Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Setelah

PN Jakarta Pusat memvonis Jusup Handoyo Ongkowidjaja, ketua umum YKAM, divonis 15 tahun penjara karena terbukti korupsi. Tapi hakim tidak membuktikan berapa kerugian yang diderita negara.

31 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUSUP Handoyo Ongkowidjaja, 47 tahun, semula dianggap sebagai "sinterklas". Bukan karena janggut, rambut, dan jambangnya yang memutih maka ia disebut demikian. Ongko, panggilan bekennya, selaku ketua umum Yayasan Keluarga Adil Makmur (YKAM), dikenal karena usahanya membagi-bagi "bingkisan". Isinya, kredit bersyarat sangat ringan sebesar Rp 5 juta lewat kegiatan tabung-pinjam. Namun di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Sabtu pekan lalu, Ongko tidak lagi menjadi "Sinterklas". Bekas pendeta asal Medan itu dihukum. Kesalahan yang ditimpakan tidak tanggung-tanggung, yakni melanggar undang-undang antikorupsi. "Ia terbukti melakukan korupsi yaitu menjalankan usaha perbankan tanpa izin Menteri Keuangan, sehingga dapat merugikan perekonomian negara," kata A. Hutauruk, ketua majelis hakim yang menyidangkannya. Tokoh yang menjanjikan keuntungan besar bagi anggotanya itu juga terbukti memalsukan keterangan dalam akta pendirian YKAM, menggunakan meterai palsu, dan menipu diganjar hukuman 15 tahun penjara. Padahal, sebelumnya jaksa T. Simanjuntak menuntut hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp 30 juta. Kasus yang sempat menggemparkan ribuan anggota itu bermula dari usaha unik Ongko lewat YKAM pada Juni 1987. Ketika itu ia menyelenggarakan usaha "tabung-pinjam gotong royong". YKAM menawarkan pinjaman memikat sebesar Rp 5 juta kepada para anggota. Syaratnya: paket kredit itu bisa dinikmati setelah si anggota menyetor tabungan Rp 30 ribu sebulan sebanyak tujuh kali dan uang pendaftaran Rp 50 ribu. Ribuan orang pun terpikat dan berduyun-duyun mendaftar. Sesekali Ongko muncul di antara mereka dan berpidato. Ia memperkenalkan diri sebagai "penyelamat dan penolong rakyat kecil" atau pedagang ekonomi lemah. Sampai Februari silam, angota YKAM sudah mencapai 44.770 orang lebih. Paket tabung-pinjam yang terdaftar sebanyak 70 ribu buah, tersebar di Jakarta (paling banyak) dan 27 kota lainnya. Dari 70 ribu paket kredit itu Ongko, menurut pemeriksaan di pengadilan, berhasil menghimpun dana sekitar Rp 18 milyar. Tapi yang sempat menikmati paket "rezeki nomplok" Ongko baru 2.337 orang. Paket yang sudah dibagi-bagikan sebesar Rp 12 milyar. Belum sempat "hadiah" itu dibagi rata, "Sinterklas" Ongko tersandung. Ketika itu Ongko mengalami kesulitan mencairkan paket kredit untuk anggota yang sudah jatuh tempo. Rencana pencairan sekitar 291 paket kredit -- sebesar Rp 1 milyar lebih, yang jatuh tempo pada 18 Februari 1988 -- gagal. Sebab, waktu itu, uang di kas YKAM cuma Rp 30-an juta. Menjelang hari krisis itu, ratusan anggota berdesak-desakan mendatangi markas YKAM, dan menuntut Ongko segera membagikan paket pinjaman. Karena desakan itu, Ongko pun lantas menyerahkan diri ke polisi. Di persidangan Ongko -- orang swasta yang buka usaha tabung-pinjam -- diperiksa karena tuduhan pelanggaran undang-undang antikorupsi. Menurut hakim, Ongko terbukti korupsi Rp 6 milyar, sisa dana anggota YKAM. Dari dana tersebut, sekitar Rp 2 milyar -- menurut pemeriksaan dipergunakan Ongko untuk keperluan pribadi. Sebagian diberikan kepada Endang Wahyuni, istrinya. Ada lagi yang dipakai untuk membeli rumah untuk putrinya, Ribkah Handayani. Hanya sebagian kecil dipergunakan untuk biaya operasional kantor pusat dan cabang-cabang. Sisanya, sekitar Rp 4 milyar, dipakai Ongko untuk biaya "khusus" dan dibagi-bagikan kepada beberapa orang. Yang menarik dari putusan itu: majelis hakim memperluas penafsiran korupsi dengan menganggap Ongko melanggar undang-undang perbankan tahun 1967. "Menurut undang-undang antikorupsi, perbuatan Ongko yang dapat diduga merugikan perekonomian negara, sudah bisa dianggap korupsi. Tak perlu lagi dibuktikan berapa besar kerugian perekonomian negara," ujar Hakim Hutauruk. Dalam putusannya, majelis hakim juga menetapkan untuk mengembalikan barang bukti berupa harta kekayaan milik Ongko dan YKAM yang disita. "Nantinya YKAM harus mengembahkan uang para anggotanya," kata Hutauruk. Caranya? "Karena masalahnya sudah menyangkut kepentingan umum, para anggota bisa menguasakannya kepada Jaksa untuk mengupayakan penetapan YKAM telah pailit," sambung Hutauruk. Lewat proses pailit itu, pembagian uang dari hasil penjualan barang bukti bisa dilakukan. Begitu juga penagihan kepada anggota yang sudah menerima paket kredit, tapi belum mencicil pinjamannya. Soalnya, barang bukti yang disita itu diduga hanya mencapai nilai Rp 1 milyar. Terdiri dari uang kontan Rp 160 juta, 15 mobil, rumah, kantor, dan tanah. Dalam putusan itu, majelis hakim sama sekali tak menyinggung peranan para pendiri dan pengurus YKAM lainnya. Agaknya, Ongko dianggap melakukan perbuatan itu seorang diri. "Majelis memang tak mengembangkan perkara sampai sejauh itu. Sebab jaksa juga tak menyebutkan terdakwa lainnya," kata Hutauruk. Sedang Jaksa T. Simanjuntak, yang tampak gembira menyambut putusan itu, juga tak merasa harus menjerat terdakwa lainnya. "Saya hanya menerima berkas perkara Ongko saja," ucapnya. Ongko, yang hadir di persidangan dengan pakaian serba putih, langsung menyatakan banding. "Pernahkah terjadi orang divonis korupsi, padahal tak ada yang dikorupsinya? Tuhan menyaksikan persidangan ini," ujar pimpinan YKAM itu, yang mengaku sudah "tongpes" berat. Untuk membayar jasa pengacara pun kini ia sudah tak mampu. Ongko kecewa dengan cara majelis membuktikan. "Majelis percaya saja pada angka-angka yang diberikan jaksa," kata pria yang cuma sempat sekolah sampai kelas II SLTP itu. Tapi Ongko -- yang setelah vonis langsung mencukur janggut, cambang, dan rambutnya yang memutih di Rutan Salemba -- merasa sedikit puas. YKAM diaggap sah oleh majelis hakim dan hingga kini belum bubar. Tim pengacara, Kho Gin Tjan dan Hanan Setyadi, menilai undang-undang antikorupsi tak bisa begitu saja diterapkan dalam kasus Ongko. "Kalau usaha Ongko dianggap korupsi, batasan korupsi bisa kacau jadinya," ujar Kho Gin Tjan. Selain itu, katanya, kerugian perekonomian negara juga harus dibuktikan. Bukan cuma diduga-duga saja. Sementara itu, sebagian besar anggota YKAM -- yang kerap kali mengelu-elukan Ongko pada awal-awal persidangan -- kini hanya punya satu harapan: kapan uang mereka bisa kembali. "Biar Ongko dihukum mati pun, saya tak peduli. Yang penting, bagaimana agar uang saya bisa kembali," kata seorang anggota dan juga ribuan lainnya. Happy S., Muchsin Lubis, dan Liston P. Siregar (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus