DARI balik kaca matanya, ia tampak berkedip, cepat mendengar angka yang disebut hakim. Sedikit menggeser duduknya. Lalu, dengan pulpen Boxy birunya, Nur Usman menggoreskan angka itu ke bagian kosong halaman terakhir naskah putusan hakim setebal 140 halaman, yang disimaknya sejak awal. Suasana diam mencekam. Seorang perempuan cantik yang duduk di bangku terdepan pengunjung, buru-buru pergi meninggalkan ruang sidang: dia itu bekas istri terdakwa, Athiah Kirana, yang baru saja mendengarkan kisah mengenai kematian anaknya menurut versi pengadilan. Jaring empat lapis Jaksa T. Simanjuntak bobol dua yang pertama. Tuduhan menganjurkan orang menganiaya berat secara terencana, yang mengakibatkan matinya orang, gagal. Dan tuduhan menganjurkan menculik juga tidak gol. Hakim hanya yakin bahwa Nur Usman terbukti menganjurkan orang lain menganiaya biasa yang menyebabkan kematian dan dengan melawan hukum memaksa orang melakukan sesuatu serta menghina seseorang. Karenanya, tuntutan jaksa 20 tahun hanya dikabulkan 7 tahun oleh majelis hakim yang diketuai Oemar Sanoesi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pekan lalu. Perkara Nur Usman memang "licin". Mula-mula jaksa dibuatnya penasaran benarkah ia memang tak ternoda darah Roy Irwan Bharya, yang meninggal di tangan Jhonny Ayal, Agustus 1984 itu. Berulang kali berkasnya dikembalikan kejaksaan ke kepolisian untuk disempurnakan. Baru, sesudah dimunculkan surat Jhonny Ayal yang menyebutnya "gajah" terlibat membunuh anak tirinya, kedok itu terbongkar. Nur Usman, ayah tiri Roy itu, lalu berpindah tinggal ke Rumah Tahanan Salemba. Mendiamkan terdakwa di rumah tahanan, dalam kasus Nur Usman tidak sekaligus berarti memudahkan menghadirkan terdakwa itu ke persidangan. Di bangunan berpagar berlapis-lapis itu Nur Usman, 55, betul-betul menjadi "pesakitan". Tercatat 13 kali persidangan bekas pejabat tinggi Pertamina itu mewakilkan dirinya dengan selembar surat keterangan sakit dari dr. Wunardi. "Izin istirahat satu hari, persis setiap hari persidangannya," kata Amarullah Salim, anggota majelis hakim, di dalam rapat bersama antara organisasi dokter dan hakim (IDI-Ikahi) yang pekan lalu khusus membahas soal "Surat dari Rutan". Memang, tidak tanggung-tanggung, dokter muda usia itu menjadi tumbal: harus meletakkan jabatannya sebagai dokter Rutan Salemba agar Nur Usman dapat melewati tembok tahanan. Sebab, dengan keberhasilannya menunda sidang sampai belasan kali, Nur Usman dapat memaksa hukum membebaskannya dari tahanan. Sidang tak kunjung putus, sampai masa penahanan habis, dan ia bebas demi hukum. Saat sidang putusan, Nur Usman hadir dengan kondisi segar, wajah tetap berkumis dan bercambang rapi. Ia tetap berkeras menolak tuduhan kepadanya. "Saya akan naik banding," serunya, begitu keluar dari ruang sidang. Kejaksaan pun mempersoalkan amar putusan yang sudah dijilid rapi dan diedarkan hakim sebelum dibacakan - lazimnya toh begitu, 'kan?. "Jaksa akan naik banding atas dua hal: kualifikasi tindak pidananya dan konsekuensi ancaman hukumannya," kata sebuah sumber di kejaksaan pada TEMPO. Karena, kata sumber itu, fakta di pengadilan menunjukkan bahwa terdakwa menganjurkan penganiayaan berat. Tapi keyakinan hakim hanya penganiayaan biasa yang terbukti. Karena kualifikasi tindak pidananya berbeda, maka konsekuensi ancaman hukumannya juga berbeda: 15 tahun dan 7 tahun. Pada Happy Sulistiadi dari TEMPO, Oemar Sanoesi tetap yakin akan putusannya: "Pandangan hakim 'kan tidak perlu harus sesuai dengan jaksa. Apa ada undang-undang atau peraturan yang mengharuskan selalu sama?" Persis - tinggal lagi percaya atau tidak mengenai rasa keadilan yang ditegakkan para hakim. Eko Yuswanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini