SUDAH seiak enam bulan lalu Sugianto20, meninggalkan desanya di Plosorejo, Jombang. Ia mengaku tak berani pulang karena takut dibunuh oknum polisi yang katanya pernah menembak ayahnya hingga tewas. Setelah berkelana di beberapa kota, pertengahan bulan lalu ia meminta perlindungan hukum kepada Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) UII Yogya. Untuk memperjelas soal itu, LKBH UII pertengahan bulan ini mengirimkan surat kepada Kapolda Jawa Timur. Siswa kelas III IPS SMA Muhammadiyah II Kertosono (tak jauh dari Kota Jombang) meninggalkan P}osorejo sejak 16 November 1983. Hari itu, tuturnya, bersama ayahnya Ichsan, 50, ia berboncengan sepeda moor untuk mengantarkan sejumlah uang ke rumah seorang oknum Koramil Perak di Tembelang, sekitar tiga kilometer dari Plosorejo. Di tengah jalan. Bapak dan anak itu dicegat oknum polisi E bersama seorang temannya dari Polsek Perak. E, yang bersenjata pistol dan menyandang senjata laras panjang, serta-merta meminta uang kepada Ichsan. Sugianto tak tahu persis jumlah uang yang diberikan ayahnya. Tapi, katanya, "Waktu itu Ayah membawa uang Rp 1,5 juta lebih hasil penjualan sawah." Sampai di rumah yang dituju, belum sampai satu menit berbicara dengan tuan ru mah, kedua oknum polisi tadi muncul pula "Saya dengar Pak Koramil memanggil mereka masuk," ujar Sugianto. Dan beitu masuk kedua oknum polisi itu langsung menyekap Ichsan, lalu menyeretnya ke halaman. Dan, "Dengan bantuan Pak Koramil, ayah saya dijatuhkan ke tanah, tengkuknya dihajar dengan batu bata dan kemudian E menembak tepat di dada Ayah." Ichsan tidak tewas seketika. Karena itu, kedua polisi tadi segera mengikat kaki dan tangan korban yang tanpa daya itu. Pada saat itu pula Sugianto mendengar suara ayahnya menyuruh anak itu melarikan diri. Tapi belum sempat anak tertua dari 10 bersaudara itu melarikan diri, oknum Koramil segera mencekal tangannya laiu mengikatnya. Sementara itu, ia mendengar E berkata, "Pokoknya, kamu juga akan saya bunuh." Karena itu, bagi anak muda tadi, jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri adalah melarikan diri. Sebagai pemegang ban hitam karate, ia berhasil memutuskan ikatan pada kedua tangannya. Dan dengan berzig-zag ia melarikan diri meskipun enam kali tembakan sempat dilepaskan sampai ia menghilang di kebun tebu. Setelah pamit pada ibu dan adik-adiknya dan meminjam uang Rp 20.000 pada seorang temannya, Sugianto melarikan diri ke Surabaya. Tak lama di sini, ia naik kapal laut dan sampai di Samarinda. Setelah ditolong dan bekerja apa saja, lima bulan kemudian, ia berkenalan dengan seorang karyawan Pertamina Samarinda, lulusan Fakultas Ekonomi UII Yogya. Orang inilah yang kemudian menyarankan agar anak muda itu minta perlindungan ke LKBH UII. Pertengahan April ia memberikan surat kuasa kepada LKBH UII, "Untuk menyerahkan semua persoalan saya - dan saya akan mempertanggungjawabkan semua yang saya ceritakan ini." Sugianto memang mengakui ayahnya, yang kemudian ia ketahui tewas karena tembakan oknum polisi E tadi, pernah dikenal sebagai jago dalam hal pencurian. "Bahkan, menurut cerita Nenek, memang pernah dihukum karena mencuri," tambahnya. Tapi itu terjadi 20 tahun lalu, ketika anak tertua Ichsan itu masih kecil. Bahkan sejak 20 tahun lewat itu pula, menurut Sugianto, ayahnya membuang jimat ilmu hitam yang pernah membuat dia dianggap kebal. Hal ini dibenarkan Suliyati, ibu Sugianto, dan Daman Temen, ibu Ichsan, yang kini berusia 65. "Sejak kawin dengan saya, bapaknya anak-anak sudah benar-benar tobat," kata Suliyati. Namun, menurut Sugianto, satu-satunya kenakalan ayahnya pada saat-saat terakhir hidupnya adalah, "Dia penjual nomor buntut, jago menyabung ayam, selain sebagai petani." Pelajar kelas III SMA yang tak sempat ikut EBTA tahun ini mengungkapkan, suatu kali pertengahan 1983, ayahnya didatangi tiga oknum pohsi yang mengaku dari Jakarta kemudian ternyata mereka dari Kores Jombang. Ketiganya minta uang imbalan, "Dengan jaminan Ayah tidak akan dibunuh." Waktu itu juga, kata Sugianto, Ichsan memberikan uang Rp 5 juta. Seminggu kemudian datang lagi, diberi Rp 2,5 juta. Minggu berikutnya Rp 2 juta pula. Dan seterusnya. "Saya tak bisa menghitung sudah berapa kali mereka datang," tutur Sugianto, "tapi sampai saat terakhir semuanya sudah mencapai sekitar Rp 30 juta." Dan semua uang itu, menurut Suliyati, adalah hasil penjualan tujuh bau sawah, lebih dari dua kilogram emas, dan beberapa sepeda motor. Daman Temen alias Sukinah, yang punya anak tunggal, Ichsan, memang terkenal sebagai orang berada secara turun-temurun di desa itu. "Suami saya almarhum, bapaknya Ichsan, juga pernah terkenal sebagai pedagang sapi yang berhasil," tambah Daman Temen, yang lumpuh sejak mengetahui anaknya telah meninggal. Pada hari naas itu, tutur Sugianto, ia dan ayahnya hendak berkunjung ke rumah oknum Koramil Perak yang baru saja diangkat. "Biasa di sana, kalau berkenalan membawa uang," kata anak muda itu. Apalagi oknum itu juga menjamin keselamatan Ichsan. "Ayah diwajibkan menyetorkan uang Rp 100.000 tiap 20 hari - dan 16 November itu adalah setoran keempat kalinya," ujar Sugianto lagi. Oknum Koramil Perak, yang disebutsebut Sugianto itu, hingga sekarang masih menjabat di Tembelang. Tapi berkali-kali dihubungi ia agaknya menghindar. Sedangkan oknum polisi E dari Polsek Perak, ketika ditanyai tentang kejadian itu, hanya menjawab, "Saya ini orang bawahan - maaf, orang bawahan apa kata atasan." Kapolres Jombang, Letnan Kolonel Adnan Saaban, tak dapat dijumpai karena sedang bertugas di Sukabumi. Namun, menurut sebuah sumber di Polda Ja-Tim, kasus Sugianto dan ayahnya, "Sudah dibicarakan hingga larut malam." Hasilnya belum dapat diumumkan. Tapi pihak LKBH UII merencanakan meneruskan persoalan ini ke Kapolri dan DPR jika sampai berlarut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini