Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bahasa siswa kita

Dari lomba karya tulis yang diadakan oleh multipolar dan majalah tempo, diperoleh gambaran mutu siswa-siswi berbahasa indonesia. naskah siswa-siswi sd, smtp, smta, itu datang dari semua provinsi.

9 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGAIMANAKAH mutu siswa-siswi kita berbahasa Indonesia? Kita dapat memperoleh gambaran tentang itu dari Lomba Karya Tulis yang diadakan oleh Multipolar yang bekerja sama dengan Majalah TEMPO November silam. Naskah siswa-siswi SD, SMTP, dan SMTA itu datang dari semua provinsi di Indonesia, bahkan ada peserta dari Amerika Serikat dan Arab Saudi. Setelah membaca 1.100 naskah lebih, saya mendapat gambaran yang layak kita telaah. Sejumlah tulisan mutunya baik atau cukup baik, tetapi sebagian besar bahasanya masih memprihatinkan. Secara umum tampak para siswa gagal dalam menyusun kalimat yang benar, memilih kata yang tepat, membuat istilah yang mengena, dan menggunakan ejaan yang pas. Ada kecenderungan, misalnya, untuk membuat kalimat rancu. Misalnya: "Penulis berharap semoga dengan karya tulis ini dapat mendobrak kesan guru yang tidak benar dan sangat menyakitkan itu." Gejala sejenis kita lihat dalam kalimat: "Diharapkan dari hasil penulisan ini dapat berguna bagi semua pihak yang berkepentingan, karena dengan adanya paper ini dapat menciptakan proses belajar mengajar menjadi lancar." Sejumlah siswa tergelincir ketika membuat kalimat panjang, sehingga tidak ada keserasian antara bagian-bagian kalimat. "Sebagai seorang anak, dan sekaligus murid di sekolah, rasanya guru seperti di ciptakan sebagai.... Siswa sekarang juga terpengaruh orangtuanya yang membuat kalimat dengan kata di mana, bahkan ejaannya dimana. Misalnya: "Banyak pendapat atau pandangan yang dapat diambil dari topik di atas. Dimana pandangan atau pendapat setiap murid terhadap gurunya adalah sangat berbeda-beda." Para siswa sering gagal pula memilih kata akibat salah kaprah. Contoh: "Sekali-kali bila guru berbicara hendaklah didengarkan agar guru yang mengajak bicara tidak merasa diacuhkan." Maksudnya, "sekali-sekali". Pemakaian diacuhkan dengan maksud diabaikan atau tidak diacuhkan begitu meluas dan meyakinkan kita, salah kaprah itu sudah mengakar di masyarakat. Banyak siswa yang tidak berhasil membuat istilah yang tepat. Saya agak kaget ketika melihat ejaan kata-kata serapan dari bahasa asing. Coba kita lihat rangkaian kata ini: physikologis, frofesi, paforit, oftimal, sufra modern, introfeksi, teks book, matrealis, memotipasi, Nofember. Bukan hanya terhadap kata serapan, siswa juga salah mengeja kata-kata yang sudah populer di dalam bahasa Indonesia. Misalnya: di siplin, rapih, memperkosah, gajih, istimewah, sehinggah, brani. Ada kesan siswa kurang mengetahui pembentukan kata sehingga, walaupun kita mempunyai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, banyak siswa yang menulis pendidikkan. Terlihat ejaan kesibukkan, keenakkan mendudukki, dimasukan, mengasikan untuk kesibukan, keenakan, menduduki, dimasukkan, mengasyikkan. Sejumlah siswa menulis bulanya, kesehatanya, ditunaikanya ketika bermaksud menulis bulannya, kesehatannya, ditunaikannya. Bahwa siswa kurang tahu asal-usul kata dan pembentukannya terlihat dari banyaknya penulis yang mengeja mencontek untuk mengacu ke menyontek (dari kata sontek). Sebaliknya, untuk mencatat, banyak yang mengeja menyatat atau nyatat saja. Di tengah-tengah gaya penulisan yang resmi, sejumlah siswa menulis sekolahan untuk menunjuk ragam resmi sekolah. Ini menggembirakan orang Jawa -- biasanya yang menggunakan sekolahan adalah mereka -- karena penulis tidak hanya dari Jawa Tengah dan Timur melainkan juga dari luar Jawa, misalnya Sumatera Selatan. Di Depok, Jawa Barat, sekarang banyak rambu bertuliskan Sekolahan seperti di Jawa Tengah. Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang tidak lagi memasang tanda salib, juga memasukkan kata ini dalam entrinya. Warna remaja juga tampak dalam ungkapan siswa. Banyak ditemukan kata nggak dan cuek (acuh tak acuh). Peserta dari Jambi memulai tulisannya dengan Hallo, sobat-sobit dan menutupnya dengan cheeriooo. Tentang lomba yang langka ini ada yang membuat celetukan langka tapi nyata, ni yee!! Celetukan lain G.R. nih yee!. Untuk kan pengganti bukan, sering terdapat khan. Yang memprihatinkan ialah begitu banyaknya kesalahan elementer dalam menulis verba dan preposisi. Sengaja saya kutip di ciptakan sesuai dengan aslinya karena hal semacam itu merata. Sering terdapat di sukai, di benci, di nilai ketika yang dimaksud disukai, dibenci, dinilai. Sebaliknya, banyak ejaan disamping, padahal seharusnya di samping. Lebih dari 700 siswa dalam kata pengantarnya memanjatkan doa dengan menulis kehadirat Tuhan dan sedikit saja yang menulis ke hadirat. Banyak siswa yang salah memilih huruf kapital untuk nama diri. Tidak sedikit yang menulis Pancasila dengan pancasila. Sapaan pak dan bu yang diikuti nama masih ditulis dengan huruf kecil. Misalnya Pak Husni ditulis pak Husni. Penulisnya bukan hanya siswa SD, melainkan juga SMTP dan SMTA. Gejala umum yang lain dalam hal ejaan adalah banyak yang tidak tahu bahwa setelah titik atau koma harus ada spasi sebelum angka atau kata berikut. Lalu akan kita apakan fakta itu? Pelajaran mengarang tampaknya perlu lebih digalakkan. Sudah menggembirakan bahwa banyak guru bahasa Indonesia yang membimbing para peserta lomba. Ada sekolah yang mengharuskan siswanya mulai SD kelas 3 meringkas cerita. Tapi banyak sekolah hanya menyuruh siswa mengarang, dan guru tidak membahas hasil karya siswa sehingga siswa tidak tahu kekurangannya. Lomba semacam Multipolar-TEMPO dapat dijadikan sarana introspeksi. Di tingkat lebih kecil, dapat diadakan kegiatan tulis-menulis, lalu guru memilih karya yang baik sebagai contoh, dan membahas karya yang mengandung banyak kesalahan agar siswa dapat menghindarinya. Ini kegiatan yang nyinyir, tapi perlu. Kalau melihat keadaan seperti itu, baik dianjurkan agar siswa memiliki Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang di dalamnya sekaligus terdapat Pedoman Ejaan Bahasa lndonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Memang kamus itu bagi kebanyakan siswa masih terlalu mahal, sehingga dapat dipilih saran kedua yakni membeli kedua buku yang disebut belakangan itu secara terpisah. Tanpa lebih sering mengasah keterampilan menulis (dengan kerap berlatih disertai pedoman yang memadai) tingkat kemampuan siswa kita berbahasa Indonesia akan tetap rendah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus