Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Siapa menipu di klender permai

Pemohon rumah perumnas mengadukan pt kalijaya dinamika inc (pt kdi) ke lbh, merasa ditipu & menuntut dikembalikan uang mukanya. pt kdi dan perum perumnas, masing-masing mengaku berhak atas tanah itu. (krim)

8 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANGAN sembarang memesan rumah BTN. Bisa-bisa uang muka hilang, rumah pun tak kunjung ada. Dan itulah yang dialami 465 orang peminat rumah BTN Klender Permai, Pondok Kopi, Jakarta Timur. Akhir bulan lalu, seratus orang mengatasnamakan semua calon penghuni mengadukan kasus itu ke LBH Jakarta. Adalah PT Kalijaya Dinamika Inc. (PT KDI), awal Maret 1986, mengirim surat promosi kepada 300 orang calon peminat rumah BTN. Tentu saia. mereka merasa mendapat durian runtuh. Sebab, ke-300 orang itu sudah empat tahun lalu mendaftar untuk mendapat rumah Perumnas di Klender -- dan belum juga memperoleh panggilan. "Semua yang mendapat surat dari PT KDI itu pemohon rumah Perumnas," ujar Abidin Burhan, 28, juru bicara kelompok yang merasa ditipu ini. Abidin, karyawan BRI, segera meminjam Rp 1 juta dari kantornya untuk pembayaran uang muka rumah tipe 45 dengan luas tanah 100 m2. PT KDI waktu itu berjanji akan segera membangun pada April tahun silam -- artinya sebulan sesudah pembayaran uang muka. Bahkan developer itu meyakinkan bahwa rumah sudah akan selesai empat bulan kemudian. Tapi, lain di kertas, lain di lapangan, rupanya. Jangankan bangunan berdiri, tanda-tanda akan ada penggalian fondasi pun tak tampak. "Setiap saya tanyakan, mereka selalu bilang agar bersabar dulu," tutur Abidin. Lalu, janji palsu itu pun terbuka kedoknya. Juni 1985, papan nama PT KDI di bidang tanah yang dijanjikan akan dibangun perumahan diganti dengan papan nama Perumnas. Lokasi tanah itu pun kemudian dipagar keliling. Dan keluar klaim Perumnas: lokasi Klender Permai itu adalah hak Perumnas. "Tanah di lokasi itu sudah kami bebaskan," ujar Soewarno Prawirasoemantri, Dirut Perum Perumnas. Menurut iklan yang dipasang oleh pihak Perumnas, tanah sekitar 13 ha itu semula adalah tanah rakyat. Lewat bantuan Panitia Pembebasan Tanah Jakarta Timur, lokasi itu telah dibebaskan dan dalam penguasaan Perumnas sejak 1980. Tentu saja, PT KDI punya pendapat lain. Menurut Kolonel CPM (pur) Gatot Soeroso, Wakil Ketua Yayasan Panglima Besar Jenderal Soedirman (YPBJS) yang juga Prescom PT KDI, tanah 28, 8 ha -- termasuk 13 ha yang telah diklaim Perumnas tadi -- adalah milik ahli waris Paku Buwono (PB) VIII dari Keraton Kasunanan Surakarta. Gatot, dan Ketua YPBS Brigjen (pur) Soenitioso, dan seorang kawan mendapat kuasa atas tanah itu langsung dari kuasa tunggal ahli waris, yakni Brotosoeratno Haryonagoro, cucu PB VIII, raja Keraton Surakarta. Kesepakatan itu, menurut Gatot, dilakukan di depan Notaris Nico Rudolf Makahanap, akhir Mei lalu. Harap dicatat, kuasa itu bukan diberikan kepada yayasan, tapi atas nama perseorangan. Tanah warisan bangsawan Solo itu, kata Gatot, berstatus Eigendom Verponding (hak milik) dengan nomor 6871. Ia mengaku telah mengecek status tanah tadi lewat Balai Harta Peninggalan, Departemen Kehakiman. Menurut lembaga pemerintah itu, lokasi tanah tersebut di Pondok Kopi, Kampung Malaka, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Gatot memang melangkah lebih jauh, meminta Dinas Tata Kota DKI Jakarta melakukan pengukuran dan pemetaan. Ketika itu ia diberi tahu bahwa tanah peninggalan bangsawan Solo yang 28,8 ha tadi, 12 ha pernah diminta oleh Perumnas. Gatot memang tak keberatan, "Tapi, ya, harus bayar ganti rugi, dong," ujarnya. Kesimpangsiuran penjelasan masing-masing lengkap sudah, setelah ada bantahan balik dari Perumnas. Seorang staf Dirut Perumnas mengatakan, lokasi yang dipagari oleh kantornya tersebut bukan milik bangsawan Solo. Ia tahu ini setelah mengecek ke kantor agraria. Memang ada kemungkinan, kata Soewarno, tanah itu milik kerabat Keraton Solo. Tapi di agraria yang tercantum adalah nama-nama para penggarap tanah itu. Dan menurut undang-undang, bila sudah lama tak dikelola pemilik semestinya (batas waktu itu 30 tahun), tanah akan jatuh ke tangan para penggarap tadi. Para penggarap itulah yang kemudian dihubungi Perumnas lewat panitia pembebasan tanah. Menurut Dirut Perumnas itu, hasil negosiasi sudah disahkan oleh lurah hingga pihak agraria. Padahal, ini menurut Gatot, pernah ada musyawarah antara YPBJS, Perumnas, dan Menpera Cosmas Batubara yang memutuskan: YPBJS dan Perumnas boleh patroli bersama di tanah warisan itu. Artinya, Perumnas dipersilakan mengelola yang 12 ha tadi, dan sisanya oleh YPBJS. Tak jelas kapan musyawarah itu, tapi menurut Dirut Perumnas pihaknya belum pernah "berhubungan dalam bentuk apa pun" dengan PT KDI. Dalam perkara uang para pemesan rumah, Gatot mencoba menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Yakni Utu Sumampauw, yang diangkat sebagai Direktur Utama PT KDI, Mei lalu melarikan diri. Ia menggondol uang Rp 80 juta milik PT KDI. Uang tadi sebagian dari sekitar Rp 190 juta yang sudah diterima PT KDI dari 465 peminat rumah. Yang sekarang kini perlu diusut, dari mana PT KDI, atau Utu Sumampauw, memperoleh alamat konsumen yang dikirimi brosur perumahan murah itu. Sebab, meski nama peminat rumah Perumnas tak dirahasiakan, menurut Dirut Perumnas, berkas alamat itu hanya beredar di kalangan terbatas. "Mungkin ada oknum Perumnas yang terlibat," kata Soewarno, yang berjanji akan mengusut perkara ini. Yang kini dituntut calon penghuni Klender Permai itu lewat LBH, kembalinya uang muka yang telah mereka bayarkan. Yakni antara RP 300.000 dan RP 1 juta. Sebab, meski ada janji dari pihak PT KDI untuk melanjutkan pembangunan rumah, beberapa pembayar, setelah tahu keruwetan PT KDI, telanjur mendapatkan rumah yang lain. Abidin, karyawan BRI itu, umpamanya, sudah menempati rumah sederhana di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur. Pihak LBH kini sedang mengusut liku-liku ini. Tampaknya, seandainya pun tuntutan konsumen sudah terpenuhi, masih ada masalah yang mengganjal. Yakni tanah itu milik siapa sebenarnya. A. Luqman Laporan Suhardjo Hs. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus