Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Duduk di barisan bangku kedua pengunjung ruang pengadilan, Gina Santayana tampak tegar. Putri sulung Mulyana W. Kusumah itu dengan cermat mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Senin pekan lalu. Namun, begitu ketua majelis hakim Masruddin Chaniago menyebut kalimat ”menjatuhkan vonis pidana penjara dua tahun tujuh bulan kepada terdakwa”, wanita 28 tahun itu langsung terisak. Air matanya meleleh. ”Ini tidak adil,” katanya lirih, seperti bergumam.
Majelis hakim memvonis Mulyana bersalah. Ia terbukti melakukan penyuapan terhadap Ketua Tim Audit Investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Khairiansyah Salman. Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang selama ini dikenal sebagai kriminolog itu tertangkap basah saat menyerahkan uang Rp 150 juta di kamar 609 Hotel Ibis Slipi, Jakarta, awal April lalu.
Mulyana, dalam amar putusan yang dibacakan Chaniago, dinyatakan terbukti melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Inilah pasal yang menjerat siapa saja yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, agar mereka melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Ancaman terhadap pelanggaran pasal ini adalah hukuman penjara hingga lima tahun dan atau denda hingga Rp 250 juta.
Vonis untuk Mas Mul—demikian dosen Universitas Indonesia itu biasa disapa rekan-rekannya—lebih ringan dari tuntutan jaksa. Dalam sidang pertengahan Agustus silam, jaksa menuntut Mulyana hukuman penjara tiga tahun dan denda Rp 50 juta. Mimik wajah Mulyana, Senin ketika vonis dibacakan itu, terlihat tetap tenang. ”Saya akan berpikir dulu,” katanya saat hakim bertanya akan menerima atau melakukan banding terhadap putusan itu.
Pengacara Mulyana, Sirra Prayuma, tampak cukup kecewa terhadap putusan yang dijatuhkan Chaniago. Menurut dia, hakim dalam mengambil putusan tersebut tidak mempertimbangkan faktor yang mempengaruhi Mulyana melakukan tindakannya itu. Faktor itu, pertemuan Mubari dengan Khairiansyah di Restoran Miyama Hotel Borobudur pada 10 Maret lalu. ”Uang setoran Mulyana kepada Khairiansyah adalah komitmen dari pertemuan itu,” kata Sirra.
Sirra juga mempertanyakan jasa kliennya sebagai anggota KPU, yang sepertinya tak dilirik hakim. ”Mulyana ikut mengawal proses konsolidasi demokrasi melalui pemilu damai dan lancar. Itu seharusnya dipertimbangkan,” ujarnya. Namun Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan, Tumpak Hatorangan Panggabean, menampik tudingan Sirra bahwa pihaknya tak memperhitungkan jasa Mulyana. Menurut Tumpak, tuntutan tiga tahun terhadap Mulyana dan vonis dua tahun penjara juga karena memperhitungkan jasa Mulyana. ”Sudah menjadi pertimbangan, walau tidak diucapkan,” katanya.
Banyak pihak memang berharap KPK terus membongkar korupsi di tubuh KPU. Lucky, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch, adalah salah satu yang menuntut itu. Dia berharap KPK bersikap fair dalam kasus ini. KPK, katanya, harus terus mengusut keterlibatan anggota dan staf sekretariat KPU lainnya dalam kasus korupsi ini. Apalagi, ujarnya, sudah ada bukti-bukti sejumlah anggota KPK lainnya melakukan penggangsiran uang negara. Hukumannya jangan hanya berhenti pada Mulyana seorang,” kata dia.
Bagi KPK, tuntutan atau harapan masyarakat seperti itu dianggap wajar. ”Pengusutan korupsi di KPU memang tak akan berhenti di sini,” ujar Tumpak. Selain Mulyana, Sussongko Suhardjo, Wakil Sekjen KPU, Senin pekan lalu divonis hakim dua tahun enam bulan penjara. Ia dinyatakan terbukti ikut melakukan penyuapan terhadap Khairiansyah.
Khairiansyah, salah satu tokoh utama di balik penangkapan Mulyana, memilih tak mau berkomentar banyak terhadap hukuman yang diterima Mulyana. ”Putusan hakim itu putusan hukum yang harus dihormati,” katanya. Menurut karyawan Badan Pemeriksa Keuangan ini, siapa saja bisa mengalami nasib seperti Mulyana. ”Mulyana orang baik, tapi sistem yang memaksanya menjadi begitu,” ujarnya.
Kasus Mulyana kini berputar dan merembet ke mana-mana. Sejumlah pejabat KPU, misalnya, dipastikan bakal dibawa ke meja hijau. Mereka, antara lain, Ketua Pengadaan Tinta Pemilu Rusadi Kantaprawira, Kepala Biro Umum Bambang Budiarto, bekas Sekretaris Jenderal KPU Safder A. Yussac, dan Mochamad Dentjik. ”Berkas pemeriksaan Rusadi kini juga hampir selesai,” kata Tumpak.
Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin dan Kepala Biro Keuangan Hamdani Amin kini juga tengah disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jaksa menuduh kedua orang itu menggelapkan uang US$ 566.795 (sekitar Rp 5,6 miliar) diskon premi asuransi PT Asuransi Umum Bumi Putera Muda 1967 yang diberikan kepada KPU. Selain itu, yang juga segera diadili adalah Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan XI Jakarta, Soedji Darmono. Soedji didakwa menerima dana US$ 40 ribu (sekitar 400 juta) dan Rp 50 juta dari Wakil Bendahara KPU Mochamad Dentjik.
Selain Soedji, Kepala Sub-Direktorat Anggaran Departemen Keuangan Ishak Harahap juga mengalami nasib sama. Ishak didakwa telah menerima dana US$ 39 ribu (sekitar Rp 390 juta) dari Dentjik. Duit itu sebagai jasanya memuluskan revisi anggaran yang diajukan KPK. Selain itu, ada pula Cecep Harefa, broker proyek pengadaan buku panduan pemilu. ”Semuanya itu sekarang kami jebloskan ke dalam tahanan,” kata Tumpak. Akankah ada nama-nama anggota KPU yang lain yang akan menyusul? Hingga kini memang belum jelas benar.
Abdul Manan, Siska S. Handayani
Yang Terdakwa, yang Bersaksi
Sejumlah pejabat penting dan anggota KPU dinilai dan dituduh terlibat korupsi dana KPU. Mereka inilah di antaranya.
Nazaruddin Sjamsuddin Ketua KPU ini didakwa melakukan penggelapan uang US$ 566.795 (sekitar Rp 5,6 miliar) dari diskon premi asuransi dari PT Asuransi Umum Bumi Putera Muda 1967 yang diberikan kepada KPU. Ditahan sejak 20 Mei, pada 8 Agustus lalu untuk pertama kalinya ia diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. ”Saya bukan menyatakan tak ada, tapi tidak tahu,” ujarnya tentang adanya diskon asuransi sebesar 34 persen dari total premi Rp 14,8 miliar seperti disebutkan Hamdani.
Rusadi Kantaprawira Anggota KPU yang menjabat Ketua Pengadaan Tinta Pemilu Legislatif 2004 dan Wakil Ketua Panitia Pengadaan Information Technology ini ditahan sejak 18 Juli lalu. Statusnya sebagai tersangka kasus korupsi dalam pengadaan tinta sidik jari Pemilu 2004. Ia mengelak disebut berperan besar dalam pengadaan tinta. ”Kalau ketua saja yang bertanggung jawab tak terbatas, itu namanya diktator. Ini kan panitia,” katanya.
Chusnul Mar’iyah Anggota KPU yang menjabat Ketua Panitia Pengadaan Information Technology ini pernah diperiksa sebagai saksi dengan tersangka Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin dalam soal dana taktis KPU. Chusnul menyatakan tak melakukan korupsi apa pun.
Hamid Awaludin Di KPU, ia menjabat Ketua Panitia Tender Kartu Pemilih dan Ketua Kelompok Kerja Pengadaan dan Pencetakan Surat Suara. Ia pernah diperiksa KPK pada 8 Juni 2005 terkait dengan pengakuan Kepala Biro Keuangan Hamdani Amin bahwa dirinya menerima uang rekanan sebesar US$ 105 ribu. ”Bagaimana mungkin menerima uang pada tanggal itu (8 November 2004), sementara saya sudah keluar dari KPU sejak 21 Oktober tahun lalu,” kata Hamid menanggapi kesaksian Sri Ampini dalam sidang Hamdani.
Manan/Lrb
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo