SUNARDI Chan adalah seorang polisi berpangkat kopral satu. Karena terpanggil oleh tugasnya, ia menyidik empat tersangka pelaku kejahatan. Padahal, menurut KUHAP, karena pangkatnya kopral, seharusnya ia belum berhak memeriksa tersangka dan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) -- yang dijadikan jaksa sebagai dasar menyeret tersangka ke meja hijau. Kekeliruan Sunardi membuat BAP itu -- pekerjaan yang seharusnya dilakukan seorang bintara -- ternyata berbuntut buruk. Pada persidangan di Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh Barat, 7 Desember lalu, keempat tersangka yang dituntut jaksa dengan hukuman 10 tahun penjara, dinyatakan bebas dari hukuman. Alasan Hakim Ketua Thamrin Lubis: BAP yang disusun Sunardi tak sah menurut hukum. Karena penyidik masih tamtama. Atas keputusan itu jaksa mengajukan kasasi pada 20 Desember lalu. Kisah kontroversi itu bermula dari kasus pembunuhan Sari Intan alias Mak Jawa, 62 tahun, yang dimakamkan pada 9 Maret 1988. Polisi yang pasang mata mencari siapa pembunuh janda dari Desa Meunuang Kinco itu, secara kebetulan melihat seorang pelayat, Abbas bin Karim, 23 tahun, bertingkah tidak wajar. Ia kelihatan gelisah dan gemetaran. Lalu polisi memeriksa Abbas. Dari mulut Abbas, polisi berhasil menciduk tiga tersangka lainnya dan empat yang dicurigai. Mereka adalah Abdul Muin, 20 tahun, Ilyas bin Makdin, 21 tahun, dan Mapali, 27 tahun. Seorang lagi, Said Alamuddin, masih buron. Keempat tersangka. itu adalah penduduk Desa Meunuang Kinco. Singkat kata, mereka pun digiring Jaksa Amir Husin Sinaga ke meja hijau pada awal Agustus lalu. Dalam dakwaan yang disusun Amir, keempat tersangka itu dituduh merampok dan melakukan pembunuhan terhadap Mak Jawa. Caranya, menurut hasil pemeriksaan polisi, Said -- belum tertangkap -- pada 7 Maret 1988 itu pura-pura hendak membeli rokok di tempat korban. Ketika Mak Jawa lengah, lalu ia mencekik leher janda itu. Lalu tiga tersangka lainnya ramai-ramai memiting korban, sehingga Said leluasa menjerat leher Mak Jawa dengan tali plastik, dan kemudian menyentakkannya sampai korban tidak berkutik. Begitu tahu Mak Jawa mati, lalu para tersangka beraksi menjarah harta janda itu. Mapali, misalnya, mencopot subang emas dari telinga korban, Abbas mencabut cincin dan Said menyambar tas hitam berisi duit yang jumlahnya tak jelas. Tapi tak semua barang bukti bisa dimunculkan di persidangan, kecuali tas dan tali plastik yang diduga mengakhiri nyawa Mak Jawa. Malah yang kelihatan justru kelemahan BAP. Menurut para tersangka, BAP yang dibuat Sunardi itu tidak betul. Jika dalam BAP mereka mengaku, tak lain karena mereka tak tahan disiksa. "Dua hari dua malam saya dihajar polisi," kata Muin kepada TEMPO. Ia mengaku hingga kini dadanya sakit. Tapi pertimbangan majelis hakim -- yang diketuai Thamrin -- untuk memvonis bebas para tersangka dari segala tuntutan hukum, tak semata kekeliruan pembuatan BAP. Juga karena tak seorang saksi pun yang melihat langsung kejadian itu. Di persidangan, Sunardi juga mengaku bahwa dialah yang menyidik dan mengetik BAP keempat tersangka -- yang kemudian ditandatangani Sersan Mayor Sulaiman Umar dan Kapolsek Kawai 16, Letda. Abdul Jalil. Rupanya cara ini sudah jamak dilakukan polisi. Salah satu alasan, menurut sumber TEMPO di Polres Aceh Barat, tenaga penyidik dengan pangkat seperti diatur KUHAP tidak cukup. Atas keputusan bebas yang dijatuhkan majelis hakim bagi keempat tersangka pembunuh Mak Jawa, jaksa menyatakan naik kasasi. Pertimbangan hakim soal BAP yang dianggap tidak layak, menurut pihak kejaksaan, seharusnya dibicarakan dalam eksepsi. Tak hanya itu pelajaran yang bisa dipetik dari kasus pengadilan Abbas dan kawan-kawan. Keempat terdakwa sama sekali tak didampingi penasihat hukum, padahal mereka diancam hukuman lebih dari 5 tahun. Entah mengapa pengadilan tak menyediakan seorang pembela bagi para tersangka. Masalah ketiadaan tenaga yang memenuhi persyaratan bagi pelaksanaan KUHAP di daerah terpencil, seperti di Desa Meunuang Kinco, kelihatannya akan tetap menjadi soal. Sebuah tantangan yang tak gampang dipecahkan dalam upaya penegakan hukum. Bersihar Lubis dan Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini