MIKE Tyson, petinju yang dijuluki si leher badak itu, menyimpan kenangan masa kanak-kanak yang pahit. Berasal dari keluarga tak mampu di wilayah kumuh Bronx, New York, Tyson yang putus sekolah itu -- pernah berurusan dengan polisi dan bahkan sempat dijebloskan ke pusat rehabilitasi anak-anak nakal. Kehidupan masa kecilnya banyak diwarnai kekerasan. Jalan nasibnya mulai berubah, ketika Tyson jumpa dengan Cus D'Amato, seorang pelatih tinju. Di tangannya, Tyson, si anak jalanan itu, tahap demi tahap menapaki jenjang menuju singgasana juara dunia tinju profesional. Kini dia adalah petinju kelas berat yang tak terkalahkan. Kekayaannya melimpah-ruah. Sukses Tyson mungkin tak lepas dari masa kecil yang keras, yang membuat ia punya motivasi ekstrabesar ketimbang anak-anak sebayanya. Ia lebih ulet dan tahan menderita. Cerita-cerita mengenai anak jalanan memang erat berkaitan dengan soal kemiskinan dan perkotaan. Dan Jakarta, seperti juga kota metropolitan lainnya, tak luput dari masalah itu. Survei terhadap masalah sosial "anak jalanan" ini pernah dilakukan bersama oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial (Balitbang Depsos) dengan Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak jalanan yang berkeliaran di kawasan DKI Jakarta, tampaknya -- dalam skala yang berbeda -- akan meraih sukses juga, kendati belum tentu sesukses Tyson. "Anak jalanan yang menjadi pedagang asongan justru menjadi potensi buat pembangunan," demikian Kepala Balitbang Depsos, B. Parmanto, bicara dalam nada yakin. Dia tidak sedang bermimpi. Contoh nyata dari anak jalanan yang akhirnya sukses sebagai pedagang besar adalah Masagung, bos PT Gunung Agung. Pada usia 4 tahun, Masagung alias Tjio Wie Tay sudah ditinggal mati ayahnya. Ia sekolah hanya sampai kelas V SD. Untuk menopang ekonomi keluarga dan sekaligus mengisi waktu luang, Tay berjualan rokok di sekitar Glodok. Modalnya waktu itu hanya 50 sen. Tay kemudian hijrah ke Pasar Senen, dan dengan modal 75 sen, berkongsi dengan Lie Thay San. Mereka mendirikan kios semipermanen, berukuran 3 x 3 meter, yang kemudian diberi nama Thaysan Kongsie. Usahanya tak sia-sia. Pada tahun 1953, Tay sudah mampu mendirikan PT Gunung Agung di Jalan Kwitang 13, Jakarta Pusat, yang letaknya tak jauh dari emperan tempat ia sebelumnya meniti karier sebagai pedagang asongan. Usaha Masagung berkembang pesat, mencakup toko buku, penerbitan, alat perkantoran dan sekolah, mengageni berbagai produk unggul mulai dari pena Parker, rokok Dunhill dan Rothmans, majalah Time dan komputer Honeywell. Ia menjadi Direktur PT Jaya Bali Agung dan Direktur PT Jaya Mandarin Agung. Apa kiat suksesnya? "Kerja keras, berani, bercita-cita, percaya diri, dan menjaga nama," jawab Masagung tegas. Refleksi dari kata-kata itu juga terpancar dari hasil penelitian yang dilakukan Depsos dan UI sejak Mei 1989 hingga November 1989 lalu -- terhadap 240 "anak jalanan" yang berusia 5-18 tahun. Mereka -- 231 laki-laki dan 9 perempuan -- adalah pekerja keras yang dalam sehari mampu bekerja 7 jam sampai 12 jam. Kegiatan mereka terpusat di persimpangan jalan, pertokoan, terminal, halte, dan pusat rekreasi. Ada yang menjajakan rokok, permen, koran, dan majalah. Ada juga yang giat di bidang jasa seperti mendorong dan mengelap mobil, menyewakan payung, mengamen, menyemir sepatu, mengangkat barang, menyebar pamflet dan brosur iklan. Kelompok inilah yang paling mayoritas. Hanya sebagian kecil (11,7%) dari responden yang ada memilih kegiatan menjadi pemulung. Jangan kaget, di antara mereka ada juga yang menjadi pelacur. Rata-rata penghasilan mereka sekitar Rp 7.400 per hari. Jadi, jumlah uang yang beredar di antara 240 responden tadi bisa mencapai Rp 1,7 juta dalam seharinya. Di antara mereka, seperti kata peneliti UI Arbi Sanit, "Ada juga yang taat mengeluarkan zakat fitrah." Maklum, "anak jalanan" yang sebagian besar beragama Islam tadi juga rajin menjalankan salat dan puasa di sela-sela kesibukan mereka (75,8%). Sekalipun bersaing, ikatan kerja sama kelompok sangat erat menjiwai hidup mereka. Kendati "cuma" anak jalanan, mereka tak luput memupuk cita-cita. Paling banyak ingin bekerja di kantor pemerintah (22,9%), kemudian pedagang (16,7%), lalu karyawan sebuah perusahaan atau petani di desa (15%). Agak aneh, anak-anak yang sudah berwiraswasta ini masih terpola dalam impian lama: menjadi pegawai negeri. Mengapa mereka tak mau mengembangkan usaha? Alasan yang umum: kecilnya modal usaha, hingga sangat sulit bagi mereka untuk maju. Apalagi 139 anak dari responden yang ada praktis tak memiliki keterampilan yang berarti karena putus sekolah. "Mereka terpaksa meninggalkan sekolah karena biaya," kata Arbi, pakar pengamat sosial dari UI. Hanya 111 anak yang masih bersekolah formal. Dan tak semuanya berasal dari keluarga miskin. Ada juga kelompok "anak jalanan" yang datang dari keluarga yang relatif mampu. Problem yang mereka hadapi bukanlah karena orangtua tak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi, tapi karena tak ada penyaluran untuk kegiatan bermasyarakat. Lalu mereka "lari" ke pergaulan di jalan raya. Mereka ingin melupakan orangtua yang terus-menerus sibuk dengan urusan mereka sendiri. "Mereka menjadi anak jalanan karena membalas sikap orangtua yang tak acuh terhadap kegiatan dan perkembangan anaknya," kata Arbi lagi. Pada kelompok "anak jalanan" seperti ini gaya hidupnya konsumtif. Uang hasil perolehan mereka digunakan untuk foya-foya, menonton, minum bir, atau membeli rokok. "Jumlah anak jalanan bakal terus bertambah. Mungkin seratus tahun lagi tak akan selesai. Kita harus menghadapinya secara pragmatis," kata Arbi Sanit. Yang pasti adalah tidak bijaksana untuk menangani mereka secara "instant", baru digarap kalau lagi teringat. Ahmed K. Soeriawidjaja dan Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini