INGAT beras, ingat Budiaji. Dan kini harus ditambah dengan: ingat H. Mahmud. Beras memang seperti tak henti-hentinya menjadi bahan pokok permainan. Mahmud, 48, hari-hari ini diadili di Pengadilan Negeri Pontianak dengan dakwaan menyelewengkan 6.300 ton lebih beras, senilai Rp 1,1 milyar lebih. Dan, seperti dalam kasus yang menyangkut Kepala Dolog di Kalimantan Timur, Budiaji, tahun 1977, senilai Rp 6,7 milyar, kali ini pun beberapa nama pejabat disebut-sebut ikut terlibat. Bedanya, pejabat yang kini disebut-sebut hanya pejabat tingkat Pemda Kalimantan Barat. Beda yang lain lagi, Mahmud bukan pegawai negeri, seperti "pendahulu"-nya. Mahmud adalah Direktur CV Nusa Putra yang ditunjuk sebagai stockhouder untuk mengurus, menyimpan, dan menyelenggarakan beras Pemda Kalimantan Barat. Semestinya, kata jaksa, ia hanya boleh mengeluarkan beras atas perintah tertulis berbentuk DO (delive order) dari Kepala Biro Perekonomian -- selaku Bendaharawan Beras -- atau orang yang ditunjuk. Kenyataannya, begitu jaksa menuduh, secara diam-diam terdakwa mengeluarkan 6.300 ton lebih beras. Beras yang dikeluarkan tanpa DO itu lantas dijual, antara lain, kepada Sugianto, Herry Susanto, Suhendar, Tjoa Su Weng, Ramang Salim, dan Chandra serta Jo Hua Hian. Uang hasil penjualan sebesar Rp 1,1 milyar lebih digunakannya untuk memperkaya diri. Antara lain, untuk membeli tanah dan rumah di beberapa tempat. Penyelewengan, ini masih kata jaksa, dilakukan secara berkesinambungan mulai tahun 1979 sampai 1983. Pada September 1979, rekanan yang ditunjuk sebagai stockhouder beras sebenarnya adalah PT Akcaya Dharma, perusahaan milik Pemda sendiri yang dikelola para pensiunan. Duduk sebagai dirut dalam perusahaan tersebut adalah A. Muis Amin, 65, bekas Wali Kota Pontianak. Dengan alasan bahwa PT Akcaya Dharma tak memiliki gudang dan fasilitas angkutan, penunjukan sebagai penyedia dan penyelenggara beras tak pernah terlaksana. Penjabat Kepala Biro Perekonomian waktu itu, Nyonya Ratna Sari, menyatakan bahwa pengelolaannya akan diserahkan kepada koperasi. "Nyatanya, yang ditunjuk sebagai pelaksana CV Nusa Putra," katanya. Setiap bulan, CV pimpinan Mahmud menyelenggarakan beras sebanyak 900 ton. Sekitar 700 ton dibagi-bagikan kepada pegawai, sehingga ada sisa 200 sampai 250 ton sebulan. Total, stok yang mestinya ada ialah 6.300 ton lebih. Nah, stok itulah yang diam-diam dilego oleh terdakwa. Semula, kabarnya, ada upaya agar masalah tersebut diselesaikan secara kekeluargaan. Artinya, kalau terdakwa mau mengembalikan semua yang sudah didapat, masalahnya boleh dianggap selesai. Rupanya, ada sementara pejabat teras Pemda yang tidak setuju. Ratna Sari, dalam kesaksiannya, mengaku terus terang bahwa setiap bulan ia menerima 2,6 ton beras dan uang Rp 200 ribu. Hanya saja, katanya, "Uang dan beras itu habis dibagi-bagikan kepada semua pejabat teras. Gubernur juga tiap bulan mendapat jatah sekarung...," katanya yang disambut tawa hadirin. Tapi, kata sumber TEMPO, yang dibagi-bagikan itu sebenarnya berasal dari refaksi -- perkiraan penyusutan -- yang dihitung 1% dari beras yang ada. Pejabat lain yang disebut oleh terdakwa pernah menerima hadiah ialah H. Tamar dan Supardal -- keduanya asisten Sekwilda. Tapi Tamar menyangkal seolah pernah diberi Rp 20 juta. Sedang Supardal mengaku pernah menerima Rp 7 juta. "Tapi bukan untuk pribadi, melainkan dibagi-bagi untuk para karyawan," katanya. Saksi Ratna, kabarnya, nanti akan dijadikan tertuduh, sedang dua sejawatnya yang lain belum jelas. Mahmud sendiri, anehnya, hidup jauh dari suasana gemerlapan. Ayah 8 anak itu tinggal di sebuah gang. Rumahnya, meski cukupan luas, terlihat sederhana saja. Sur Laporan Junaini K.S (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini