Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DERETAN minuman beralkohol dalam botol dan kaleng mengisi separuh lemari berpendingin di toko retail yang berada di area stasiun kereta api Sudirman, Jakarta. Mereknya beraneka ragam. Harganya pun bervariasi, dari "hanya" Rp 19 ribu hingga Rp 80 ribu. Minuman itu berdampingan dengan aneka macam minuman ringan. Siapa pun boleh beli. Tak ada secuil pengumuman yang, misalnya, menerangkan siapa yang boleh dan tak boleh membeli.
Mudahnya mendapatkan minuman beralkohol tak hanya terjadi di Ibu Kota, tapi juga di pelosok daerah. "Indonesia itu surga miras (minuman keras). Anak di bawah umur pun bisa mengkonsumsi," ujar Ketua Gerakan Nasional Anti-Miras, Fahira Idris. Berdiri setahun lalu, gerakan pimpinan putri mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris itu giat berkampanye-juga mendesak pemerintah-agar miras dibatasi dan diawasi peredarannya secara ketat. Miras, kata Fahira, menjadi pemicu tindakan kriminal di seluruh wilayah Indonesia.
"Impian" Fahira agar minuman beralkohol itu tak lagi seenaknya bisa dimunculkan di toko bisa jadi akan terwujud jika Dewan Perwakilan Rakyat merampungkan Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Minuman Beralkohol. Dalam pekan-pekan ini pembahasan RUU itu mulai dilakukan oleh para wakil rakyat, yang masa jabatannya akan habis pada akhir September nanti. Menurut Fahira, keberadaan undang-undang yang mengatur minuman beralkohol itu sangat dibutuhkan lantaran saat ini tak ada rujukan hukum setelah Mahkamah Agung pada Juni 2013 membatalkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengendalian Minuman Beralkohol.
Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Minuman Beralkohol disetujui untuk dibahas pada Selasa dua pekan lalu lewat rapat paripurna. Setelah diketuk dalam rapat paripurna tersebut, RUU kini sudah di tangan panitia khusus yang terdiri atas 27 orang. "Targetnya selesai tahun ini," kata Ahmad Dimyati, ketua panitia kerja RUU tersebut, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Rancangan ini diajukan pertama kali oleh Partai Persatuan Pembangunan pada akhir 2012. Setahun kemudian, rancangan itu masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2013 dengan nomor urut 63 dari 70 RUU. Menurut Dimyati, yang juga anggota Fraksi PPP, RUU ini penting setelah pencabutan Keppres Nomor 3 Tahun 1997. Hanya, pembahasannya ternyata tak mulus, molor, dan tak bisa diselesaikan pada 2013.
Menurut Dimyati, lamanya pembahasan RUU itu lantaran Dewan mesti ke sana-kemari mendengar dan mencari masukan dari berbagai kelompok masyarakat. Tidak hanya dari kelompok "anti-miras", tapi juga kalangan produsen minuman itu.
Soal judul juga terjadi perubahan. Awalnya dipakai kata "larangan"-sesuai dengan usul awal Partai Persatuan Pembangunan. Belakangan, diganti "pengendalian". "Lalu kembali lagi memakai kata 'larangan'," ujar Dimyati. Karena melibatkan banyak kepentingan, Dimyati menyebut pihaknya sangat berhati-hati membahas RUU itu. "Karena bisnis miras ini melibatkan peredaran uang sangat besar," katanya. Cukai minuman beralkohol tahun lalu memang menghasilkan pemasukan yang cukup besar bagi negara, yakni Rp 3 triliun.
Inti RUU yang berisi 22 pasal itu adalah melindungi masyarakat dari dampak negatif minuman beralkohol. Adapun definisi minuman beralkohol dalam draf RUU ini adalah minuman yang mengandung etanol atau C2H5OH yang diproses dari hasil pertanian. Klasifikasi minuman beralkohol yang dilarang adalah golongan A dengan kadar etanol (C2H5OH) 1-5 persen, golongan B dengan kadar 5-20 persen, serta golongan C dengan kadar 20 dan 55 persen.
Tak hanya menyasar produsen besar, RUU ini juga membidik produsen minuman beralkohol tradisional yang banyak diproduksi di mana-mana. "RUU ini juga melarang siapa pun memasukkan, menyimpan, mengedarkan, atau menjual minuman beralkohol tradisional atau minuman beralkohol hasil racikan," kata Dimyati.
Lalu bagaimana dengan sejumlah daerah yang sudah memiliki peraturan daerah tentang minuman keras? DPR sudah mempunyai pandangan tersendiri atas hal ini: peraturan daerah itu tetap berlaku. Hingga kini setidaknya ada 15 kabupaten/kota madya yang memiliki "perda miras", antara lain Manokwari dan Cirebon.
Undang-undang ini juga akan "mengakomodasi" kebiasaan lokal. Larangan minuman beralkohol, misalnya, tak berlaku untuk daerah yang memiliki keunikan lokal berkaitan dengan alkohol. Misalnya memiliki upacara adat yang tak bisa dipisahkan dengan alkohol atau masyarakat yang tinggal di sebuah tempat yang membutuhkan alkohol untuk menghangatkan diri. Aturan perihal pengecualian itu akan diatur dalam bentuk peraturan daerah sebagai turunan dari undang-undang tersebut.
Menurut anggota Dewan dari Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsudin, aturan ini pun akan memberikan "toleransi" untuk kepentingan pariwisata atau bisnis. "Minuman beralkohol bisa beredar di hotel atau bar, tapi akan diperketat peredarannya di masyarakat," kata Didi.
Adapun pengawasannya, kata Didi, akan melibatkan lembaga pengawas, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan, kepolisian, dan kejaksaan, atau bahkan tokoh masyarakat.
Tapi bukannya tak ada kritik atas RUU ini. Fahira menunjuk salah satu lubang dalam rancangan ini. "RUU ini sama sekali tidak mengatur ketentuan pengemudi yang berkendara dalam pengaruh miras," ujar Fahira. Padahal, kata Fira, dari data yang ada, korban akibat ulah pengemudi seperti ini sudah sangat banyak.
Yuliawati
Tentang Minuman itu…
Definisi minuman beralkohol: minuman yang mengandung etanol atau C2H5OH yang diproses dari hasil pertanian. Etanol hasil pertanian ini mengandung karbohidrat yang didapat dengan cara fermentasi dan destilasi, atau fermentasi tanpa destilasi. Baik dengan cara memberikan perlakuan lebih dulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan etanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung etanol.
Ancaman dalam RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo