi-tubi. Puas 'ngerjain perempuan tua, pemuda bertubuh pendek dan berkulit bersih itu berlari-lari kecil menuju arah selatan ladang. Di situ ia berpapasan dengan Paiti, 30, yang akan mengirimkan nasi untuk suaminya yang sedang bekerja di ladang. Belum sempurna sapaan Paiti pada tetangganya itu, ia sudah keduluan. Dengan membabi buta Sunaryo menghajar Paiti. Kontan muka Paiti memar dan empat giginya rompal Pingsan. Sementara hujan terasa makin deras, akhir bulan lalu, Sunaryo berjalan menuju rumahnya. Tapi langkahnya terhenti ketika di sebuah sumur bor, ia jumpai Djai. Kepada lelaki sepuh itu, Sunaryo mengajaknya berteduh di sebuah bangunan, dan Djai pun mendekat. Saat itulah, bagai seorang ninja, Sunaryo menendang dan menghantam lelaki berusia setengah abad itu. Slamet, komandan hansip desa itu, yang dikabari penduduk, secepat kilat mencari Sunaryo. Ia mendapati pemuda berwatak pendiam itu sedang berada di kebun apel, di belakang rumahnya. Kedatangan Slamet segera disambut dengan jurus-jurus Sunaryo. Tapi Slamet, yang bertubuh lebih kekar, dengan mudah mematahkan serangan Sunaryo. Pemuda itu lantas dibawa ke rumah kepala desa, yang kemudian "mengirimnya" ke Polsek Tumpang. Ketiga korban segera dibawa ke Rumah Sakit Umum Saiful Anwar. Namun, malang, Mbok Karsih dan Djai meninggal begitu tiba di rumah sakit karena mengalami cedera berat. Sedang nyawa Paiti dapat diselamatkan, meski masih sering tak sadarkan diri. Apa kata Sunaryo sendiri? "Mata saya seperti gelap dan mau memukul orang yang ada di depan saya," katanya kepada M. Baharun dari TEMPO. Menurut Suwoto, Pamong Desa Duwet dan anak Mbok Karsih, itu semua gara-gara cinta Sunaryo ditolak Siti Handayani, kembang desa yang bertubuh ramping dan sintal. Pasalnya, wanita berkulit bersih, berwajah bundar, dan berambut panjang itu sudah menikah dengan Chitan Slamet, 22, dan sedang hamil lima bulan. Sunaryo, yang tak pernah mau menerima kenyataan itu, beberapa menit sebelum peristiwa itu, mendatangi rumah Chitan. Ia tak berhasil menjumpai pujaan hatinya itu, tapi kepada Ngatiah, ibu Chitan, ia sempat berujar, "Aku mau hidup sempurna dengan Siti." Setelah menanyakan di mana alamat rivalnya, Sunaryo segera pergi ke ladang, tempat Chitan dan ayahnya bekerja. Nah, dalam perjalanan itulah ia berjumpa orang-orang yang kemudian menjadi korbannya. Siti Handayani, 17, yang menjadi pangkal perkara itu, mengaku tak tahu-menahu dirinya dicintai Sunaryo. Mereka memang sudah kenal lama, tapi hanya terbatas pada tegur sapa bila bertemu di jalan. "Lha, kalau cinta, kenapa tidak melamar saja pada orangtua saya?" tutur Siti, yang mengaku hanya mencintai Chitan seorang. Markum, ayah Sunaryo, juga mengaku awam perihal cinta anaknya itu. Ia baru tahu ketika anak keenamnya itu seperti orang linglung sejak perkawinan Siti. "Karena itu, buru-buru saya tawari kawin. Semula ditolak, tapi setelah kakaknya membujuk, akhirnya ia setuju," ucap bapak sembilan anak itu. Namun, tiga gadis yang "disodorkan" tak ada yang berkenan di hati Sunaryo. Menurut salah seorang temannya, semua gadis itu tak ada artinya dibandingkan Siti Handayani. Ohoi. Edan. Erlina Agus Laporan M. Baharun (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus