Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggoro Widjojo terduduk lemas di tengah ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Wajah pemilik PT Masaro Radiokom itu, Rabu sore dua pekan lalu, tampak kisut dengan rambut yang kian memutih. Raut mukanya tak berubah ketika majelis hakim mengetuk palu setelah membacakan vonis lima tahun penjara plus denda Rp 250 juta. "Saya menerima," ujar Anggoro lirih ketika ketua majelis hakim Nani Indrawati menanyakan tanggapan dia.
Tak ada kata lain yang terucap dari mulut lelaki 61 tahun itu. Ketika keluar dari ruang sidang, meski diberondong pertanyaan wartawan, Anggoro diam seribu bahasa. Pengacara Anggoro, Thomson Situmeang, mengatakan kliennya memang sudah pasrah atas putusan hakim dalam kasus korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan itu. "Dia sudah lelah," ucap Thomson. "Dalam pleidoinya pun dia menyatakan tak akan banding, apa pun putusan hakim."
Sebelum bisa "diseret" ke meja hijau pada April lalu, selama enam tahun Anggoro sempat kabur ke beberapa negara. Terakhir dia tinggal di Shenzhen, sekitar 100 kilometer dari Kota Guangzhou, ibu kota Provinsi Guangdong, Cina. Anggoro tertangkap pada 29 Januari lalu di pintu perbatasan Shenzhen saat dalam perjalanan menuju Hong Kong.
Siang itu majelis hakim mengabulkan semua tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Hakim sepakat terhadap tuntutan jaksa bahwa Anggoro terbukti menyuap sejumlah anggota Komisi Kehutanan Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009 dan tiga pejabat Departemen Kehutanan.
Dalam putusannya, hakim menyebutkan duit suap Anggoro mengalir lewat Ketua Komisi Kehutanan DPR Yusuf Erwin Faisal. Lalu Yusuf Faisal membagikan uang kepada delapan anggota Komisi Kehutanan. Mereka adalah Fachri Andi Leluasa, yang menerima Sin$ 32 ribu; Azwar Chesputra (Sin$ 50 ribu); Hilman Indra (Sin$ 20 ribu); Sujud Sirajudin (Rp 20 juta); Suswono (Rp 50 juta); Mukhtarudin (Rp 50 juta); dan Nurhadi M. Musawir (Rp 5 juta).
Dari delapan orang itu, empat di antaranya sudah divonis bersalah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Yusuf Faisal, Azwar, Fachri, dan Hilman dijerat dalam kasus korupsi radio komunikasi dan suap alih fungsi lahan untuk Pelabuhan Tanjung Api-api, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Yusuf divonis empat tahun enam bulan penjara. Adapun tiga koleganya dihukum empat tahun kurungan. Sedangkan Sujud Sirajudin, Mukhtarudin, Nurhadi, dan Suswono terbebas dari hukuman setelah mengembalikan uang pemberian Anggoro kepada KPK.
Di jajaran pejabat Departemen Kehutanan, hakim menyatakan aliran dana Anggoro diterima Boen Mochtar Purnama dan Wandojo Siswanto. Boen, Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan periode 2005-2007, mendapat jatah US$ 20 ribu. Adapun Wandojo, Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan, kebagian Rp 20 juta plus US$ 10 ribu. Wandojo divonis bersalah dan dihukum tiga tahun penjara pada 2010.
Yang menjadi kejutan, hakim juga menyebut nama bekas Menteri Kehutanan periode 2004-2009, Malem Sambat Kaban, dalam putusannya. Kaban disebut turut menikmati fulus Anggoro sebanyak US$ 45 ribu, Rp 50 juta, plus Sin$ 40 ribu. Atas permintaan Kaban, menurut hakim, Anggoro juga menyumbangkan dua unit lift seharga US$ 58.581 berikut biaya pemasangan Rp 200 juta untuk gedung Menara Dewan Dakwah pada 28 Maret 2008.
Menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, vonis Anggoro bisa menjadi alat bukti bagi komisi antikorupsi untuk menjerat para pihak yang terlibat. "Vonis itu merupakan bukti otentik yang akan kami kembangkan," ujar Busyro. "Siapa pun yang perlu diperiksa, akan diproses."
Adapun Wakil Ketua KPK lainnya, Bambang Widjojanto, menyatakan akan melanjutkan penyidikan setelah vonis Anggoro berkekuatan hukum tetap (in kracht). Karena Anggoro tak mengajukan permohonan banding, tujuh hari setelah diketuk, putusan hakim pengadilan pertama itu otomatis berkekuatan hukum tetap. "Kami masih menunggu laporan jaksa," kata Bambang, Kamis pekan lalu, ketika didesak soal nasib Kaban selanjutnya.
Proyek pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan dimulai pada 1991, ketika pemerintah Indonesia mendapatkan kucuran hibah dari pemerintah Inggris. Semula pelaksana proyek yang digandeng pemerintah adalah Philips Radio Communication asal Belanda. Pada 1996, pembangunan sistem komunikasi terpadu itu dilanjutkan setelah ada hibah dari Amerika. Kali ini proyek digarap Motorola Inc asal Amerika. Motorola lalu menunjuk PT Masaro Radiokom sebagai agen tunggal pelaksana proyek di Indonesia.
Pada 2003-2004, proyek sempat dihentikan Menteri Kehutanan Mohammad Prakoso karena dinilai tak efektif dan ketinggalan zaman. Baru pada Agustus 2006, ketika Kaban menjadi Menteri Kehutanan, proyek ini kembali dihidupkan. Kala itu Kaban beralasan proyek ini masih dibutuhkan. Apalagi investasi di proyek ini sudah mencapai Rp 2 triliun. Namun, karena anggaran pemerintah cekak, proyek ini baru digolkan pada 2007.
Patgulipat di balik proyek ini tersingkap pertengahan 2008, setelah KPK menangkap Yusuf Erwin Faisal, Ketua Komisi IV DPR. Yusuf Faisal terbukti menerima suap, antara lain, dari Anggoro Widjojo dalam kasus alih fungsi lahan untuk Pelabuhan Tanjung Api-api, Musi Banyuasin. Ketika menggeledah kantor PT Masaro Radiokom, KPK menemukan bukti korupsi pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan. Anggoro pun dijadikan tersangka.
Penetapan Anggoro sebagai tersangka sempat membuat KPK mengalami gesekan tajam dengan Kepolisian RI, yang dikenal sebagai konflik "Cicak versus Buaya". Tak terima teleponnya disadap KPK, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri waktu itu, Susno Duadji, menemui Anggoro di Singapura pada 10 Juli 2008, sehari setelah KPK menyatakan Anggoro sebagai buron.
Seiring dengan manuver Susno, adik Anggoro, Anggodo Widjojo, dan Ary Muladi membuat pengakuan telah memberikan duit Rp 5,1 miliar kepada dua Wakil Ketua KPK waktu itu, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah. Mereka mengadu ke Badan Reserse Kriminal. Buntutnya, Bareskrim menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka dan menahan keduanya. Belakangan, rekayasa di balik kriminalisasi atas pimpinan KPK itu pun terbongkar. Anggodo divonis bersalah karena menghalangi penyidikan dan menyuap aparat.
DI persidangan Anggoro, alasan Kaban bahwa proyek sistem radio komunikasi masih dibutuhkan dimentahkan jaksa KPK. Menurut jaksa KPK, proyek itu "siuman" lagi karena lobi Anggoro dan kawan-kawan ke sejumlah pejabat Departemen Kehutanan. Anggoro, misalnya, pernah memerintahkan Direktur PT Masaro Radiokom Putranefo A. Prayugo melobi dua petinggi Departemen Kehutanan: Boen Mochtar Purnama dan Wandojo Siswanto.
Putranefo pun kemudian merancang pertemuan Anggoro dengan Kaban. Dalam pertemuan berkedok acara buka puasa bersama itu, menurut jaksa, Anggoro dan Kaban sepakat menghidupkan lagi proyek yang mati suri tersebut.
Di persidangan, Kaban dan Anggoro sama-sama membantah tudingan jaksa KPK. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang itu mengaku hanya sekali berkomunikasi dengan Anggoro. Namun, dalam pertemuan di rumah dinasnya di Jalan Denpasar itu, Kaban mengaku tak membicarakan proyek radio komunikasi. "Kalau soal proyek enggak usah menghadap saya. Bikin surat aja, masalahnya apa, akan saya tangani sebagaimana mestinya," kata Kaban di persidangan.
Pernyataan Kaban itu bertentangan dengan pengakuan dua bekas anak buahnya, Boen Mochtar dan Wandojo. Di persidangan, keduanya mengaku pernah menerima uang dari Anggoro melalui Putranefo. Ketika Boen mengaku melaporkan suap itu kepada Kaban, sang Menteri malah meminta Boen menerima uang itu. "Ya sudahlah, anggap saja itu rezeki," ucap Boen menirukan pernyataan Kaban ketika bersaksi di sidang Anggoro pada 14 Mei lalu.
Kesaksian sopir Anggoro, Isdriatmoko, juga memperjelas aliran dana kepada Kaban. Isdriatmoko mengaku pernah diperintah lima kali oleh bosnya mengantarkan "bingkisan" ke Kaban. "Saya selalu mengantarkannya malam hari ke rumah dinas menteri di Jalan Denpasar, Jakarta Selatan. Saya naik motor," ujar Isdriatmoko. Pada sidang 21 Mei lalu, Isdriatmoko juga mengaku pernah menyerahkan kardus Motorola biru muda kepada sopir Kaban, Muhammad Yusuf. Belakangan, dia mengetahui kardus berbungkus kertas koran itu berisi uang.
Pukulan paling telak buat Kaban adalah ketika jaksa memutar empat rekaman percakapan telepon dia dengan Anggoro. Dalam rekaman itu terdengar jelas ada permintaan uang. Satu rekaman pembicaraan antara Anggoro dan sopir Kaban, Muhammad Yusuf, juga diputar jaksa. Anggoro mengingatkan Yusuf agar segera memberikan "bingkisan" yang dia titipkan untuk Kaban. Percakapan itu terjadi pada Agustus 2007-Maret 2008.
Permintaan Kaban agar Anggoro memberikan dua lift untuk gedung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia juga terekam dalam pembicaraan antara Anggoro dan Wakil Ketua Dewan Dakwah Mujahin. Dalam rekaman itu, Anggoro mengatakan akan datang ke Menara Dakwah bersama tukang lift, tukang penyejuk udara, dan tukang genset. "Perintah Pak Kaban," ujar Anggoro dalam rekaman itu. Di persidangan, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Syuhada Bahri mengaku pernah meminta sumbangan Anggoro untuk membeli lift gedung. Namun, kata Syuhada, permintaan itu di luar pengetahuan Kaban.
Sewaktu bersaksi dalam sidang Anggoro pada 28 Mei lalu, Kaban membantah pernah meminta uang kepada Anggoro. Seperti halnya Anggoro, Kaban pun membantah rekaman yang diperdengarkan jaksa. Hanya, baik Kaban maupun Anggoro mengakui nomor telepon yang disadap KPK itu milik mereka. Belakangan, Anggoro mengatakan ada kemungkinan hubungan telepon itu memang pernah terjadi. Hanya, dia berdalih saat itu mungkin dalam keadaan mabuk. Soalnya, Anggoro mengaku kerap mabuk-mabukan di penthouse miliknya di Hotel Sultan. "Saya sudah mengaku dosa sama Tuhan, sama istri, dan sama anak saya. Jadi ini sekarang hukuman Tuhan terhadap saya," ujar pengusaha asal Surabaya ini.
Toh, bantahan kedua orang itu tak digubris hakim. Dalam pertimbangannya, hakim Nani cs justru berkeyakinan rekaman pembicaraan Kaban dan Anggoro benar adanya. Alasannya, nomor telepon yang dipakai Anggoro sama dengan yang dia pakai ketika mengontak Yusuf Erwin Faisal. Pada kesempatan lain, Anggoro pun membenarkan ada aliran dana untuk Yusuf Faisal. "Terdakwa memberikan keterangan yang tidak konsisten dan tidak didukung fakta," ucap hakim anggota Slamet Subagyo.
Bantahan Kaban dan Anggoro, menurut hakim, juga telah dimentahkan kesaksian ahli forensik suara, keterangan para saksi, dan alat bukti lain. Walhasil, hakim menilai bantahan Kaban dan Anggoro hanya upaya berkelit dari tanggung jawab. "Bantahan terdakwa dan saksi M.S. Kaban patut dikesampingkan," ujar hakim anggota Sinung.
Kaban bisa jadi tinggal menunggu waktu untuk "menghadap" KPK kembali. Berkali-kali dihubungi-untuk meminta konfirmasi perihal putusan hakim yang bisa menyeretnya menjadi tersangka-Kaban tak mengangkat telepon. Permintaan wawancara lewat pesan pendek pun tidak dia balas. Terakhir Tempo berhasil menghubungi Kaban pada 18 Juni lalu. Waktu itu Kaban pun menolak berkomentar atas dakwaan jaksa terhadap Anggoro yang menyebut-nyebut namanya. "Semua sudah saya jelaskan di persidangan," katanya saat itu.
Febriyan, Aisha Saidra, Ira Guslina Sufa
Dari Masaro ke Menteri Kaban
Rekaman percakapan antara Anggoro Widjojo dan Malem Sambat Kaban menjadi bukti kuat keterlibatan Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu. Berikut ini cuplikan pembicaraan itu. l FEBRIYAN
6 Agustus 2007
16 Agustus 2007
13 Februari 2008
Yusuf menjawab, "Siap... udah saya laporkan dan beliau sudah ambil."
25 Februari 2008
28 Maret 2008
Anggoro mendapatkan pesan pendek dari Kaban. "Apakah jam 19 dapat didrop 40 ribu Sin (dolar Singapura)?"
Penikmat Duit Masaro
Aliran dana proyek Sistem Radio Komunikasi Terpadu dari PT Masaro Radiokom mengalir ke berbagai pihak. Sejumlah nama terlibat. Ada yang sudah divonis bersalah, ada juga yang masih bersukacita.
Anggoro Widjojo
Putranefo A. Prayugo
Malem Sambat Kaban
Hilman Indra
Fachri Andi Leluasa
Azwar Chesputra
Yusuf Erwin Faisal
Wandojo Siswanto
TEMPO/Dasril Roszandi (anggoro, masaro), Dok. TEMPO/ Dwi Narwoko (putranefo), Dok. TEMPO/Seto Wardhana (wandojo), TEMPO/Eko Siswono Toyudo (yusuf, fachri, azwar, hilman), TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo (ms kaban)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo