SUTRADARA Sophan Sophiaan pun tak bisa menjawab dengan pasti kenapa film terbarunya, Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat ditonton banyak orang. Pekan ini Arini masih bertahan di Jakarta, padahal bersaingan dengan serial James Bond, The Living Daylights. Di Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, dan Medan, film itu berjaya di bioskop kelas utama, mengalahkan Nagabonar. "Ada faktor X yang tak bisa diketahui," kata Sophan. "Saya lebih percaya pada faktor nasib baik." Produser Arini, Hatoek Soebroto, menampilkan tiga kekuatan film ini, "Cerita yang menarik, staf produksi dan penyutradaraan yang berbobot, dan pemain yang cocok." Menurut Hatoek, tema film tidak begitu mempengaruhi, bintang juga tidak. "Faktor lain mungkin karena shooting film di Amerika Serikat, padahal menurut cerita asli seharusnya di Jerman," kata Hatoek lagi. Mungkin, dugaannya benar, walau di balik itu kecanggihan skenario dan seorang juru kamera justru paling menentukan. Film Ketika Musim Semi Tiba, yang setting ceritanya Jepang, sengaja dipindahkan ke Itaha. Tapi yang disorot justru ruang-ruang disko, rumah makan, ruangan dalam, yang mengesankan sembarang tempat, sementara keindahan Roma terlewatkan. Dengan dua contoh itu, toh sukar menetapkan patokan yang jelas, kenapa sebuah film nasional menjadi box office. Menurut pengamatan Jhon Tjasmadi, Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Jakarta, empat hal penting membuat orang mendatangi gedung bioskop. Judul film, ceritanya, sutradaranya, dan terakhir bintangnya. Arini masih ditambah satu unsur pendukung: ceritanya sudah banyak diketahui, karena dibuat berdasarkan novel yang laris. Film yang bercerita tentang daerah tertentu biasanya juga laris di wilayah cerita itu. Tjasmadi, yang baru saja diangkat menjadi anggota MPR, memberi contoh film Kabayan, yang box office di Jawa Barat. Namun, faktor cerita bukan jaminan sepenuhnya. Film terbaik FFI 87 Nagabonar ternyata tak mendapat pasaran di Sumatera Utara, khususnya Medan. Kenapa? "Membuat film yang khas daerah harus tahu perasaan orang-orang setempat," kata Tjasmadi. Perasaan orang Batak kabarnya telah dilukai oleh Nagabonar. Bukan saja karena tokohnya digambarkan bego dan bekas pencopet, juga lantaran nama Bujang sahabat Nagabonar sejak dipenjara. Bujang di daerah Minang memang panggilan populer buat anak lelaki. Tetapi karena film ini berlogat Batak, Bujang di sana berarti (maaf) kemaluan wanita. Karena alasan lain, Nagabonar juga tak begitu laris di Surabaya. "Bagi masyarakat Surabaya, perjuangan ala Nagabonar amat lemah. Perjuangan model Surabayan lebih tinggi mitosnya," kata R. Indiarto, Ketua GPBSI Jawa Timur, yang juga Ketua I DPP GPBSI. "Arini jauh lebih unggul, karena tergolong film drama yang halus," tuturnya. Tapi, di Surabaya belum ada yang menandingi sukses Inem Pelayan Sexy 1, yang dibintangi Jalal. Hanya di Bandung Nagabonar meledak, dengan jumlah penonton 45.183 orang. Itu di atas film laris lainnya Penyesalan Seumur Hidup (13.510 penonton). Toh sukses Arini tak tertandingi -- menggaet 64.403 penonton. "Arini, sebuah terobosan baru dalam perfilman, ceritanya cukup baik," kata Ir. Chand Parwez Servia, Ketua I GPBSI Jawa Barat. Yang tetap teratas dalam jumlah penonton memang film komedi Warkop dan film dangdut Rhoma Irama. Kekuatan film-film Warkop pada bintang dan batasan produksinya: hanya dua film setahun dan selalu diedarkan bertepatan dengan Idulfitri dan Natal. Sutradaranya tak penting, dan cerita hanya kadang-kadang saja mempengaruhi. Lain dengan film komedi karya Nya Abbas, yang digemari karena kritik sosial dan sindirannya yang berbobot. Jadi, di sini sutradara dan skenario sangat menentukan. Sekarang, cara baru untuk menambah kelarisan film adalah masuk paket Apresiasi Film Nasional (AFN), yang ditayangkan TVRI sebulan sekali. Lupus, Johny Indo, dan Segi Tiga Emas, karena masuk dalam agenda AFN siaran September lalu, menjadi laris.." Film Segi Tiga Emas baru masuk minggu kedua sudah menggaet sebelas ribu penonton di Jakarta," kata Damo Punyabi, produsernya. Tapi bagaimana sebuah film bisa masuk paket AFN? Sandy Tyas, pengelola acara ini, menjelaskan bahwa segala sesuatunya diputuskan dalam musyawarah antara TVRI dan KFT, Parfi dan PPFI. Dari sini dipilih empat film masuk AFN. "Acara ini bisa saja seperti promosi tapi bukan iklan," kata Sandy Tyas. Sophan Sophiaan terang-terangan mengkritik AFN. Dengan memasukkan cuplikan film yang akan diputar, "acara ini seperti Aneka Ria Safari dan Selekta Pop untuk promosi kaset itu," katanya. Sutradara yang suka bak-blakan ini mengatakan, apresiasi yang dulunya baik itu -- karena membahas proses pembuatan film -- sekarang melenceng ke iklan terselubung. Ada sumber TEMPO yang menyebutkan, satu film dalam AFN dikenai biaya Rp 3 sampai 5 juta. Apa kata Sandy Tyas? "Tak ada permainan itu. Malah, biaya liputan yang Rp 300 sampai Rp 500 ribu itu ditanggung TVRI. Itu untuk biaya kru TVRI dan mengedit," katanya. Tak lupa ditambahkannya, "Film Arini itu penontonnya banyak, karena disiarkan dalam acara apresiasi tersebut." Putu Setia, Muchsin Lubis & Tri Budianto S. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini