Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Nasib Si Bongkok di Rutan Salemba

Sutarbun, terdakwa yang ditahan melebihi ketentuan kuhap. Gara-gara KUHAP tak tegas mengatur soal penahanan dalam keputusan sela. Sutarbun didakwa dalam kasus perampokan & pembunuhan sopir taksi gelap, Juhdi.

31 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAK-hak tersangka yang dijamin KUHAP ternyata belum sepenuhnya di taati penegak hukum. Masih saja ada terdakwa yang ditahan, tanpa batas waktu yang pasti. Contohnya: Sutarbun, 28 tahun, terdakwa dalam kasus perampokan dan pembunuhan sopir taksi gelap, Juhdi, Juni 1987. Sutarbun alias Bongkok, yang ditahan sejak 7 September 1987, sekalipun sudah disekap lebih dari batas maksimum penahanan yang dimungkinkan KUHAP, yakni 460 hari, toh sampai pekan lalu masih mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta. Sementara itu, tuduhan yang didakwakan terhadap dirinya masih belum diperiksa, karena Pengadilan Negeri Jakarta Barat, yang ditugasi mengadili, masih menguji formalitas perkara tersebut. Ceritanya, Sutarbun, yang sehari-hari menarik bajaj di daerah Sunter, Jakarta Utara, dituduh Jaksa Albert Nadeak merampok dan membunuh Juhdi. Dalam melakukan perbuatan itu, kata Nadeak, Sutarbun bekerja sama dengan tiga orang temannya, Hartono, Rudy Mbooh, dan Kusnadi. Starbun, yang diadili secara terpisah dengan Hartono dan Rudy, menurut dakwaan Nadeak, menghabisi nyawa Juhdi dalam perjalanan antara Indramayu dan Cirebon. Sementara itu, Kusnadi belum diajukan, karena masih buron. Tapi, di persidangan, dakwaan Nadeak patah di tangan tiga majelis hakim yang berbeda. Pada persidangan perkara Sutarbun, 2 April 1988, majelis hakim yang diketuai Abdurrachman memutuskan, Pengadilan Negeri Jakarta Barat tidak berwenang mengadili perkara itu. Karena sebagian besar saksi (enam dari 13 saksi) tinggal di Jakarta Utara. Sehingga, yang berwenang mengadili Sutarbun adalah Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pada perkara Hartono, 20 April 1988, Hakim Ketua Wahyudi menganggap dakwaan jaksa batal demi hukum. Karena, menurut majelis, jaksa tidak cermat menguraikan tempat kejadian, sehingga tidak tahu perkara itu persisnya masuk wilayah pengadilan mana. Hal serupa terulang pada persidangan perkara Rudy, yang dipimpin Hakim Ketua Sofyan Chaeruddin, yang kebetulan menjadi hakim anggota dalam perkara Hartono. Jaksa Nadeak, yang menjaring ketiga terdakwa dengan dakwaan alternatif, sekalipun sudah digagalkan hakim, ternyata tak patah semangat. Ia mengajukan lagi dakwaan serupa, dan tetap bersikukuh perkara tersebut bisa diperiksa pengadilan di luar wilayah tempat kejadian tindak pidananya. Sebab, terdakwa disidik dan ditahan Polres serta Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Lagi pula kata Nadeak, tempat tinggal 11 saksi lebih dekat ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Tapi, dalam persidangan 11 Juni lalu, maielis hakim yang diketuai Wahyudi, dengan alasan yang sama, kembali menolak dakwaan jaksa. "Dalam perkara Hartono dan Rudy, dakwaan jaksa dianggap kabur, tapi untuk perkara Sutarbun tidak," kata sumber TEMPO di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Gagal di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Nadeak naik banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Tapi agak mengherankan, perkara banding yang diajukannya cuma untuk kasus Hartono dan Sutarbun. Perkara Rudy sama sekali tak disebut-sebut. Tak diketahui apa alasannya. Pengadilan Tinggi Jakarta, yang bersidang untuk perkara banding Sutarbun, 20 Juni lampau, membatalkan putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Majelis hakim banding, yang diketuai Nyonya Rosma Idris, memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Barat kembali memeriksa perkara Sutarbun. Sementara itu, keputusan banding untuk perkara Hartono hingga minggu lalu masih belum turun. Keputusan banding Sutarbun ternyata tak diterima Pengacara Alexius Tantrajaya dan Barita Silalahi, yang mendampingi terdakwa di persidangan. Kedua pengacara itu bahkan mengajukan kasasi -- yang sebetulnya tak diatur dalam KUHAP -- atas keputusan itu. Kasasi Sutarbun masih belum diputuskan Mahkamah Agung (MA). Pengajuan kasasi itu dilakukan Tantrajaya dan Silalahi, karena keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat maupun Pengadilan Tinggi Jakarta mereka anggap merugikan Sutarbun. Apalagi majelis hakim yang mengadili perkara Sutarbun tak menyinggung status penahanannya. Akibatnya, ia hingga kini masih mendekam di Rutan Salemba sekalipun masa penahanannya telah melampaui jangka penahanan maksimum yang diperkenankan KUHAP. Pada perkara Hartono dan Rudy, karena dakwaan jaksa sudah dua kali tidak diterima, hakim memerintahkan terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan. "Kalau proses perkaranya sampai berlarut-larut, 'kan kasihan terdakwa, yang sudah cukup lama berada dalam tahanan," kata Hakim Sofyan Chaeruddin. Sejak 11 Juni 1988 Hartono dan Rudy, yang juga ditahan di Rutan Salemba dari 7 September 1987, dinyatakan bebas. Kelebihan masa tahanan Sutarbun ini, kata sumber TEMPO di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, merupakan masalah hukum yang terhitung baru. "Soal ini sedang ditangani MA," ujarnya. Sementara itu, kata Hakim Agung M. Yahya Harahap, kasus Sutarbun itu muncul akibat ketiga perkara diperiksa hakim yang berbeda. "Seyogyanya, materi perkara yang sama ditangani majelis hakim yang sama juga," kata Harahap. Ia menambahkan hal lain yang menyebabkan perkara Sutarbun terkatung-katung adalah akibat berlarut-larutnya upaya yang ditempuh jaksa. Menurut Harahap, yang menulis buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, karena pokok perkara Sutarbun adalah locus delictie tindak pidana pembunuhan terhadap Juhdi, seharusnya jaksa mematuhi putusan hakim. Artinya, dakwaan diperbaiki dan diajukan ke wilayah pengadilan yang lebih tepat. Kalau tidak, perkara ini akan berlarut-larut lagi," ujarnya. Sutarbun, yang sekarang dalam status perpanjangan penahanan selama 30 hari dari MA, dan akan berakhir 2 Januari nanti, mengatakan, "Kalau ampai bulan depan saya tak juga bisa keluar, lebih baik saya mati di sini." Ayah empat anak itu, yang berencana kembali menarik bajaj sekeluar dari tahanan, tetap mengaku tak tahu-menahu peristiwa pembunuhan Juhdi, karena tertidur selama perjalanan dengan taksi gelap tersebut. Happy S. dan Agung Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus